Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bima Aditiyana

Green IT: Gerakan Teknologi Hijau untuk Mengurangi Dampak Lingkungan dari Pusat Data

Teknologi | 2025-12-11 09:45:28

Ketika Transformasi Digital Bertemu Krisis Lingkungan

Dunia berada dalam laju revolusi digital yang tak terhindarkan. Dari cloud computing yang masif hingga akselerator Kecerdasan Buatan (AI) yang haus daya , infrastruktur digital global, yang berpusat pada Pusat Data (Data Center), tumbuh secara eksponensial. Namun, di balik kemajuan ini tersembunyi ironi: konsumsi energi yang masif dan produksi limbah elektronik yang tak terkendali mengancam upaya keberlanjutan global.

Inilah mengapa gerakan Green IT (Teknologi Hijau) telah bergeser dari sekadar pilihan yang baik (nice-to-have) menjadi keharusan operasional (must-have).

Pusat Data Hijau didefinisikan sebagai fasilitas yang menampung infrastruktur TI namun secara aktif menggunakan teknologi yang sangat efisien untuk mengoptimalkan penggunaan energi dan meminimalkan dampak lingkungan. Pendekatan ini bersifat holistik dan mencakup empat pilar utama keberlanjutan :

 

  1. Manajemen Energi dan Emisi Karbon
  2. Efisensi Energi (diukur dengan PUE)
  3. Efisiensi Air (diukur dengan WUE)
  4. Dampak Linngkungan dan Ekonomi Sirkular (termasuk penanganan E-Waste)

Urgensi AI: Lonjakan Kebutuhan Daya

Dorongan terbesar saat ini adalah AI. Kueri Kecerdasan Buatan Generatif membutuhkan hampir 10 kali lebih banyak listrik daripada kueri pencarian Google biasa. Kepadatan daya per rak (power density per rack) telah meningkat signifikan sejak 2013, didorong oleh akselerator AI yang menghasilkan panas ekstrem (seringkali di atas 500 watt per chip). Gelombang panas dan daya ini memaksa operator untuk menemukan solusi pendinginan yang radikal.

Beban Lingkungan Global: Data Kuantitatif yang Mengkhawatirkan

Pusat data adalah konsumen energi yang vital. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), fasilitas ini bertanggung jawab atas sekitar 1.5% atau 415 Terawatt-Hours (TWh) dari total konsumsi listrik tahunan dunia.

Jika tren ini berlanjut, konsumsi listrik pusat data diproyeksikan berlipat ganda, mencapai 945 TWh pada tahun 2030. Laju pertumbuhan ini menempatkan pusat data—bersama dengan transportasi darat dan udara—sebagai salah satu dari sedikit sektor global di mana emisi karbon diprediksi akan meningkat dalam dekade mendatang.

Pusat data skala besar (hyperscale) dengan permintaan daya 100 MW atau lebih memiliki konsumsi tahunan setara dengan kebutuhan listrik sekitar 350.000 hingga 400.000 mobil listrik.

Kesenjangan Transparansi Emisi

Saat ini, pusat data menyumbang sekitar 0.5% emisi CO2 global. Namun, analisis menunjukkan adanya kesenjangan yang serius: emisi aktual dari pusat data internal yang dimiliki empat perusahaan teknologi besar (Google, Microsoft, Meta, dan Apple) kemungkinan sekitar 7.62 kali lipat lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara resmi antara tahun 2020 dan 2022.5

Hal ini menyoroti pentingnya metrik Carbon Usage Effectiveness (CUE), yang menghubungkan efisiensi operasional (PUE) dengan dampak lingkungan dari sumber energi yang digunakan.

Krisis Ekonomi Sirkular: E-waste

Aspek Green IT yang paling sering diabaikan adalah limbah elektronik (e-waste). Global E-waste Monitor (GEM) 2024 menyajikan data yang mengkhawatirkan:

 

  • Produksi Rekor: Sebanyak 62 juta metrik ton (Mt) e-waste diproduksi pada tahun 2022, naik 82% sejak 2010 .
  • Proyeksi: Jumlah ini diproyeksikan terus meningkat, mencapai 82 juta metrik ton pada tahun 2030 .
  • Kegagalan Daur Ulang: Hanya 22.3% dari massa e-waste tahun 2022 yang didokumentasikan telah dikumpulkan dan didaur ulang dengan benar. Tingkat daur ulang ini diperkirakan akan menurun menjadi 20% pada tahun 2030.

Tingkat daur ulang yang rendah ini mengakibatkan hilangnya sumber daya alam bernilai US$ 62 miliar pada tahun 2022. Karena server dan GPU biasanya diganti setiap 2–5 tahun , pusat data harus memasukkan tanggung jawab pengelolaan siklus hidup perangkat keras (CapEx) dalam strategi Green IT mereka, bukan hanya fokus pada efisiensi operasional (OpEx).

Table 1: Dampak Lingkungan Pusat Data Global (Data Kuantitatif Kunci)

Strategi Teknologi Inti: Mengatasi Kemacetan Pendinginan

Untuk mengurangi jejak lingkungan, Green IT bergantung pada dua pilar teknologi utama: metrik yang ketat dan pendinginan revolusioner.

Metrik Kinerja

Pengukuran adalah kunci efisiensi:

 

  • Power Usage Effectiveness (PUE): Metrik standar yang membandingkan total energi fasilitas dengan energi yang digunakan oleh peralatan TI. PUE yang ideal mendekati 1.0.14 Rata-rata PUE industri global saat ini berkisar sekitar 1.8, meskipun fasilitas yang efisien secara rutin mencapai PUE 1.2 atau kurang .
  • Carbon Usage Effectiveness (CUE): Menilai keberlanjutan berdasarkan emisi CO2 total konsumsi energi.10 PUE yang rendah tidak berarti hijau jika sumber listriknya berbasis batu bara.
  • Water Usage Effectiveness (WUE): Mengukur penggunaan air untuk pendinginan. Metrik ini semakin penting dengan adopsi pendinginan cairan.

Revolusi Pendinginan Cairan (Liquid Cooling)

Sistem pendinginan menyumbang hingga 40% dari total konsumsi energi pusat data . Dengan kepadatan daya yang terus meningkat (terutama dari chip AI), pendinginan udara konvensional telah mencapai batasnya.

Peralihan ke pendinginan cairan menawarkan solusi radikal:

 

  1. Efisiensi: Cairan mentransfer panas hingga 1.000 kali lebih efektif daripada udara .
  2. Pengurangan Energi: Pendinginan cair dapat mengurangi konsumsi daya pendinginan hingga 95% , secara signifikan menurunkan PUE.
  3. Teknologi Utama:Direct-to-Chip Liquid Cooling: Cairan mengalir langsung ke CPU dan GPU melalui cold plates, menghilangkan sebagian besar kebutuhan akan pendinginan udara .Immersion Cooling: Seluruh server direndam dalam cairan dielektrik non-konduktif. Metode ini menghilangkan kebutuhan akan kipas internal server dan pendinginan udara tradisional, memungkinkan komputasi dengan kepadatan ultra-tinggi .
  4. Direct-to-Chip Liquid Cooling: Cairan mengalir langsung ke CPU dan GPU melalui cold plates, menghilangkan sebagian besar kebutuhan akan pendinginan udara .
  5. Immersion Cooling: Seluruh server direndam dalam cairan dielektrik non-konduktif. Metode ini menghilangkan kebutuhan akan kipas internal server dan pendinginan udara tradisional, memungkinkan komputasi dengan kepadatan ultra-tinggi .

Selain efisiensi, pendinginan canggih juga memungkinkan Pemanfaatan Panas Limbah (Waste Heat Reuse) . Panas yang ditangkap dari cairan pendingin dapat disalurkan untuk memanaskan jaringan lokal, mengubah pusat data dari sekadar konsumen energi menjadi aset sirkular.

Komitmen Global dan Aksi Lokal di Indonesia

Penyedia cloud computing skala besar (hyperscaler) telah menetapkan standar industri global untuk pengadaan Energi Terbarukan (EBT) yang ketat:

 

  • Google: Mencapai kecocokan energi terbarukan 100% pada tahun 2020 . Rata-rata PUE tahunan armadanya adalah 1.09, jauh di bawah rata-rata industri (1.56) .
  • Amazon (AWS): Mencapai kecocokan 100% energi terbarukan untuk seluruh konsumsi listrik operasionalnya pada tahun 2023 . Perusahaan ini berkomitmen untuk mencapai target net-zero carbon pada tahun 2040 .
  • Microsoft: Menargetkan menjadi carbon negative pada tahun 2030 .

Table 2: Perbandingan Komitmen Keberlanjutan Hyperscaler Terkemuka

Green Data Center di Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan unik: permintaan data yang melonjak berbenturan dengan kenyataan bahwa konsumsi energi nasional masih sangat bergantung pada listrik berbasis batu bara. Ketergantungan ini secara inheren menghasilkan nilai CUE yang buruk.

Pemerintah Indonesia (Bappenas) merespons dengan mengeksplorasi skema Kemitraan Publik-Swasta (PPP) dalam RPJMN 2024-2029 untuk mengembangkan pusat data hijau. Skema ini bertujuan untuk memperkuat kedaulatan data dan AI nasional.

Untuk mengatur pertumbuhan ini, telah diterbitkan SNI 8799:2019, standar nasional pertama untuk Pusat Data Hijau di Indonesia . Standar ini mengintegrasikan panduan dari ISO 50001 (Manajemen Energi) dan ISO 14001 (Sistem Manajemen Lingkungan) .

Implementasi teknologi menunjukkan bahwa efisiensi tinggi dapat dicapai di iklim tropis:

 

  • Sebagai data nyata, fasilitas EDGE DC Kampus CGK di Greater Jakarta dilaporkan menawarkan PUE yang sangat kompetitif secara global sebesar 1.28.
  • Fasilitas EDGE2 di Jakarta bahkan disorot karena mencapai PUE market-leading, menjadikannya pusat data paling efisien di area metro Jakarta .

Pencapaian PUE 1.28 di Jakarta membuktikan bahwa hambatan utama transisi hijau di Indonesia bukan lagi masalah teknologi operasional, tetapi masalah pendanaan dan penyediaan sumber EBT yang kompetitif untuk mengurangi CUE

Kesimpulan: Jalan Menuju Masa Depan Regeneratif

Green IT adalah mandat yang tidak terhindarkan. Dengan konsumsi energi yang diproyeksikan akan berlipat ganda pada tahun 2030 , keberlanjutan adalah penentu ketahanan dan daya saing bisnis.

Masa depan Green IT akan didominasi oleh pergeseran paradigma: bergerak dari sekadar efisiensi (mengurangi dampak) menuju regenerasi (memberikan kontribusi positif).

 

  1. Regulasi Wajib: Pemerintah perlu menjadikan SNI 8799, terutama persyaratan CUE dan PUE yang rendah, sebagai standar wajib untuk pusat data baru.
  2. Adopsi Teknologi: Operator harus memprioritaskan pendinginan cair (Immersion/Direct-to-Chip) untuk mengatasi kepadatan AI .
  3. Ekonomi Sirkular: Penerapan sistem close-loop untuk daur ulang material dan program refurbishment perangkat keras sangat penting untuk mengatasi krisis e-waste global.

Pada akhirnya, pusat data di masa depan tidak hanya akan menjadi konsumen energi yang efisien, tetapi akan bertransformasi menjadi aset infrastruktur yang cerdas dan sirkular, yang terintegrasi secara fungsional ke dalam ekosistem kota dan energi yang lebih luas .

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image