30 Triliun BLT dan 100 Ribu Magang: Solusi atau Ilusi?
Agama | 2025-11-07 19:06:34
Oleh : Farah Adibah
Pemerintah mengumumkan stimulus ekonomi sebesar Rp30 triliun dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang akan dibagikan kepada 35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama Oktober–Desember 2025. Menteri Koordinator Perekonomian menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan menjaga daya beli masyarakat di tengah melemahnya ekonomi nasional akibat penurunan ekspor, inflasi pangan, dan ancaman PHK di berbagai sektor industri.
Tak berhenti di situ, Kementerian Ketenagakerjaan juga meluncurkan Program Magang Nasional bagi 100 ribu lulusan baru (fresh graduate). Hingga awal Oktober, lebih dari 450 perusahaan telah mendaftar menjadi mitra magang dan sebagian besar dari sektor industri manufaktur dan jasa.
Pemerintah menyebut kedua program ini sebagai bagian dari strategi “quick wins”, yaitu langkah cepat yang diharapkan menunjukkan performa kabinet baru di mata publik. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan ironi. Harga bahan pokok terus melambung, daya beli rakyat menurun, PHK massal masih menghantui, dan generasi muda semakin sulit memperoleh pekerjaan tetap.
Lulusan perguruan tinggi banyak yang akhirnya terjebak menjadi pekerja kontrak, peserta magang tanpa gaji, atau pengangguran terselubung. Data BPS menunjukkan bahwa separuh dari jumlah pengangguran nasional berasal dari kelompok usia muda 15–30 tahun.
Fakta ini mengungkap bahwa pengangguran bukan sekadar soal keterampilan, melainkan masalah sistemik. Di saat pemerintah sibuk menyalurkan BLT dan membuka program magang, industri nasional justru menyusut akibat krisis global. Negara tampak berusaha mengobati luka sosial-ekonomi dengan plester bantuan tunai dan program magang, padahal penyakit sesungguhnya adalah sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri.
Kebijakan BLT dan magang nasional merupakan produk khas kapitalisme sekuler, yang memandang persoalan rakyat dari kacamata jangka pendek dan pragmatis. Pemerintah hanya berupaya menenangkan gejolak ekonomi, bukan menyembuhkan akar kemiskinan.
BLT mungkin memberi efek sesaat, dimana rakyat bisa membeli sembako, membayar listrik, atau memenuhi kebutuhan harian. Namun dalam logika kapitalisme, bantuan tunai hanyalah painkiller sosial yang menenangkan sementara, tanpa menyembuhkan. Ia menumbuhkan ketergantungan rakyat pada negara tanpa mengubah struktur ekonomi yang membuat mereka miskin. Setelah tiga bulan bantuan berakhir, rakyat kembali berhadapan dengan kenyataan harga naik, pendapatan stagnan, dan lapangan kerja makin sempit.
Sementara itu, program magang nasional yang digadang-gadang sebagai solusi pengangguran justru memperlihatkan wajah eksploitatif kapitalisme modern. Ribuan lulusan muda disalurkan ke perusahaan besar untuk belajar kerja, namun banyak di antara mereka tak menerima upah layak, bahkan ada yang sama sekali tidak digaji. Mereka dianggap bukan pekerja, melainkan peserta pelatihan. Dengan dalih pemberdayaan, pemerintah sebenarnya memfasilitasi korporasi mendapatkan tenaga kerja murah tanpa tanggung jawab jangka panjang.
Lebih ironis lagi, program ini berjalan dengan logika pasar, dimana yang diterima magang adalah mereka yang sesuai dengan kebutuhan industri, bukan kebutuhan rakyat. Maka, magang nasional hanyalah mekanisme kapitalisme memperdalam ketergantungan tenaga kerja terhadap korporasi, bukan menyiapkan kemandirian ekonomi umat.
Kedua program ini jelas tak akan mampu menghapus kemiskinan dan pengangguran, sebab akar masalahnya terletak pada struktur ekonomi kapitalistik yang menumpuk kekayaan pada segelintir elit. Data Celios mencatat, 50 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 50 juta rakyat miskin. Ketimpangan ini bukanlah kecelakaan, tetapi konsekuensi dari sistem neoliberal yang memprivatisasi sumber daya publik dan menyerahkan urusan ekonomi pada mekanisme pasar. Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelayan rakyat.
Inilah kegagalan mendasar kapitalisme, ia hanya menguntungkan pemilik modal, sementara rakyat dibiarkan bertahan sendiri. BLT hanyalah sedekah politik, sedangkan magang nasional adalah panggung pencitraan. Rakyat diberi kesan seolah negara hadir, padahal sejatinya negara telah absen dari tanggung jawab aslinya.
Islam menghadirkan solusi yang jauh lebih mendasar dan manusiawi. Dalam sistem Islam, penguasa adalah ra’in (pelayan rakyat) yang wajib menjamin kesejahteraan setiap individu, bukan sekadar menjaga stabilitas ekonomi makro.
Dalam aspek ekonomi, Islam menempatkan negara sebagai pengelola harta milik umum, seperti tambang, energi, air, dan sumber daya strategis, agar hasilnya digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Dengan sistem ini, negara memiliki sumber pendapatan yang besar tanpa harus menindas rakyat lewat pajak atau utang luar negeri.
Islam juga memandang bekerja sebagai kewajiban individu dan tanggung jawab negara. Negara wajib memfasilitasi rakyat untuk bekerja melalui pembukaan sektor industri, pemberian tanah produktif, bantuan modal usaha, serta penyediaan pendidikan dan pelatihan gratis. Ini bukan program sosial, tapi fungsi utama negara Islam sebagai penjaga kehidupan umat.
Di sisi lain, sistem pendidikan Islam tidak akan mencetak lulusan pencari kerja, tetapi generasi pemimpin dan pencipta lapangan kerja. Mereka disiapkan bukan untuk menjadi roda industri kapitalis, melainkan penggerak perubahan bagi peradaban.
Dengan sistem politik dan ekonomi Islam, kesejahteraan bukan fatamorgana. Ia menjadi kenyataan yang hidup di tengah masyarakat. BLT dan magang nasional hanyalah kosmetik ekonomi yang menutupi wajah buruk kapitalisme. Ia tidak menyembuhkan kemiskinan, hanya menunda penderitaan. Selama kapitalisme tetap menjadi fondasi kebijakan, rakyat akan terus menjadi korban solusi jangka pendek yang menipu.
Kini saatnya umat menyadari bahwa solusi sejati hanya akan lahir dari sistem Islam, di mana negara benar-benar berfungsi sebagai pelindung rakyat, bukan penjaga kepentingan korporasi. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, keadilan ekonomi dan kesejahteraan hakiki dapat diwujudkan. Karena sistem Allah tidak menjanjikan angka, tetapi keberkahan bagi manusia dan seluruh bumi. Wallahu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
