Sudan Membara: Percaturan Kepentingan Barat Mengeksploitasi Sumber Daya Alam di Negeri Muslim
Politik | 2025-11-18 09:17:05
Krisis di Sudan kembali membara. Ribuan warga sipil terpaksa mengungsi, sementara pembunuhan massal dan pemerkosaan terjadi semakin brutal. Kota demi kota hancur, meninggalkan duka yang mendalam bagi rakyat Sudan yang mayoritas Muslim. Dunia internasional seolah hanya menjadi penonton bisu atas tragedi kemanusiaan yang tiada henti ini.
Padahal, Sudan bukanlah negeri yang miskin potensi. Negara terbesar ketiga di Afrika ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa: produsen emas terbesar di dunia Arab, memiliki cadangan minyak, gas, serta lahan subur yang dialiri sungai Nil—sungai terpanjang di dunia. Sudan juga dikenal memiliki peninggalan sejarah yang tak kalah megah dari Mesir, termasuk piramida-piramida kuno yang jumlahnya bahkan lebih banyak. Namun, di balik semua potensi tersebut, rakyat Sudan justru hidup dalam jerat krisis politik, ekonomi, dan kemanusiaan yang berkepanjangan.
Krisis yang Tak Pernah Usai dan Bayang-Bayang Kepentingan Asing
Konflik di Sudan sejatinya bukan fenomena baru. Akar krisisnya telah berlangsung puluhan tahun, dan jika ditelusuri lebih dalam, persoalan ini tidak semata-mata dilatarbelakangi oleh pertikaian etnis atau perebutan kekuasaan internal. Terdapat campur tangan dan kepentingan besar negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menjadikan Sudan sebagai bagian dari proyek geopolitik mereka di kawasan Afrika dan Timur Tengah.
Keterlibatan negara-negara sekutu seperti Israel dan Uni Emirat Arab juga menunjukkan adanya kepentingan strategis dalam perebutan pengaruh dan penguasaan sumber daya alam Sudan. Emas, minyak, dan posisi geografis Sudan yang strategis menjadikannya sasaran empuk eksploitasi ekonomi dan militer. Semua ini merupakan bagian dari skema besar yang dikenal dengan New Middle East Project—sebuah upaya Amerika Serikat untuk mengatur ulang peta politik dunia Islam demi melanggengkan dominasinya.
Di bawah dalih stabilitas dan demokrasi, intervensi asing justru memperpanjang konflik dan penderitaan rakyat. Ironisnya, lembaga-lembaga internasional yang seharusnya menjadi penjaga keadilan global, kerap berpihak kepada kepentingan negara-negara besar. Aturan dan sistem internasional yang ada lebih banyak berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni Barat atas negeri-negeri Muslim.
Sudan: Potret Negeri Muslim yang Dijadikan Objek Permainan Global
Kekayaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi berkah, justru menjadikan Sudan sasaran empuk perampokan ekonomi global. Rakyat Sudan tidak menikmati hasil bumi mereka sendiri. Sebaliknya, kekayaan itu mengalir ke korporasi asing dan elite lokal yang menjadi perpanjangan tangan kepentingan Barat.
Inilah wajah nyata kolonialisme modern—penjajahan tanpa harus menancapkan bendera. Negara-negara adidaya tidak perlu mengirimkan pasukan, cukup mengendalikan ekonomi, politik, dan militer melalui instrumen global yang mereka ciptakan sendiri. Akibatnya, negeri-negeri Muslim seperti Sudan terjebak dalam lingkaran setan: konflik internal, kemiskinan, dan ketergantungan pada bantuan asing.
Saatnya Umat Melihat dengan Kacamata Ideologis
Tragedi di Sudan seharusnya menjadi bahan refleksi bagi umat Islam di seluruh dunia. Bahwa seluruh penderitaan yang terjadi di negeri-negeri Muslim bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari perang peradaban antara Islam dan ideologi sekuler-kapitalis.
Selama umat Islam hanya melihat masalah ini sebatas konflik kemanusiaan tanpa menyentuh akar ideologisnya, solusi hakiki tidak akan pernah ditemukan. Diperlukan peningkatan kesadaran berpikir umat agar mampu membaca realitas dunia dari sudut pandang Islam—bahwa seluruh penderitaan ini bersumber dari absennya penerapan sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sistem Islam sebagai Solusi Hakiki
Hanya sistem Islam yang mampu mengatur kekayaan alam untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elit atau negara asing. Dalam sistem Islam, sumber daya alam seperti emas, minyak, dan gas dikelola oleh negara untuk kepentingan umum. Tidak ada ruang bagi kapital asing untuk menguasai sektor strategis. Negara menjadi pelindung bagi rakyat, bukan alat kepentingan korporasi global.
Lebih dari itu, sistem Islam akan menyatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan yang berlandaskan aqidah, sehingga mampu menghadapi hegemoni politik dan ekonomi Barat secara kolektif. Persatuan ini bukan hanya idealisme utopis, tetapi keniscayaan yang harus diperjuangkan agar umat Islam terbebas dari penjajahan modern.
Penutup
Sudan hari ini adalah cermin bagi dunia Islam: negeri yang kaya, namun tak berdaya karena kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Selama sistem kapitalisme global masih menguasai dunia, tragedi seperti Sudan akan terus berulang di berbagai belahan negeri Muslim.
Kini saatnya umat Islam bangkit dengan kesadaran ideologis, menolak segala bentuk penjajahan, dan bekerja menuju terwujudnya sistem Islam yang menyatukan dan menebar rahmat bagi seluruh alam. Hanya dengan itu, eksploitasi atas sumber daya umat dapat dihentikan, dan kehormatan negeri-negeri Muslim dapat kembali ditegakkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
