Deontologi Kantian dan Niat Baik Ulama
Agama | 2025-11-05 18:05:08Ruang publik kembali riuh di awal November 2025. Seorang kepala daerah Provinsi Riau, Abdul Wahid, terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. Menariknya, cibiran publik tak hanya dialamatkan kepada sang kepala daerah, tetapi juga kepada sosok ulama kharismatik Melayu-Riau, Ustaz Abdul Somad (UAS).
Pasalnya, ketika kontestasi Pilgub Riau berlangsung, UAS dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling vokal mengendorse Abdul Wahid. Tak pelak, UAS menjadi sasaran empuk komentar pedas warganet, yang sebagian bahkan berlebihan. Namun, apakah adil jika ulama sekelas UAS ikut dipersalahkan?
UAS mengajak umat memilih calon pemimpin tentu didasarkan pada argumentasi moral dan akal sehat. Ajakan itu semestinya dipahami sebagai panduan etis dari seorang ulama kepada umat, bukan kontrak politik yang mengikat secara moral. Namun, ketika sang pemimpin yang dulu didukungnya terjerat korupsi, tuntunan itu seketika berubah rupa menjadi tudingan. Di titik inilah niat baik diuji oleh kenyataan yang buruk.
Dalam kenyataan sosial masyarakat kita, ulama masih menempati posisi sebagai figur moral yang dipercaya publik. Mereka membawa beban kepercayaan, sekaligus tanggung jawab moral yang besar. Namun, ulama bukanlah sosok maksum—tidak terjaga dari kekeliruan atau khilaf. Ia manusia yang bisa salah dalam ijtihad sosialnya. Karena itu, endorsement politik dari ulama perlu dipahami sebagai bentuk ijtihad sosial, bukan janji kebenaran absolut.
Ijtihad sosial semacam itu adalah pendapat ilmiah yang dilandasi rasionalitas, data, dan pertimbangan moral yang berlaku pada konteks waktu tertentu. Dengan demikian, endorsement seorang ulama lahir dari niat tulus untuk membimbing umat agar memilih sesuai kriteria ideal yang ia pahami. Bahwa kemudian hasilnya tidak sesuai harapan, itu adalah risiko dari keterbatasan manusia membaca masa depan.
Di sinilah pentingnya menengok teori etika dari Immanuel Kant, seorang filsuf besar Jerman abad ke-18. Dalam pandangan deontologi Kantian, moralitas tindakan diukur bukan dari hasilnya, melainkan dari niat dan kewajiban moral di balik tindakan itu. Selama seseorang bertindak berdasarkan niat baik dan kewajiban moral yang ia pahami, maka tindakannya tetap bermoral—meski akibatnya buruk. Kant menolak mengukur moralitas dari keberhasilan atau kegagalan, sebab hasil sering kali di luar kendali manusia.
Prinsip ini selaras dengan kaidah fiqh yang dikenal dalam Islam: “Fi’lul ‘aqil la yusba’u bi ghairihi”—akal bertanggung jawab hanya atas apa yang ia ketahui. Dalam tradisi pesantren, kesalahan hasil ijtihad tidak menghapus nilai moral dari niat yang benar. Ulama yang menyeru umat memilih berdasarkan ilmu dan nurani tetap terhormat, selama ia tidak menutup mata terhadap kenyataan dan bersedia mengoreksi diri. Maka, jika UAS berijtihad mendukung calon dengan dasar moral dan bukti rasional, ia telah memenuhi kewajiban etikanya. Korupsi yang dilakukan sang kepala daerah tidak bisa serta-merta menodai niat baik ulama yang mendukungnya.
Publik tentu berhak kecewa. Tetapi membebankan kesalahan politik pejabat kepada ulama adalah bentuk simplifikasi moral yang keliru. Tanggung jawab moral ulama terletak pada kejujuran dan keterbukaannya dalam menghadapi perubahan realitas, bukan pada hasil akhir yang tak dapat ia kendalikan. Korupsi pejabat publik jelas merupakan pengkhianatan terhadap amanat rakyat, tetapi ia adalah kesalahan personal, bukan refleksi dari moralitas ulama yang pernah mendukungnya.
Agar ruang publik lebih sehat, masyarakat perlu belajar membedakan antara kesalahan moral dan kesalahan empiris. Kesalahan moral terjadi ketika seseorang secara sadar melanggar nilai etika—karena niat buruk, keserakahan, atau kepentingan pribadi. Sementara kesalahan empiris muncul karena keterbatasan pengetahuan atau informasi yang asimetris. Dalam kesalahan empiris, seseorang berniat baik tetapi hasilnya keliru karena realitas yang kompleks dan tak terduga.
Dalam konteks ini, kesalahan ulama dalam menilai calon pemimpin lebih dekat dengan kesalahan empiris, bukan moral. Sama seperti seorang dokter yang memberikan obat sesuai protokol tetapi pasiennya mengalami efek samping tak terduga, ulama pun bisa salah membaca karakter seseorang. Ia mungkin keliru secara empiris, tetapi tidak bersalah secara moral. Niat baiknya tetap utuh, selama ia jujur dan mau mengoreksi diri setelah fakta berubah.
Etika deontologis menempatkan manusia sebagai subjek bermoral yang dinilai dari integritas niatnya, bukan dari keberhasilan pragmatisnya. Jika niat baik pun dicela hanya karena hasilnya buruk, maka ruang moral publik akan kehilangan fondasinya. Tak ada lagi tempat bagi ketulusan, sebab setiap tindakan akan dihakimi oleh hasil yang sering kali berada di luar kendali manusia.
Dalam hal ini, UAS justru diuji pada dua hal: ketulusan niat dan kesediaan untuk refleksi. Jika ia tetap rendah hati dan bersedia belajar dari kenyataan, maka ijtihad sosialnya tetap bernilai. Ulama yang keliru menilai tidak kehilangan martabatnya selama ia tidak menutup diri dari kritik dan perubahan. Kesalahan empiris bukanlah cela moral, melainkan bagian dari dinamika manusia yang berusaha membaca zaman dengan cahaya terbatas.
Masyarakat yang matang bukanlah yang gemar mencari kambing hitam, melainkan yang belajar dari niat baik yang diuji oleh kenyataan. Kita hidup di era ketika ruang publik mudah menghakimi dengan logika hasil, bukan proses. Padahal antara niat dan akibat, selalu ada ruang bagi kebijaksanaan. Di sanalah letak kemanusiaan dan keimanan diuji: bukan dalam kesempurnaan hasil, tetapi dalam kemurnian niat untuk mencari kebaikan. Allahu a‘lam bish-shawab.■
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
