Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dini Safitri

Tangisan Malam dan Kesabaran Indah: Refleksi QS Yusuf 1618

Agama | 2025-11-05 05:48:31

Dalam QS Yusuf ayat 16–18, Al-Qur’an menyajikan sebuah episode dramatis yang sarat makna psikologis dan spiritual. Saudara-saudara Nabi Yusuf kembali datang kepada ayah mereka, Nabi Ya’qub. Mereka datang di malam hari, sambil menangis dan membawa kabar duka bahwa Nabi Yusuf telah dimakan serigala. Mereka menunjukkan baju Nabi Yusuf yang berlumuran darah palsu, dan berharap sang ayah mempercayai cerita mereka. Namun, Nabi Ya’qub tidak terjebak oleh air mata atau narasi yang tampak menyentuh. Ia membaca lebih dalam, bukan hanya kata, tetapi tanda.

Ayat-ayat ini bukan sekadar kisah sedih yang menyelimuti kebohongan. Ia adalah cermin dari dinamika keluarga, manipulasi emosional, dan keteguhan seorang ayah dalam menghadapi luka batin. Nabi Ya’qub tidak membalas dengan amarah atas perbuatan saudara-saudara Nabi Yusuf, melainkan berujar dengan kalimat yang menjadi warisan spiritual: Fasabrun jamil (Kesabaran yang indah).

Kesabaran indah bukan berarti pasif. Ia adalah bentuk tertinggi dari kendali diri, kepercayaan kepada Allah, dan penolakan terhadap reaksi impulsif. Dalam konteks parenting, ini adalah pelajaran penting. Orang tua tidak selalu harus bereaksi terhadap tangisan atau cerita anak dengan emosi. Ada saatnya intuisi dan doa menjadi alat utama dalam membaca kebenaran.

Dalam kisah ini, saudara-saudara Yusuf sengaja datang di malam hari. Tafsir klasik menyebutkan bahwa malam adalah waktu yang sengaja dipilih agar luka batin tidak terlihat jelas, dan agar tangisan mereka tampak lebih dramatis. Ini menunjukkan bahwa manipulasi bisa sangat halus, bahkan dalam lingkup keluarga. Namun, Nabi Ya’qub tidak kehilangan arah. Ia tidak menyebut anak-anaknya sebagai pendusta secara langsung, tetapi mengatakan: “Bahkan, jiwa kalian telah membisikkan sesuatu kepada kalian.” Ini adalah bentuk teguran yang lembut namun tajam.

Dalam kehidupan modern, ayat ini relevan untuk para orang tua, pendidik, dan pemimpin keluarga. Ketika menghadapi konflik keluarga, penting untuk tidak hanya mendengar kata-kata, tetapi juga membaca konteks, ekspresi, dan pola. Kesabaran bukan berarti diam, tetapi ada cara yang tepat untuk merespons.

QS Yusuf 16–18 juga mengajarkan bahwa tidak semua tangisan adalah tanda kejujuran. Air mata bisa menjadi alat, bukan bukti. Maka, dalam mendidik anak, penting untuk membangun komunikasi yang jujur, bukan sekadar emosional. Orang tua perlu mengajarkan bahwa kejujuran lebih berharga daripada simpati yang diperoleh lewat kebohongan.

Kalimat penutup dari ayat ini, “Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan atas apa yang kalian ceritakan” menjadi penutup yang agung. Dalam menghadapi kebohongan, fitnah, atau luka batin, maka tempat terbaik untuk bersandar adalah kembali kepada Allah. Tidak ada dendam dan amarah, yang ada hanya doa dan kesabaran seorang Ayah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image