Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dini Safitri

Mengelola Duka dan Menjaga Harapan dalam Keluarga

Agama | 2025-11-07 13:28:43

Dalam QS Yusuf ayat 81–87, kita menyaksikan babak paling emosional dalam kisah Nabi Ya’qub. Setelah kehilangan Nabi Yusuf, anaknya yang kecil, Bunyamin tertahan di Mesir. Kakak-kakaknya kembali dengan kabar buruk. Sekali lagi, respons Nabi Ya’qub bukan ledakan amarah, melainkan ekspresi duka yang mendalam, namun disana ada kesabaran dan harapan yang tak padam.

Ayat-ayat ini dapat menjadi cermin spiritual dan psikologis tentang bagaimana seorang ayah mengelola kehilangan, menjaga harapan, dan membimbing keluarganya di tengah krisis. Ketika Kakak-kakaknya menjelaskan bahwa Bunyamin tertahan karena dituduh mencuri, Nabi Ya’qub tidak langsung percaya. Ia berkata, “Sebenarnya kalian telah mempengaruhi diri kalian sendiri untuk melakukan sesuatu.” (QS Yusuf: 83).

Jawaban tersebut menunjukkan bahwa duka tidak membutakan logika. Nabi Ya’qub tetap kritis, namun tidak menghukum secara impulsif. Ia memilih “kesabaran yang baik” (ṣabrun jamīl), sebuah konsep yang berarti sabar tanpa keluhan kepada manusia, hanya curhat kepada Allah. Ini adalah bentuk spiritualitas yang matang dalam mengelola emosi tanpa kehilangan arah.

Mengadu kepada Allah, Bukan Manusia

Dalam ayat 86, Ya’qub berkata, “Sesungguhnya aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah.” Isi kandungan ayat ini menjadi pelajaran penting dalam pengelolaan emosi. Mengadu kepada Allah bukan berarti lemah, tetapi tahu kepada siapa kita bersandar. Nabi Ya’qub tidak memendam kesedihannya, tetapi menyalurkannya secara spiritual.

Di era modern, banyak orang terjebak antara memendam dan meledak. Ayat ini mengajarkan jalan tengahnya, sebuah ekspresi yang sehat, namun tetap dalam koridor iman.

Meski telah kehilangan dua orang anak, Nabi Ya’qub tetap berkata, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS Yusuf: 87). Ia bahkan menyuruh anak-anaknya yang lain untuk kembali mencari Yusuf dan Bunyamin. Ini adalah bentuk harapan aktif, bukan sekadar menunggu, tetapi bertindak dengan keyakinan bahwa rahmat Allah selalu ada.

Dalam konteks parenting, Ayah harus menjadi sumber harapan. Harapan adalah energi untuk bertahan dan bergerak. Nabi Ya’qub menunjukkan bahwa menjadi ayah bukan hanya soal memberi nafkah, tetapi juga menjadi pengelola emosi keluarga. Ia tidak membiarkan duka merusak komunikasi, tidak membiarkan amarah merusak relasi, dan tidak membiarkan kehilangan mematikan harapan.

QS Yusuf 81–87 adalah pelajaran tentang bagaimana mengelola kehilangan, menjaga harapan, dan membimbing keluarga dengan sabar dan spiritualitas. Di tengah dunia yang penuh tekanan, ayat-ayat ini menjadi oase bagi mereka yang mencari ketenangan, arah, dan kekuatan dalam menghadapi duka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image