Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zefanya Putri Agustin

Mengupas Taktik Ad Hominem di Balik Tangis Orang Tua Santri Sidoarjo

Update | 2025-11-04 13:55:54

TRAGEDI pilu melanda sebuah pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur, ketika bangunan musala tiga lantai yang tengah dalam tahap pengecoran ambruk pada Senin sore (29/9/2025). Insiden yang menewaskan puluhan santri dan melukai banyak lainnya ini segera memicu respons yang terbagi.

Operasi penyelamatan berlangsung dramatis. Di lokasi, tim medis mengambil keputusan darurat untuk melakukan amputasi di bawah reruntuhan demi menyelamatkan nyawa santri yang terjepit beton. Seorang perwakilan orang tua yang menuntut keadilan, Fauzi, menegaskan bahwa ini adalah masalah hukum:

"Petugas dan pakar telah menyatakan bahwa ada kegagalan konstruksi dalam bangunan yang ambruk. Berarti ada pelanggaran di situ dan harus diproses. Polisi harus segera memproses hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab."

Namun, tuntutan rasional ini terhalang oleh narasi spiritual yang kuat. Sebagian keluarga yang berduka menolak jalur hukum dan santunan, dengan alasan utama budaya yang mengikat santri dan pengasuh. Inilah yang diakui oleh Fauzi sebagai hambatan utama dalam mencari keadilan:

"Sebagian orang tua korban memilih untuk diam dan mengikhlaskan anak-anaknya yang menjadi korban. Ini terjadi karena kultur santri-kiai yang kuat yang menjadi hambatan orang tua untuk menuntut ini dan itu."

Fauzi menyoroti bagaimana sikap pasrah ini, meskipun didorong oleh keikhlasan, secara efektif membungkam kritik terhadap dugaan kelalaian. Di tengah pusaran tuntutan hukum, kesedihan, dan kepasrahan inilah, muncul berbagai serangan argumen yang bertujuan mengalihkan fokus dari akar masalah yang sebenarnya: kelalaian konstruksi dan izin bangunan yang tidak ada. Ini adalah medan sempurna bagi sesat pikir jenis Ad Hominem untuk beraksi, di mana serangan pribadi menjadi senjata untuk menanggapi tuntutan yang sah.

Ad Hominem: Menyerang Personal dan Memperalat Status Kiai

Ad Hominem (menyerang pribadi) adalah sesat pikir yang terjadi ketika seseorang mencoba mendiskreditkan argumen lawan dengan menyerang karakter, motif, atau latar belakang pribadinya, alih-alih membahas substansi argumen itu sendiri. Dalam konteks tragedi Sidoarjo, Ad Hominem muncul dalam tiga bentuk utama:

1. Menyerang Keimanan Pihak yang Menuntut (Memanfaatkan Kultur Kiai)

Ini adalah bentuk Ad Hominem yang paling kuat dalam konteks pesantren. Tujuannya adalah membungkam tuntutan legal dengan menilainya sebagai tindakan "tidak pantas" secara moral atau spiritual.

Bentuk Ad Hominem: “Mereka yang terus menuntut dan tidak terima musibah ini berarti tidak ikhlas dan tidak menghormati kiai. Seharusnya mereka mengikuti contoh keluarga lain yang memilih ridho kiai agar mendapat keberkahan, bukan malah menuntut hukum atas musibah yang merupakan takdir.”

Analisis Logika: Tuntutan untuk investigasi struktural dan penegakan hukum adalah argumen rasional dan legal. Dengan menyerang 'keikhlasan' dan menempatkan ridho kiai sebagai syarat untuk menghentikan tuntutan, pihak yang dikritik melakukan Ad Hominem yang menyerang kualitas spiritual penuntut. Ini merupakan upaya pengalihan isu yang memperalat otoritas spiritual untuk menghalangi proses hukum terhadap kesalahan manusia (kegagalan konstruksi) dan mengaburkan fakta bahwa kelalaian harus dipertanggungjawabkan di mata hukum.

2. Menyerang Motif Keuangan Keluarga Korban

Serangan ini ditujukan untuk mendiskreditkan keabsahan tuntutan ganti rugi yang diajukan.

Bentuk Ad Hominem: “Orang tua yang paling vokal menuntut penyelidikan dan kompensasi itu sebenarnya hanya haus uang dan mencari sensasi media, bukan benar-benar peduli pada keselamatan anaknya.”

Analisis Logika: Serangan ini tidak membahas substansi masalah, yaitu mengapa bangunan rubuh. Entah motif orang tua adalah uang atau keadilan, fakta bahwa bangunan rubuh karena kelalaian struktural tetap valid dan harus dipertanggungjawabkan. Serangan ini bertujuan mengalihkan perhatian publik dari pertanggungjawaban hukum.

3. Menyerang Profesionalisme Tim Evakuasi

Serangan yang muncul di awal tragedi, didorong oleh keputusasaan atas lambatnya proses evakuasi yang dibatasi oleh faktor teknis.

Bentuk Ad Hominem: “Tim SAR terlalu lamban dan tidak punya pengalaman menangani reruntuhan seperti ini. Buktinya, mereka biarkan anak kami terhimpit berhari-hari sampai ada yang harus diamputasi!”

Analisis Logika: Serangan ini menyerang kompetensi dan moral tim penyelamat. Padahal, keputusan untuk menunda penggunaan alat berat adalah argumen substantif berdasarkan risiko teknis yang rasional (risiko runtuhan susulan). Ad Hominem ini merusak kepercayaan publik terhadap profesional dan mengabaikan argumen substantif tim SAR mengenai keselamatan.

Kesimpulan: Melawan Pengalihan Isu

Tragedi Sidoarjo adalah masalah kompleks yang menuntut empati, dan juga analisis kritis yang tajam. Penggunaan Ad Hominem, terutama yang memanfaatkan kultur ridho kiai untuk membungkam tuntutan, merupakan upaya berbahaya untuk mengalihkan isu dari kegagalan konstruksi dan pengawasan. Untuk memastikan keadilan bagi santri yang meninggal dan yang mengalami cedera permanen, masyarakat harus jeli memisahkan serangan personal dari fakta substantif mengenai pertanggungjawaban hukum.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image