Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shalsabila Fatma Azhari

Ketika Sertifikat Menjadi Ilusi: Krisis Kepastian Hukum Pertanahan di Indonesia

Hukum | 2025-10-28 15:52:47

Awal tahun ini, publik dikejutkan oleh terbongkarnya praktik mafia tanah di Grobogan, Jawa Tengah. Sebidang tanah seluas hampir dua ratus hektar, dengan nilai mencapai Rp3,41 triliun, tiba-tiba berpindah kepemilikan tanpa proses hukum yang sah. Skemanya halus: manipulasi data, pemalsuan dokumen, dan permainan birokrasi yang seolah-olah mengetahui betul celah di sistem pertanahan. Kasus ini bukan hanya soal pencurian aset negara, tapi juga bukti bahwa kepastian hukum di bidang agraria masih lebih banyak janji daripada yang diwujudkan.

Fenomena ini kembali menyingkap luka lama: mafia tanah bukan sekadar pelaku kriminal individu, melainkan sistem yang tumbuh dari ketimpangan kekuasaan, lemahnya pengawasan, dan kaburnya akuntabilitas lembaga negara. Di sisi lain, negara justru sedang mendorong digitalisasi pertanian sebagai simbol kemajuan hukum. Ironinya, sistem yang seharusnya menutup peluang manipulasi justru dimanfaatkan oleh mereka yang paham bagaimana hukum bekerja di atas kertas namun tidak di dunia nyata.

Tanah selalu punya arti lebih dari sekadar sebidang lahan. Ia adalah identitas, sumber kehidupan, dan penanda keadilan sosial yang menjanjikan konstitusi. Namun, di tengah cita-cita itu, kasus mafia tanah terus bermunculan bagai jamur di musim hujan. Salah satu yang menyebutkan adalah kasus mafia tanah di Grobogan, Jawa Tengah, di mana lahan seluas 198 hektar senilai Rp3,41 triliun berpindah tangan secara ilegal. Bukan lewat senjata, tapi lewat dokumen dan sistem administrasi yang bisa disetir. Istilah mafia tanah sendiri merujuk pada praktik kejahatan terorganisir yang melibatkan oknum pemerintah, aparat penegak hukum, hingga pihak swasta untuk mengubah atau memalsukan status kepemilikan tanah demi keuntungan pribadi.

Mereka bekerja dalam bayang-bayang kelemahan sistem hukum, memanfaatkan celah antara regulasi dan kenyataan. Padahal, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang menjadi dasar hukum utama dalam pengaturan kepemilikan, penggunaan, dan fungsi sosial tanah. UUPA menegaskan bahwa tanah memiliki peran sosial, bukan hanya komoditas ekonomi. Namun, enam dekade sejak lahirnya, semangat keadilan sosial yang diusung UUPA terasa semakin kabur di balik permainan birokrasi dan kepentingan politik.

Secara normatif, hukum pertanahan Indonesia berdiri di atas asas kepastian hukum dan keadilan sosial. Keduanya seharusnya berjalan beriringan: hukum memberikan jaminan bagi pemilik tanah yang sah, dan negara menjamin agar tanah digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 33 ayat 3. Namun, dalam praktiknya, jaminan hukum sering kali berhenti di atas kertas. Sertifikat tanah yang seharusnya menjadi bukti otentik kepemilikan malah berubah jadi ilusi administratif.

Dalam kasus Grobogan, sertifikat yang sah bisa dikalahkan oleh dokumen palsu yang lolos karena lemahnya verifikasi digital dan kolusi di lapangan. Ironinya,negara justru sedang gencar mengampanyekan digitalisasi pertanahan melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Tujuannya mulia: mempercepat pendataan, mengurangi kerusakan, dan menutup celah korupsi. Namun jika sistem digital tidak dibarengi dengan integritas aparat dan transparansi data, digitalisasi hanya mengganti bentuk penipuan dari manual yang berani.

Masalah utama dalam kasus semacam ini bukan sekadar “oknum”, melainkan ketimpangan kekuasaan dalam akses terhadap hukum. Rakyat kecil dihadapkan pada jaringan yang memiliki modal, akses, dan batasan koneksi. Sementara itu, lembaga penegak hukum akan menjatuhkan sanksi reaktif, bukan preventif. Penindakan baru dilakukan setelah kerugian terjadi, bukan sebelum sistemnya dibobol. Di titik ini, prinsip rule of law seperti yang digagas oleh Hans Kelsen dan AV Dicey mengalami degradasi: seolah hukum bukan lagi piranti netral yang melindungi semua orang, melainkan arena perebutan kepentingan.

Kasus Grobogan membuka luka lama tentang bagaimana hukum agraria di Indonesia sering gagal menjawab kebutuhan zaman. UUPA 1960 dibangun dalam semangat pascarevolusi ketika redistribusi tanah jadi simbol keadilan sosial. Namun hari ini, permasalahan tanah tak lagi hanya soal siapa yang punya lahan, melainkan juga siapa yang mengendalikan data dan informasi pertanahan. Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar revisi regulasi, melainkan pembenahan kultur hukum. Pertama, integritas aparatur pertanian harus dijamin melalui sistem audit independen dan mekanisme pengawasan publik. Kedua, keterbukaan data pertanahan perlu dijadikan prinsip, bukan pilihan.

Ketiga, reformasi digitalisasi harus memastikan bahwa keamanan data, sertifikasi elektronik, dan keabsahan dokumen digital berada di bawah pengawasan hukum yang kuat, bukan sekadar proyek administratif. Kepastian hukum tak lahir dari sertifikat, tapi dari sistem yang dipercaya. Ketika hukum gagal menjaga kepercayaan publik, maka setiap dokumen, betapa pun sah di mata negara, tak lebih dari lembaran tanpa makna.

Kasus Grobogan hanyalah satu potret kecil dari krisis yang lebih besar: rapuhnya keadilan agraria di negeri yang katanya berlandaskan hukum. Selama hukum masih tunduk pada kekuasaan dan bukan pada prinsip, maka tanah—simbol paling nyata dari kedaulatan rakyat akan terus menjadi permainan di atas penderitaan banyak orang.lembaga penegak hukum menjatuhkan sanksi reaktif, bukan preventif.

Penindakan baru dilakukan setelah kerugian terjadi, bukan sebelum sistemnya dibobol. Di titik ini, prinsip rule of law seperti yang digagas oleh Hans Kelsen dan AV Dicey mengalami degradasi: seolah hukum bukan lagi piranti netral yang melindungi semua orang, melainkan arena perebutan kepentingan. Kasus Grobogan membuka luka lama tentang bagaimana hukum agraria di Indonesia sering gagal menjawab kebutuhan zaman. UUPA 1960 dibangun dalam semangat pascarevolusi ketika redistribusi tanah jadi simbol keadilan sosial. Namun hari ini, permasalahan tanah tak lagi hanya soal siapa yang punya lahan, melainkan juga siapa yang mengendalikan data dan informasi pertanahan. Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar revisi regulasi, melainkan pembenahan kultur hukum. Pertama, integritas aparatur pertanian harus dijamin melalui sistem audit independen dan mekanisme pengawasan publik. Kedua, keterbukaan data pertanahan perlu dijadikan prinsip, bukan pilihan. Ketiga, reformasi digitalisasi harus memastikan bahwa keamanan data, sertifikasi elektronik, dan keabsahan dokumen digital berada di bawah pengawasan hukum yang kuat, bukan sekadar proyek administratif. Kepastian hukum tak lahir dari sertifikat, tapi dari sistem yang dipercaya. Ketika hukum gagal menjaga kepercayaan publik, maka setiap dokumen, betapa pun sah di mata negara, tak lebih dari lembaran tanpa makna. Kasus Grobogan hanyalah satu potret kecil dari krisis yang lebih besar: rapuhnya keadilan agraria di negeri yang katanya berlandaskan hukum. Selama hukum masih tunduk pada kekuasaan dan bukan pada prinsip, maka tanah—simbol paling nyata dari kedaulatan rakyat akan terus menjadi permainan di atas penderitaan banyak orang.lembaga penegak hukum menjatuhkan sanksi reaktif, bukan preventif. Penindakan baru dilakukan setelah kerugian terjadi, bukan sebelum sistemnya dibobol. Di titik ini, prinsip rule of law seperti yang digagas oleh Hans Kelsen dan AV Dicey mengalami degradasi: seolah hukum bukan lagi piranti netral yang melindungi semua orang, melainkan arena perebutan kepentingan. Kasus Grobogan membuka luka lama tentang bagaimana hukum agraria di Indonesia sering gagal menjawab kebutuhan zaman. UUPA 1960 dibangun dalam semangat pascarevolusi ketika redistribusi tanah jadi simbol keadilan sosial. Namun hari ini, permasalahan tanah tak lagi hanya soal siapa yang punya lahan, melainkan juga siapa yang mengendalikan data dan informasi pertanahan. Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar revisi regulasi, melainkan pembenahan kultur hukum. Pertama, integritas aparatur pertanian harus dijamin melalui sistem audit independen dan mekanisme pengawasan publik. Kedua, keterbukaan data pertanahan perlu dijadikan prinsip, bukan pilihan. Ketiga, reformasi digitalisasi harus memastikan bahwa keamanan data, sertifikasi elektronik, dan keabsahan dokumen digital berada di bawah pengawasan hukum yang kuat, bukan sekadar proyek administratif. Kepastian hukum tak lahir dari sertifikat, tapi dari sistem yang dipercaya. Ketika hukum gagal menjaga kepercayaan publik, maka setiap dokumen, betapa pun sah di mata negara, tak lebih dari lembaran tanpa makna. Kasus Grobogan hanyalah satu potret kecil dari krisis yang lebih besar: rapuhnya keadilan agraria di negeri yang katanya berlandaskan hukum. Selama hukum masih tunduk pada kekuasaan dan bukan pada prinsip, maka tanah—simbol paling nyata dari kedaulatan rakyat akan terus menjadi permainan di atas penderitaan banyak orang.tapi dari sistem yang dipercaya. Ketika hukum gagal menjaga kepercayaan publik, maka setiap dokumen, betapa pun sah di mata negara, tak lebih dari lembaran tanpa makna. Kasus Grobogan hanyalah satu potret kecil dari krisis yang lebih besar: rapuhnya keadilan agraria di negeri yang katanya berlandaskan hukum. Selama hukum masih tunduk pada kekuasaan dan bukan pada prinsip, maka tanah—simbol paling nyata dari kedaulatan rakyat akan terus menjadi permainan di atas penderitaan banyak orang.tapi dari sistem yang dipercaya. Ketika hukum gagal menjaga kepercayaan publik, maka setiap dokumen, betapa pun sah di mata negara, tak lebih dari lembaran tanpa makna. Kasus Grobogan hanyalah satu potret kecil dari krisis yang lebih besar: rapuhnya keadilan agraria di negeri yang katanya berlandaskan hukum. Selama hukum masih tunduk pada kekuasaan dan bukan pada prinsip, maka tanah—simbol paling nyata dari kedaulatan rakyat akan terus menjadi permainan di atas penderitaan banyak orang.

Referensi: https://bengkulu.antaranews.com/berita/354966/kasus-mafia-tanah-terbesar-di-grobogan-berpotensi-rugikan-negara-rp341-triliun

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image