Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Helmalia

Budaya Ngopi dan Ruang Sosial Anak Muda

Gaya Hidup | 2025-10-27 14:42:50
Sumber : dokumen pribadi

Beberapa malam lalu, aku duduk di sudut sebuah coffee shop kecil yang ramai di tengah kota. Di seberangku, sekelompok anak muda tertawa sambil memainkan laptop dan ponsel. Di meja lain, dua orang tampak serius berdiskusi sambil menatap layar penuh angka.

Sementara itu, seorang barista sibuk menggiling biji kopi, dan aroma robusta yang pekat memenuhi udara. Suasana itu terasa akrab sekaligus unik — seolah tempat ini bukan sekadar warung minum, melainkan ruang sosial yang hangat dan cair bagi banyak kalangan muda.

Fenomena “ngopi” kini bukan lagi sebatas kegiatan minum kopi. Ia telah bertransformasi menjadi gaya hidup yang melekat kuat dalam keseharian anak muda. Dari kafe modern di pusat kota hingga warung kopi sederhana di pinggir jalan, semua menjadi titik temu yang mempersatukan orang dengan latar belakang berbeda. Bagi sebagian orang, ngopi adalah ritual melepas penat. Bagi yang lain, ia menjadi momen untuk berjejaring, berdiskusi, atau bahkan berkolaborasi dalam pekerjaan dan proyek kreatif, bahkan mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.

Menurut riset dari Toffin Indonesia (2023), pertumbuhan bisnis kedai kopi meningkat sekitar 8% per tahun, dengan mayoritas pengunjung berusia 18–35 tahun. Data ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara budaya ngopi dan kehidupan sosial generasi muda. Coffee shop tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat membeli minuman, melainkan sebagai ruang sosial baru yang menggantikan fungsi taman, kampus, atau bahkan rumah bagi sebagian orang.

Aku sering memperhatikan bagaimana interaksi di coffee shop berkembang begitu dinamis. Orang-orang yang tadinya asing bisa terlibat dalam percakapan ringan, dimulai dari hal sepele seperti bertanya colokan listrik hingga akhirnya berbagi cerita tentang pekerjaan atau kuliah. Di sisi lain, banyak komunitas kreatif yang menjadikan coffee shop sebagai tempat berkumpul rutin — mulai dari komunitas penulis, fotografer, hingga pegiat lingkungan. Tempat ini menjadi jembatan sosial yang memungkinkan pertemuan antarpemikiran.

Budaya ngopi juga mencerminkan pergeseran cara anak muda membangun hubungan sosial. Dulu, pertemanan banyak terjalin di lingkungan sekolah atau kampus. Kini, relasi bisa dimulai dari sebuah meja kopi. Seseorang yang datang sendiri bisa pulang dengan kontak baru, peluang kerja, bahkan ide kolaborasi. Ruang sosial ini terasa lebih bebas dan inklusif. Tidak ada batasan usia, status, atau profesi. Semua berbaur dalam suasana santai yang ditopang oleh musik lembut dan aroma kopi.

Sosiolog Erving Goffman dalam teorinya tentang interaksi sosial pernah menyebut bahwa manusia adalah aktor yang memainkan peran di panggung kehidupan. Coffee shop, dalam konteks budaya modern, bisa disebut sebagai “panggung sosial” baru bagi anak muda. Di sinilah mereka menampilkan citra diri, berinteraksi dengan orang lain, dan membangun

makna kebersamaan. Tak jarang, momen ngopi diabadikan ke media sosial, menjadi bagian dari narasi diri yang ingin ditampilkan ke publik.

Namun di balik kehangatan itu, ada juga sisi lain yang menarik untuk diamati. Budaya ngopi kerap dikaitkan dengan pencitraan dan gaya hidup konsumtif. Harga kopi yang relatif tinggi di beberapa tempat kadang tidak sebanding dengan pendapatan pelajar atau mahasiswa.

Tapi bagi sebagian orang, pengalaman nongkrong dan suasana estetik yang ditawarkan menjadi nilai tersendiri. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana ruang sosial tidak hanya berfungsi untuk interaksi, tetapi juga sebagai sarana ekspresi identitas.

Dalam pandangan antropolog Clifford Geertz, kebiasaan minum dan makan tidak bisa dipisahkan dari konteks budaya masyarakatnya. Dengan logika yang sama, ngopi bagi anak muda Indonesia menjadi semacam ritus modern — di mana secangkir kopi bukan lagi sekadar minuman, melainkan simbol keterhubungan. Ia menjadi alasan untuk berhenti sejenak dari rutinitas, bertemu dengan orang baru, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Meski begitu, perlu diakui bahwa tidak semua coffee shop memancarkan energi sosial yang sama. Ada tempat-tempat yang lebih berfungsi sebagai ruang pribadi, tempat seseorang menulis, belajar, atau sekadar menyendiri. Ini juga bagian dari dinamika budaya ngopi yang kaya. Ruang sosial tidak selalu berarti ramai dan penuh interaksi; kadang, ia hadir dalam bentuk kehadiran diam yang tetap memberi rasa kebersamaan. Duduk berdampingan tanpa bicara pun bisa menjadi bentuk koneksi yang halus.

Menariknya, di era digital ini, budaya ngopi juga menjadi titik temu antara dunia nyata dan dunia maya. Banyak anak muda yang menjadikan coffee shop sebagai latar konten media sosial mereka. Dari situ, ruang sosial menjadi semakin luas — melintasi batas fisik dan menjelma menjadi jaringan virtual. Hubungan yang berawal dari tatap muka bisa berlanjut di dunia digital, memperpanjang percakapan dan membuka kolaborasi lintas kota bahkan lintas negara.

Pada akhirnya, budaya ngopi tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan manusia akan koneksi sosial. Dalam secangkir kopi, ada kehangatan yang menyatukan. Dalam ruang-ruang beraroma arabika, ada kisah tentang pertemuan, persahabatan, dan jejaring baru. Coffee shop menjadi simbol keterbukaan generasi muda terhadap perubahan — tempat di mana ide tumbuh, hubungan terjalin, dan waktu seolah berjalan lebih lambat.

Aku menyeruput kopi terakhirku malam itu, memandangi sekeliling yang perlahan mulai sepi. Di luar, lampu jalan mulai menyala, dan udara malam membawa aroma hujan yang samar. Aku sadar, budaya ngopi bukan hanya tentang minuman yang disajikan, tapi tentang rasa hadir bersama orang lain. Mungkin, di zaman yang serba cepat ini, secangkir kopi adalah cara sederhana kita untuk tetap terhubung — dengan dunia, dan dengan sesama. Di balik setiap tegukan kopi, ada semangat yang mengalir dan cerita yang menembus waktu. Biarkan aroma kopi membangkitkan mimpi-mimpi yang ingin kau gapai, karena dalam setiap detik yang kita habiskan bersama, ada kekuatan yang tak terlihat namun mengakar dalam jiwa

Daftar Pustaka

- Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

- Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.

- Toffin Indonesia. (2023). Laporan Tren Bisnis Kedai Kopi di Indonesia. Jakarta: Toffin Research Center.

- Kompas.com. (2024). “Generasi Muda dan Budaya Nongkrong di Coffee Shop.”

- Katadata.co.id. (2023). “Bisnis Kopi di Indonesia Tumbuh 8% Per Tahun.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image