Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ali Akbar Sabilillah

Bahasa Indonesia di Tengah Gempuran Bahasa Asing

Edukasi | 2025-10-26 19:05:19

Bahasa Indonesia lahir dari semangat persatuan dan menjadi identitas yang menyatukan berbagai suku di negeri ini. Namun di tengah derasnya arus global, banyak anak muda kini lebih sering berinteraksi dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Istilah-istilah yang sering dipakai seperti vibe, literally, drive thru atau random banget sering muncul di setiap percakapan dan di unggahan di media sosial. Fenomena ini mencerminkan keterbukaan generasi muda terhadap dunia, tetapi juga menunjukkan jarak yang makin jauh antara mereka dan bahasa nasionalnya.

Fenomena ini bisa kita lihat sehari-hari di media sosial. Banyak anak muda yang menulis status dengan campuran bahasa Inggris-Indonesia, seolah menambahkan nilai keren atau modernitas pada ucapannya. Banyak anak muda merasa lebih ekspresif ketika menggunakan istilah asing. Bahasa Inggris dianggap memberi kesan modern dan fleksibel. Padahal, kebiasaan ini tanpa disadari perlahan menggeser rasa bangga terhadap bahasa sendiri. Bahasa asing seakan menjadi simbol kecerdasan, sedangkan bahasa Indonesia dianggap kurang gaul. Pandangan seperti ini tumbuh karena pengaruh media global dan pola pendidikan yang lebih menekankan kemampuan berbahasa Inggris sebagai modal karier.

Bahasa memiliki fungsi yang lebih dalam dibanding sekadar menyampaikan pesan. Melalui bahasa, manusia belajar menata pikirannya dan memahami nilai-nilai yang membentuk kebudayaan. Ketika seseorang terlalu bergantung pada bahasa asing, cara berpikirnya pun dapat berubah mengikuti pola budaya dari bahasa tersebut. Akibatnya, hubungan antara generasi muda dan akar kebahasaannya menjadi semakin renggang. Kesadaran untuk menghargai bahasa Indonesia perlu diperkuat agar identitas bangsa tetap kokoh di tengah arus global yang terbuka luas.

Sumber: kamusdaerahjambi.kemdikbud.go.id

Upaya menjaga bahasa Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Gerakan ini harus hidup di tengah masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Media sosial yang selama ini dianggap penyebab lunturnya bahasa justru bisa menjadi ruang perlawanan. Banyak kreator digital yang mulai mempopulerkan konten berbahasa Indonesia dengan gaya yang segar dan mudah diterima. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa kita mampu menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan maknanya.

Selain itu, pendidikan bahasa Indonesia di sekolah dan perguruan tinggi perlu diarahkan agar lebih kontekstual. Siswa dan mahasiswa sebaiknya diajak memahami bahasa sebagai sarana berpikir dan berekspresi yang tumbuh dari kehidupan mereka sehari-hari. Pengajaran bahasa yang hidup dan dekat dengan pengalaman nyata akan menumbuhkan rasa cinta terhadap bahasa secara alami. Jika hal ini terwujud, bahasa Indonesia akan terasa lebih akrab dan menjadi bagian dari kehidupan modern generasi muda.

Generasi muda memiliki posisi penting dalam menjaga Bahasa Indonesia. Mereka hidup di tengah teknologi dan arus informasi yang luas. Kesadaran berbahasa bisa tumbuh dari hal-hal sederhana, seperti memilih kata Indonesia dalam percakapan daring, menulis konten berbahasa yang baik di media sosial, atau mendukung kampanye kebahasaan yang diadakan pemerintah dan lembaga pendidikan. Tindakan kecil seperti itu dapat membentuk budaya baru yang menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang modern, bukan bahasa yang tertinggal.

Bahasa Indonesia akan terus hidup selama generasinya mencintai dan menggunakannya dengan bangga. Dunia boleh berubah, teknologi boleh berkembang, tetapi identitas bangsa selalu melekat pada bahasanya. Menjaga Bahasa Indonesia berarti menjaga jati diri sendiri, karena di dalam setiap kata tersimpan sejarah dan nilai yang menyatukan seluruh warga negeri ini.

Referensi:

Nurpratiwiningsih, L., & Jauharul Maknun, Moh. (2020). Pengaruh Globalisasi Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia Bagi Masyarakat. Jurnal Ilmiah KONTEKSTUAL, 1(02), 43–48.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image