MBG: Antara Makan Gratis dan Makna Bergizi yang Hilang
Edukasi | 2025-10-26 12:56:46
Oleh Umar Wachid B. Sudirjo
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini gencar dikampanyekan pemerintah sejatinya lahir dari niat baik: memberi asupan makanan kepada masyarakat, terutama anak-anak sekolah, agar tidak ada lagi yang kelaparan di ruang kelas. Namun, di balik semangat sosial yang tampak mulia itu, tersimpan satu persoalan yang tak kalah penting: apakah makanan yang disebut “bergizi” itu benar-benar masih bergizi secara ilmiah?
Istilah “bergizi” digunakan seolah sudah pasti benar, seolah semua orang sepakat tentang maknanya. Padahal, kata itu bukan sekadar label, melainkan klaim ilmiah yang seharusnya didukung oleh bukti empiris dan analisis gizi yang terukur. Ketika kata “gizi” digunakan tanpa dasar ilmiah, maka yang tersisa hanyalah program makan gratis yang dibungkus dengan istilah teknokratis. Maka, pertanyaannya bukan pada niat baik programnya, melainkan pada kejujuran pengetahuan yang melandasinya.
“MBG hari ini bukan Makan Bergizi Gratis, melainkan sekadar Makan Gratis Nasional yang diberi label bergizi.”— Umar Wachid B. Sudirjo
Sebelum berbicara tentang kebijakan MBG, saya memilih menelusuri lebih dulu: apa itu gizi, dan di mana ia berada. Saya mulai dari hal yang paling sederhana — daging — bahan pangan yang kerap disebut sumber protein dan zat penting bagi tubuh. Hasil pengujian ilmiah menunjukkan bahwa daging mentah memang mengandung berbagai zat gizi penting seperti protein, lemak alami, vitamin B kompleks, zat besi, dan mineral esensial lainnya. Namun, kandungan ini berubah drastis setelah dimasak. Pemanasan tinggi, perebusan lama, dan interaksi dengan bumbu — terutama bumbu pabrikan — menyebabkan sebagian besar vitamin terurai dan beberapa protein terdenaturasi.
Dari titik ini muncul pertanyaan penting: apakah kandungan gizi yang diklaim masih sama setelah makanan itu dimasak, dicampur bumbu instan, dan disajikan berjam-jam kemudian? Tanpa pengujian laboratorium pasca-proses masak, klaim “bergizi” hanya berlandaskan asumsi, bukan kebenaran biologis. Saya tidak sedang menuduh, tetapi ingin membuktikan — karena pembuktian itu seharusnya dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang: industri bumbu, BPOM, MUI, YLKI, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Kesehatan. Fakta hasil uji perlu dipublikasikan agar masyarakat, terutama para ahli gizi, dapat memahami secara utuh tentang zat gizi yang benar-benar masih hidup di dalam makanan.
Masalah menjadi lebih kompleks ketika bumbu yang digunakan berasal dari pabrikan. Bumbu instan — termasuk kunyit, jahe, lada, bahkan bawang yang telah diekstrak secara kimiawi — mengandung zat tambahan seperti natrium tinggi, pengawet, pengental, dan pewarna sintetis. Proses ekstraksi ini mengubah sifat alami bumbu, membuatnya kehilangan sebagian besar antioksidan dan enzim alami yang berfungsi melindungi zat gizi dalam makanan. Ketika bumbu semacam ini direbus bersama daging atau sayuran, bukan hanya rasa yang berubah, tetapi juga struktur kimia dari makanan itu sendiri. Beberapa vitamin larut air seperti B1, B6, dan C cepat terurai. Zat hijau daun (klorofil) dalam sayuran berubah menjadi pheophytin yang menandakan kerusakan senyawa magnesium. Dengan kata lain, yang tersaji di meja makan bukan lagi “makanan bergizi”, tetapi “makanan berasa”.
Sayur-mayur bahkan lebih rentan kehilangan gizinya dibanding daging. Suhu panas, oksidasi udara, dan bahan kimia dari bumbu instan menyebabkan kerusakan besar pada vitamin, enzim, dan struktur serat alami. Rebus bayam lima menit saja, maka 80% vitamin C-nya hilang. Tambahkan garam dan penyedap rasa, hilang pula sebagian besar vitamin B kompleksnya. Padahal, yang disebut “gizi” bukan sekadar jumlah kalori atau lemak total, melainkan zat hidup yang masih aktif secara biologis di dalam tubuh manusia. Jika zat itu telah mati oleh panas atau bahan kimia, maka tidak ada lagi yang tersisa kecuali rasa kenyang. Layak makan tidak sama dengan layak gizi. Sayur yang dimasak dengan bumbu instan bisa jadi layak dimakan—tidak basi, tidak berbahaya—tetapi kehilangan sebagian besar zat yang menyehatkan tubuh.
Program MBG sendiri dijalankan dengan asumsi bahwa semua anak memiliki kebutuhan gizi yang sama. Padahal, seorang anak yang kekurangan zat besi jelas membutuhkan menu berbeda dari anak yang kelebihan berat badan atau memiliki alergi protein. Kebutuhan gizi tidak bisa diseragamkan, karena tubuh manusia tidak seragam. Maka, ketika satu jenis menu disebut “bergizi” dan diberikan kepada semua anak tanpa analisis kebutuhan, program itu tidak lagi ilmiah. Ia hanya administratif: mudah dihitung, mudah didistribusikan, tetapi tidak relevan bagi metabolisme tubuh masing-masing penerima. Kenyang memang bisa dirasakan oleh semua, tetapi manfaat gizi hanya dapat dirasakan oleh tubuh yang benar-benar membutuhkannya.
“Anak kenyang bukan berarti anak bergizi. Kenyang adalah reaksi lambung, bergizi adalah reaksi sel.”
Dari sinilah seharusnya peran lembaga-lembaga negara berjalan beriringan. BPOM harus memastikan kandungan gizi makanan MBG setelah dimasak dan disajikan, bukan hanya sebelum. Kementerian Kesehatan wajib menentukan standar gizi berdasarkan usia, berat badan, dan aktivitas anak. YLKI perlu melindungi masyarakat dari klaim “bergizi” yang tidak terbukti. MUI meninjau proses dan bahan agar tetap halal dan alami. Kementerian Perdagangan harus mengawasi asal bahan dan kadar zat aditif dari industri. Jika semua lembaga ini bekerja berdasarkan data laboratorium terbuka, publik akan tahu apa yang masih bergizi dan apa yang hanya diklaim bergizi. Gizi yang tidak diuji hanya akan menjadi propaganda rasa aman, bukan kebenaran ilmiah.
Saya tidak menolak program MBG. Saya menghargai semangat sosialnya. Tetapi saya menolak penggunaan istilah “bergizi” tanpa verifikasi ilmiah. Karena ketika sebuah kata diambil tanpa dasar pengetahuan, maka ia bukan lagi istilah kebijakan, melainkan penipuan makna. Kritik ini bukan untuk menjatuhkan program, tetapi untuk mengingatkan bahwa istilah “bergizi” membawa tanggung jawab besar: tanggung jawab terhadap ilmu pengetahuan, kesehatan publik, dan kejujuran bahasa.
“Saya tidak menolak makannya, saya hanya menolak penyebutannya.”
Pada akhirnya, masalah MBG bukan hanya soal kebijakan pangan, melainkan soal etika bahasa dan pengetahuan. Kita tidak sedang memperdebatkan lauk dan sayur, tetapi integritas makna yang diklaim oleh negara. Manusia bisa keliru dalam berpikir, tetapi ia tidak boleh sembrono dalam menamai. Sebab nama yang salah akan melahirkan kebijakan yang salah. Dan dalam konteks MBG, kesalahan itu bisa berarti generasi yang tidak kekurangan makanan, tetapi kekurangan zat hidup yang seharusnya mereka terima.
“Gizi sejati tidak bisa digratiskan, karena ia lahir dari pengetahuan, bukan dari anggaran.”
Jika pemerintah benar-benar ingin menjalankan program makan bergizi gratis, maka langkah pertama bukanlah menyiapkan dapur, melainkan menyiapkan laboratorium dan data. Publik berhak tahu berapa persen kandungan vitamin yang tersisa setelah makanan MBG dimasak dan disajikan. Ahli gizi berhak menilai apakah makanan itu masih memenuhi kebutuhan biologis anak. Dan masyarakat berhak memahami bahwa makan bergizi tidak sama dengan makan kenyang.
Program MBG harus menjadi program ilmu, bukan hanya program sosial. Karena memberi makan adalah pekerjaan yang mudah, tetapi memastikan makanan itu benar-benar bergizi adalah pekerjaan pengetahuan.
“Gizi bukan sekadar angka pada tabel, tetapi kebenaran biologis dari zat yang kita masukkan ke tubuh. Maka, makan bergizi gratis baru akan bermakna ketika yang dimakan benar-benar masih bergizi.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
