Dari Santri Untuk Negeri
Sejarah | 2025-10-22 09:16:16
Di tengah hiruk pikuk modernitas, sering kali kita lupa akan akar tradisi yang membentuk karakter bangsa. Santri, identitas yang melekat pada mereka yang menimba ilmu di pesantren, adalah salah satu pilar penting dalam sejarah dan perkembangan bangsa Indonesia. Santri bukan hanya sosok yang hidup di balik tembok pesantren, tapi juga bagian dari denyut sosial masyarakat Indonesia. Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital saat ini, peran santri selalu hadir, meski sering kali luput dari sorotan publik.
Saya melihat bahwa santri, dengan karakter kuat dan nilai-nilai luhur yang mereka emban, memiliki peran yang sangat signifikan, bahkan krusial, dalam memajukan bangsa Indonesia di berbagai bidang. Semangat kebangsaan, kecerdasan intelektual, serta kemampuan adaptasi yang dimiliki santri menjadi modal berharga dalam menghadapi tantangan zaman.
Hari ini, santri tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai pelajar agama, tetapi sebagai agen perubahan sosial yang mampu menjembatani nilai-nilai Islam dengan realitas dalam kehidupan modern. Nilai-nilai Islam yang diajarkan di pesantren-pesantren ini menjadi penting di tengah krisis moral dan degradasi etika publik yang kita saksikan saat ini. Karena itu, sudah saatnya kita memandang peran santri secara lebih luas, tidak lagi hanya sebatas penjaga moral agama, tetapi juga sebagai penjaga peradaban bangsa.
Santri dan Perjuangan Kemerdekaan
Sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana santri menjadi bagian penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Santri tidak hanya berjuang dengan doa dan pengajaran di pesantren, tetapi juga turun langsung ke medan perang melawan penjajah. Nilai-nilai keagamaan yang mereka pelajari di pesantren justru menjadi sumber semangat untuk melawan penindasan dan menegakkan keadilan. Salah satu bukti paling nyata dari peran santri dalam perjuangan bangsa adalah dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Seruan itu menjadi panggilan moral dan nasionalisme yang menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban dalam agama sekaligus kecintaan terhadap tanah air dan tanggung jawab kebangsaan.
Keterlibatan santri dan para kiai dalam perjuangan kemerdekaan menunjukkan bahwa pesantren memiliki kesadaran kebangsaan yang tinggi. Dalam banyak daerah, para kiai menjadi tokoh masyarakat yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan semangat cinta tanah air kepada santrinya. Misalnya, di Jawa Timur, laskar-laskar santri yang dipimpin oleh para ulama menjadi garda terdepan dalam pertempuran melawan pasukan kolonial. Di pesantren, ajaran tentang jihad fi sabilillah diterjemahkan secara kontekstual sebagai perjuangan untuk mempertahankan tanah air dari penjajahan. Seperti dikatakan Ricklefs (2002) dalam A History of Modern Indonesia Since c. 1200, kaum ulama dan santri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses terbentuknya kesadaran nasional di Indonesia.
Perjuangan santri tidak berhenti pada medan perang fisik. Setelah kemerdekaan diraih, mereka tetap berkontribusi dalam membangun pendidikan dan moralitas bangsa. Banyak alumni pesantren yang kemudian mendirikan madrasah, sekolah, dan lembaga sosial sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat. Mereka memahami bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari lepasnya penjajahan, tetapi juga dari kemampuan bangsa ini untuk berdiri di atas nilai-nilai keadilan, ilmu, dan akhlak. Dengan kata lain, santri tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan politik, tetapi juga untuk kemerdekaan moral dan intelektual bangsa.
Jika menengok kembali sejarah, peran santri dalam perjuangan kemerdekaan ini sesungguhnya menjadi fondasi penting bagi identitas kebangsaan Indonesia. Santri telah membuktikan bahwa agama dan nasionalisme tidak perlu dipertentangkan. Justru dari rahim pesantren lahir bentuk nasionalisme yang berakar pada nilai-nilai moral dan spiritual. Di tengah situasi bangsa yang sering kali terpecah karena perbedaan pandangan politik, semangat persatuan yang pernah ditunjukkan para santri tempo dulu layak untuk kembali dihidupkan.
Santri dan Penjaga Demokrasi
Dalam dinamika demokrasi Indonesia yang terus berubah, santri menempati posisi yang unik sekaligus strategis. Sebagai kelompok yang tumbuh dengan tradisi keilmuan, musyawarah, dan adab dalam berpendapat, santri memiliki modal sosial yang kuat untuk berperan dalam menjaga demokrasi. Demokrasi sejatinya bukan hanya soal hak memilih dan dipilih, tetapi juga soal bagaimana masyarakat mengelola perbedaan dengan bijak. Di sinilah peran santri menjadi penting, karena mereka terbiasa hidup dalam keberagaman pemikiran dan menghargai otoritas ilmu serta etika dalam berdiskusi.
Pesantren sejak lama telah mengajarkan prinsip-prinsip yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai seperti ini merupakan bentuk nyata pendidikan demokrasi di akar rumput yang tumbuh jauh sebelum konsep demokrasi modern diperkenalkan di Indonesia. Namun, demokrasi hari ini menghadapi tantangan serius. Polarisasi politik, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan munculnya sikap intoleran menjadi ancaman nyata bagi kehidupan berbangsa. Dalam situasi seperti ini, santri seharusnya tampil sebagai penengah dan penjaga keseimbangan. Dengan pemahaman agama yang moderat dan kemampuan literasi yang semakin baik, santri memiliki posisi ideal untuk menjadi agen moderasi di tengah masyarakat. Mereka bisa menjadi penghubung antara nilai-nilai keagamaan dan semangat kebangsaan yang berlandaskan toleransi dan keadilan.
Santri juga perlu mengambil peran lebih aktif dalam ruang publik. Banyak alumni pesantren yang kini terlibat dalam dunia politik, media, dan masyarakat sipil. Kehadiran mereka membawa warna baru, karena menggabungkan integritas moral dengan kapasitas intelektual. Ketika politik sering kali dipersepsikan sebagai arena yang kotor, santri dapat membuktikan bahwa politik juga bisa menjadi ladang dakwah dan pengabdian. Dalam hal ini, santri bukan hanya penerima dampak dari demokrasi, tetapi juga pelaku yang turut membentuk arah perjalanan bangsa.
Tantangan terbesar bagi santri dalam konteks demokrasi bukanlah sekadar terlibat dalam politik praktis, melainkan menjaga agar nilai-nilai pesantren tidak hilang di tengah pragmatisme politik modern. Santri harus mampu menampilkan wajah Islam yang ramah, bukan marah; Islam yang dialogis, bukan eksklusif. Dengan begitu, kehadiran santri dalam ruang demokrasi bisa menjadi penyejuk, bukan pemecah belah. Seperti kata KH. Abdurrahman Wahid, “Lebih baik Islam kehilangan penguasa daripada kehilangan akhlak.” Prinsip ini seharusnya menjadi pegangan moral bagi setiap santri yang berkiprah dalam ranah demokrasi.
Dengan nilai-nilai itu, santri sesungguhnya tidak hanya menjadi penjaga moral bangsa, tetapi juga benteng terakhir dari runtuhnya etika politik. Ketika politik kehilangan ruhnya, santri hadir untuk mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa nilai hanya akan melahirkan ketidakadilan. Demokrasi yang sehat memerlukan nurani, dan nurani itu salah satunya dijaga oleh para santri.
Santri dan Ekonomi Kerakyatan
Kalau dulu pesantren dikenal sebagai pusat pendidikan dan dakwah, kini wajah pesantren mulai berubah. Banyak pesantren yang berkembang menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat. Santri tidaklah hanya diajarkan mengaji saja, tetapi juga diajarkan bagaimana mengelola usaha, berdagang, bertani, bahkan mengelola lembaga keuangan mikro. Hal ini bukan hanya sekadar tren modernisasi, tetapi bentuk konkret dari semangat kemandirian yang telah menjadi bagian dari tradisi pesantren sejak dulu.
Dalam sejarahnya, pesantren tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat kecil. Pesantren tumbuh dari rakyat dan untuk rakyat. Karena itu, sangat wajar kalau orientasi ekonominya bukan pada kapitalisme yang menumpuk kekayaan, tapi pada ekonomi kerakyatan yang berkeadilan. Spirit ukhuwah dan ta’awun (tolong-menolong) menjadi dasar bagi pergerakan ekonomi berbasis pesantren. Dari sini lahir konsep santripreneur, yakni santri yang tidak hanya berdakwah dengan lisan, tapi juga dengan tindakan nyata melalui pemberdayaan ekonomi.
Kemandirian ekonomi pesantren ini penting dalam konteks sosial hari ini. Sebab kita hidup di zaman ketika ketimpangan ekonomi semakin tajam, sementara akses terhadap modal dan peluang ekonomi masih timpang. Santri dengan jaringan sosialnya yang kuat bisa menjadi jembatan bagi masyarakat bawah untuk bangkit secara ekonomi. Banyak pesantren kini memiliki koperasi, BMT, hingga program pertanian terpadu. Ini bukan sekadar proyek ekonomi, tapi gerakan ideologis untuk memutus ketergantungan dan menumbuhkan kepercayaan diri umat.
Konsep ekonomi pesantren juga bisa menjadi model alternatif bagi pembangunan nasional. Dalam ekonomi konvensional yang cenderung liberal, manusia sering direduksi menjadi angka produktivitas. Sementara dalam ekonomi pesantren, manusia ditempatkan sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar alat produksi, tetapi makhluk bermartabat yang punya hak atas kesejahteraan. Prinsip ini sejalan dengan ekonomi Islam yang menekankan keseimbangan antara kepemilikan individu dan tanggung jawab sosial.
Namun, tentu saja perjuangan ini tidak mudah. Masih banyak pesantren yang belum memiliki akses terhadap pelatihan, teknologi, atau modal yang memadai. Di sinilah peran negara dan sektor swasta diperlukan untuk bersinergi dengan pesantren. Pemerintah seharusnya tidak melihat pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tetapi sebagai mitra strategis pembangunan. Karena kalau kita bicara pemberdayaan masyarakat di level akar rumput, pesantren memiliki jaringan dan pengaruh yang tidak dimiliki lembaga lain.
Selain itu, mentalitas santri juga perlu diperbarui. Santri tidak boleh lagi hanya berorientasi pada pekerjaan sebagai pelayan umat dan masyarakat dalam arti sempit, tetapi harus punya semangat kemandirian. Berdakwah bukanlah berarti meninggalkan ekonomi, justru dengan kemandirian ekonomi dakwah bisa berjalan lebih kuat dan berkelanjutan. Santri yang mandiri secara ekonomi akan lebih merdeka dalam berpikir dan juga bertindak. Sehingga mereka tidak mudah terjebak dalam kepentingan politik praktis atau ketergantungan struktural.
Santri dan Tantangan Modernitas
Kita hidup di zaman yang serba cepat, serba digital, dan serba instan. Informasi datang tanpa henti, nilai-nilai baru bermunculan setiap detik, dan batas antara yang benar dan yang salah juga semakin kabur. Dalam situasi seperti ini, posisi santri menjadi sangat strategis sekaligus menantang. Mereka dituntut untuk tetap menjaga akar tradisi budaya keislaman sambil mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Jelas ini memang bukan tugas yang ringan.
Dulu, santri belajar dengan sistem bandongan dan sorogan di bawah bimbingan kiai. Kini, mereka juga harus memahami dunia digital, media sosial, bahkan AI (Artificial Intelligence). Dunia baru ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga soal budaya dan cara berpikir. Santri yang tidak mampu menyesuaikan diri bisa tertinggal, namun santri yang hanya ikut arus tanpa filter juga bisa kehilangan jati dirinya. Di sinilah pentingnya tawazun, keseimbangan antara nilai lama yang terjaga dan inovasi yang dibutuhkan.
Krisis modernitas memang kerap membawa penyakit sosial seperti hedonisme, individualisme, dan pragmatisme. Nilai-nilai seperti kesederhanaan, keikhlasan, dan pengabdian yang menjadi ruh pesantren kini mulai tergerus oleh budaya populer yang mengagungkan gaya hidup mewah dan pencitraan. Dalam kondisi ini, santri harus menjadi contoh bahwa kesuksesan tidak selalu diukur dari materi, tetapi dari kebermanfaatan. Santri bisa menjadi kompas moral di tengah masyarakat yang kehilangan arah nilai.
Tantangan lain yang tak kalah berat adalah derasnya arus informasi di dunia maya. Media sosial kini menjadi arena baru bagi pertarungan ideologi dan narasi. Hoaks, ujaran kebencian, hingga propaganda politik sering kali meracuni ruang publik. Santri, dengan kemampuan literasi keagamaannya, seharusnya bisa menjadi penjaga akal sehat masyarakat. Mereka bukan hanya konsumen informasi, tetapi juga produsen narasi yang menebar kebaikan. Santri harus mampu berdakwah di ruang digital, bukan dengan marah-marah atau merasa paling benar, tapi dengan keteduhan dan argumentasi yang rasional.
Selain itu, modernitas juga menuntut santri untuk memiliki kompetensi yang lebih luas. Dunia kerja sekarang menuntut kreativitas, profesionalisme, dan kemampuan kolaborasi lintas bidang. Santri yang hanya mengandalkan pengetahuan klasik tanpa menguasai keterampilan modern akan kesulitan bersaing dengan dunia luar. Karena itu, pesantren perlu terus berinovasi dalam kurikulumnya dengan menggabungkan keagamaan dengan ilmu pengetahuan modern, kewirausahaan, dan teknologi. Hal ini bukanlah sekadar adaptasi, tapi bentuk ijtihad sosial agar nilai-nilai Islam tetap relevan dalam kehidupan modern.
Namun di sisi lain juga, modernitas dapat membuka peluang besar bagi santri. Dunia digital memungkinkan dakwah menjangkau jutaan orang tanpa batas geografis. Banyak santri muda kini menjadi content creator dakwah, pendidik, hingga penggerak sosial di berbagai platform. Mereka membuktikan bahwa menjadi santri bukan berarti kolot atau tertinggal, tapi justru bisa menjadi pelopor perubahan yang berlandaskan nilai. Santri yang cerdas dan berjiwa terbuka mampu menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara moralitas dan kemajuan.
Pada akhirnya, tantangan modernitas bukan untuk dihindari tetapi dihadapi dengan bijak. Santri tidak boleh terjebak nostalgia masa lalu, tetapi juga tidak boleh kehilangan akar keislamannya. Kuncinya ada pada keseimbangan nilai al-muhafadzatu ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, yakni menjaga hal lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik. Dengan prinsip ini, santri dapat tetap tegak berdiri di tengah arus perubahan, tanpa kehilangan arah dan identitasnya sebagai pewaris nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Santri dan Adaptasi Sosial
Tidak bisa dipungkiri, ada sebagian kalangan yang menilai bahwa santri cenderung eksklusif dan kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Stereotip seperti santri itu hanya paham agama, tetapi tidak memahami realitas sosial modern masih sering terdengar di tengah masyarakat. Pandangan ini muncul karena sebagian pesantren dianggap tertutup terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada juga yang menilai bahwa santri terlalu konservatif, sehingga sulit berkolaborasi dengan masyarakat umum dalam bidang yang lebih luas seperti politik, ekonomi, atau sains.
Namun, pandangan tersebut sesungguhnya terlalu sempit dan tidak mencerminkan realitas sebenarnya. Dunia pesantren saat ini telah mengalami transformasi besar-besaran. Banyak pesantren yang kini membuka diri terhadap inovasi dan integrasi ilmu pengetahuan modern. Kurikulum pesantren tidak lagi hanya berisi tentang keislaman saja, tetapi juga pelajaran sains, ekonomi, bahkan teknologi digital. Banyak juga pesantren yang sudah memiliki laboratorium komputer, media center, koperasi santri, dan unit usaha mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren tidak lagi sekadar institusi keagamaan tradisional, melainkan juga lembaga sosial-ekonomi dan pendidikan yang dinamis.
Selain itu, anggapan bahwa santri tertinggal dalam hal intelektual juga tidak berdasar. Banyak alumni pesantren yang kini menjadi akademisi, birokrat, politisi, aktivis sosial, dan pengusaha sukses. Mereka membawa nilai-nilai pesantren ke dalam dunia profesional, menjadikan moralitas sebagai dasar dalam setiap langkah. Dalam politik, misalnya, banyak tokoh santri yang tampil dengan integritas tinggi, menjadi contoh bahwa kekuasaan bisa dijalankan tanpa kehilangan nilai moral. Dalam dunia ekonomi, muncul gerakan kemandirian berbasis pesantren yang memberdayakan masyarakat akar rumput melalui koperasi, UMKM, dan lembaga keuangan mikro syariah. Semua ini menjadi bukti konkret bahwa santri bukan hanya mampu beradaptasi, tetapi juga berkontribusi nyata dalam membangun bangsa.
Kalau kita jujur, tantangan terbesar santri saat ini bukan soal kemampuan adaptasi, tapi soal branding sosial. Dalam arus globalisasi, citra seorang santri sering dipersempit hanya pada keagamaan saja, padahal hakikat santri jauh lebih luas, yakni menjadi seorang pembelajar yang sejati, pekerja keras, dan penjaga nilai. Yang dibutuhkan bukan perubahan identitas, melainkan perluasan persepsi publik terhadap identitas itu sendiri. Ketika masyarakat mampu melihat santri sebagai bagian dari solusi bangsa, bukan hanya penjaga tradisi, maka posisi santri akan semakin strategis di mata publik.
Namun tentu, kita juga tidak menutup mata bahwa masih ada pesantren yang perlu berbenah. Sebagian masih menghadapi keterbatasan akses pendidikan, fasilitas, dan pendanaan. Masalah ini bukanlah karena pesantrennya tidak mau berubah, tetapi karena ekosistem pendukungnya belum sepenuhnya hadir. Pemerintah dan masyarakat perlu melihat pesantren bukan sekadar lembaga keagamaan, tetapi juga lembaga pemberdayaan. Dukungan seperti berupa pelatihan, digitalisasi, dan kolaborasi lintas sektor harus diperkuat agar pesantren dapat berperan lebih besar di masyarakat.
Santri dan Harapan Bangsa
Santri adalah wajah Islam Indonesia yang ramah dan beradab. Santri bukanlah sekadar generasi yang menghafal teks, tapi generasi yang menafsirkan nilai untuk kehidupan nyata. Ketika dunia dipenuhi kegaduhan moral, santri hadir dengan keteduhan. Ketika bangsa kehilangan teladan, santri hadir dengan keikhlasan. Dan ketika masyarakat mulai kehilangan arah, santri pun hadir dengan kompas nilai yang menuntun.
Dari masa ke masa, santri selalu berada di garda terdepan perjuangan. Kini, tantangannya bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan budaya dan nilai. Karena itu, saya meyakini bahwa masa depan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran santri. Santri bukanlah sekadar pewaris tradisi, tetapi juga penulis bab baru dalam peradaban negeri ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
