Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roma Kyo Kae Saniro

Empek-Empek atau Pempek? Warisan Rasa yang Menyatukan Wong Kito Galo

Kuliner | 2025-10-19 19:43:55

 

oleh Roma Kyo Kae Saniro

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

(Ilustrasi Pempek. Sumber: https://www.pexels.com/photo/close-up-shot-of-a-traditional-delicious-food-10393670/)

Empek-empek atau pempek? Kalimat tersebut menjadi pertanyaan bagi masyarakat awam yang bukan berasal dari Sumatera Selatan. Jika ditanya, kata mana yang benar, secara linguistik, keduanya benar. Empek-empek adalah bentuk fonetik awal dari sebutan “Apek”, sedangkan pempek merupakan bentuk baku yang diserap dalam bahasa Indonesia. Namun dalam konteks budaya, keduanya mewakili dua sisi dari satu warisan yang dapat dipahami bahwa empek-empek yang bermakna bentuk tutur rakyat, sederhana, hangat, dan akrab. Kemudian, pempek dapat dipahami dalam bentuk modern, formal, dan representatif dari identitas kuliner Palembang di dunia internasional. Dengan demikian, jika kita mengacu pada makanan yang terbuat dari olahan ikan dan tepung serta bumbu-bumbu dan disiram dengan cuko, sebutan pempek lebih mewakili dan lebih universal. Namun, sekali lagi, tidak ada salahnya jika kita mau menggunakan diksi empek-empek atau pempek karena mengacu pada makanan olahan ikan dan tepung beserta bumbu yang disiram cuko.

Dari Sungai Musi hingga dapur global, dari warung kecil hingga laboratorium pangan, pempek telah membuktikan diri bukan hanya sebagai makanan, tetapi sebagai jejak sejarah, simbol sosial, dan jembatan antara tradisi dan modernitas. Bagi masyarakat Palembang, pempek bukan sekadar makanan. Pempek adalah identitas kultural, warisan peradaban sungai, dan simbol kebanggaan daerah. Di meja makan, di kios pinggir jalan, hingga di restoran mewah, aroma khas ikan berpadu cuko yang asam, manis, dan pedas telah menjadi bahasa rasa yang menyatukan warga Palembang di mana pun mereka berada. Namun, di balik kelezatannya, pempek menyimpan jejak sejarah panjang, kisah akulturasi budaya, dan transformasi modern yang menjadikannya salah satu ikon gastronomi Indonesia yang paling kuat.

Sejarah pempek kerap dikaitkan dengan masa Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-16. Menurut penelitian Fatma Dwi Oktaria dan Muhamad Idris (2022), pempek lahir dari proses akulturasi budaya Tionghoa dan Melayu. Seorang lelaki tua Tionghoa — yang oleh masyarakat dipanggil “Apek” — berinisiatif mengolah ikan hasil tangkapan Sungai Musi yang melimpah dengan mencampurkannya bersama tepung sagu. Ia menjajakan hasil olahannya sambil berseru, “Pek...pek!”, yang kelak dikenal sebagai empek-empek atau pempek.

Namun, akar pempek ternyata jauh lebih dalam. Kajian Suci Ramadhona dkk. (2025) menyebut bahwa prasasti Talang Tuo dari masa Kerajaan Sriwijaya abad ke-7 sudah mencatat keberadaan pohon sagu, yang menjadi bahan dasar penting pempek. Artinya, praktik mencampur sagu dan ikan telah dikenal sejak masa Sriwijaya, jauh sebelum Tionghoa berdagang di Palembang. Dari sini, lahir hidangan sagu ikan yang perlahan berevolusi menjadi pempek.

Menurut buku Pempek Palembang: Strategi dan Basis Modernisasi (Supriadi, Saputra, & Priyanto, 2023), pempek memiliki kedudukan khusus sebagai simbol budaya dan identitas sosial masyarakat Palembang. Ia bukan sekadar makanan rakyat, melainkan medium sosial yang hadir dalam setiap momen dari jamuan tamu hingga perayaan keluarga. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, pempek dimakan untuk menu sarapan. Pada masyarakat Sumatera Selatan, khususnya di Palembang dan sekitarnya, pempek tidak sekadar diperlakukan sebagai makanan ringan atau kudapan, tetapi bagian dari ritme kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan cara penyajian di luar wilayah asalnya, di mana pempek hampir selalu digoreng hingga berwarna keemasan. Masyarakat Palembang memiliki cara menikmati pempek yang lebih beragam, seperti digoreng, dikukus, maupun direbus. Metode memasak ini bukan sekadar variasi teknik, tetapi mencerminkan filosofi kesederhanaan dan adaptasi masyarakat sungai. Pempek yang dikukus atau direbus lazim disajikan pada pagi hari, ketika masyarakat hendak beraktivitas. Rasanya yang lebih lembut dan ringan dipercaya lebih cocok untuk sarapan, sementara pempek yang digoreng biasanya dinikmati pada siang atau sore hari, ketika waktu santai tiba dan disantap bersama cuko hangat yang pedas, manis, dan asam menyegarkan.

Dalam konteks budaya, pempek juga memiliki peran simbolik pada hari-hari besar keagamaan, terutama saat Hari Raya Idulfitri (Lebaran). Pada momen sakral itu, pempek menjadi sajian wajib di meja tamu, berdampingan dengan hidangan lain seperti kue kering dan opor ayam. Kehadirannya menandai bentuk penghormatan kepada tamu dan perayaan akan kebersamaan. Menurut penelitian Maryamah dan Suci Ramadhona (2025), tradisi ini menunjukkan bahwa pempek telah melampaui fungsi kuliner; ia telah menjadi penanda sosial dan ekspresi identitas lokal “Wong Kito Galo”, yakni masyarakat Palembang yang menjunjung nilai keakraban dan keterbukaan.

Tidak hanya pada momen istimewa, dalam kehidupan sehari-hari pun pempek telah menjadi bagian dari pola makan masyarakat Palembang. Bagi sebagian warga, sarapan tanpa pempek terasa belum lengkap. Pagi hari di Palembang lazim diwarnai dengan pemandangan para penjual keliling membawa wadah besar berisi pempek lenjer, adaan, atau kulit, sambil menyerukan dengan nada khas, “Pempek, pempek cuko, yok beli!” Suara itu bukan sekadar panggilan jualan, tetapi gema budaya yang mengiringi denyut kehidupan kota di tepian Sungai Musi.

Kebiasaan makan pempek di pagi hari menunjukkan keterikatan emosional dan historis masyarakat Palembang terhadap makanan ini. Ia tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi, tetapi juga menjadi `makanan identitas`, sebuah pengingat akan asal-usul, keakraban, dan kebanggaan lokal. Seperti diungkapkan oleh Wargadalem, Wasino, dan Yulifar (2023), pempek berfungsi sebagai simbol etnis yang menyatukan masyarakat lintas lapisan sosial, dari nelayan di pinggir sungai hingga pejabat di istana, dari rumah sederhana di 26 Ilir hingga restoran modern di luar negeri.

Pempek bahkan dianggap sebagai “comfort food” khas Palembang. Ketika seseorang merantau, rasa rindu akan Sungai Musi sering kali hanya bisa ditenangkan oleh sepotong pempek dan cuko buatan rumah. Hidangan ini telah menembus sekat sosial dari rakyat biasa hingga bangsawan, dari warung pinggir jalan hingga hidangan resmi kenegaraan. Fungsi sosial ini diperkuat oleh penelitian Wargadalem, Wasino, dan Yulifar (2023) yang menempatkan pempek sebagai kuliner etnis yang menegaskan identitas Palembang. Bagi mereka, pempek bukan hanya hasil olahan ikan dan sagu, tetapi juga refleksi dari nginum culture, tradisi warga Palembang untuk berkumpul dan berbincang di pagi atau sore hari sambil menikmati pempek dan teh hangat.

Kini, pempek tidak lagi sekadar bagian dari budaya kuliner tradisional. Ia telah menjadi objek penelitian ilmiah dan inovasi pangan modern. Dalam buku yang sama, Agus Supriadi dkk. (2023) menelusuri pempek dari perspektif sains: bagaimana interaksi protein ikan dan pati sagu membentuk tekstur kenyal, bagaimana garam dan enzim transglutaminase memperkuat matriks protein, hingga bagaimana teknologi modern dapat memperpanjang daya simpan tanpa kehilangan keaslian rasa.

Riset-riset tersebut menunjukkan bahwa menjaga keaslian pempek bukan berarti menolak modernisasi, tetapi mengadaptasinya secara bijak. Supriadi menegaskan pentingnya “modernisasi berbasis tradisi” — memperluas potensi industri pempek tanpa menghilangkan jejak lokalnya. Dengan demikian, pempek kini tidak hanya menjadi kebanggaan warga Palembang, tetapi juga daya tarik wisata gastronomi dunia. Penelitian Titing Kartika dan Zulkifli Harahap (2019) menegaskan bahwa pempek dapat dikembangkan sebagai produk wisata gastronomi yang melibatkan masyarakat lokal secara langsung. Tidak hanya sekadar makanan yang dicicipi wisatawan, tetapi juga pengalaman budaya yang utuh dari cara pembuatan, sejarah, hingga filosofi hidup masyarakat sungai. Melalui promosi digital, festival kuliner, dan penguatan UMKM, pempek kini menempati posisi strategis dalam peta ekonomi kreatif nasional. Setiap potongan pempek yang tersaji adalah narasi tentang sejarah, identitas, dan inovasi yang berpadu dalam harmoni rasa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image