Difabel dan Era Digital
Kebijakan | 2025-10-17 14:11:01Era digital telah mengubah arah kehidupan manusia secara fundamental. Internet, media sosial, dan berbagai platform teknologi menawarkan janji kemudahan, konektivitas, dan peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Bagi penyandang disabilitas (difabel), era ini seharusnya menjadi portal menuju kesetaraan penuh—sebuah arena di mana keterbatasan fisik atau sensorik dapat dijembatani oleh inovasi teknologi. Namun, janji tersebut masih harus diperjuangkan. Digitalisasi adalah pedang bermata dua; ia dapat memberdayakan, tetapi juga berpotensi menciptakan jurang kesenjangan baru, yang dikenal sebagai digital divide.
Ruang Ekspresi dan Advokasi Baru
Di sisi positif, teknologi digital telah membuka ruang ekspresi dan advokasi yang transformatif. Media sosial, seperti TikTok dan Instagram, telah menjadi panggung bagi difabel untuk berbagi kisah, bakat, dan pandangan mereka tanpa filter media arus utama. Ekspresi diri yang otentik ini secara perlahan mendobrak stigma lama yang kerap melekatkan label "objek belas kasihan" atau "inspirasi yang berlebihan" (inspiration porn) (British Council, 2024). Melalui konten digital, difabel tidak lagi hanya menjadi subjek pemberitaan, melainkan agen perubahan yang aktif menyuarakan hak-hak, mendidik publik tentang isu disabilitas, dan membangun komunitas solidaritas. Ini adalah bentuk pemberdayaan nyata yang memfasilitasi kemandirian dan meningkatkan partisipasi sosial.
Tantangan Aksesibilitas yang Mendesak
Sayangnya, ruang ekspresi ini tidak sepenuhnya inklusif. Masalah fundamentalnya terletak pada aksesibilitas digital. Survei menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih memiliki tingkat kepemilikan perangkat digital dan akses internet yang lebih rendah dibandingkan nondisabilitas, menciptakan ketimpangan informasi yang signifikan (Bappenas, 2021). Lebih dari itu, banyak platform digital, aplikasi, dan situs web publik maupun swasta, masih belum dirancang dengan standar aksesibilitas internasional.
Aplikasi yang tidak memiliki fitur text-to-speech bagi tunanetra, video tanpa teks tertutup (closed caption) bagi tunarungu, atau antarmuka yang rumit bagi disabilitas kognitif adalah bentuk diskriminasi digital yang nyata. Ketidakramahan digital ini secara langsung menghambat difabel dalam mengakses layanan publik, kesempatan kerja, dan sumber daya pendidikan, sehingga memperburuk ketidakadilan yang sudah ada (Panda.id, 2024).
Jalan Menuju Pemberdayaan Inklusif
Untuk mewujudkan pemberdayaan yang sejati di era digital, tiga pilar utama harus diperkuat:Regulasi dan Penegakan Aksesibilitas: Pemerintah dan pembuat kebijakan harus memastikan bahwa regulasi aksesibilitas digital, seperti yang diamanatkan oleh UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, diimplementasikan dan ditegakkan secara ketat, terutama pada layanan publik dan platform swasta yang bersifat publik. Standar WCAG (Web Content Accessibility Guidelines) harus menjadi acuan wajib.
Inovasi dan Desain Inklusif: Akademisi, pengembang teknologi, dan industri swasta perlu menggeser paradigma dari sekadar "mengakomodasi" menjadi "merancang secara inklusif" (inclusive design). Teknologi asistif harus dibuat terjangkau, dan kecerdasan buatan (AI) harus dimanfaatkan untuk menciptakan solusi komunikasi yang lebih adaptif bagi difabel (Universitas Subang, 2025).
Literasi Digital Komprehensif: Keterampilan digital adalah kunci. Program literasi digital harus bersifat inklusif, menyediakan pelatihan yang disesuaikan untuk berbagai jenis disabilitas, guna menutup kesenjangan literasi yang menghambat partisipasi penuh difabel dalam ekonomi digital (Journal UWKS, 2024).
Era digital menawarkan peluang besar bagi difabel untuk tidak hanya berpartisipasi, tetapi juga memimpin dalam berbagai sektor. Ini adalah momentum bagi kita semua—pemerintah, swasta, dan masyarakat—untuk mengubah janji digital menjadi kenyataan inklusif. Digitalisasi harus menjadi alat pembebasan, bukan tembok penghalang, agar difabel dapat sepenuhnya mengekspresikan diri, mengakses peluang, dan berdaya setara di negeri ini.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Kajian Disabilitas, Laporan Rekomendasi Kebijakan. Bappenas.
British Council. (2024). Penelitian: Pentingnya Platform Khusus untuk Isu-Isu Disabilitas di Media Arus Utama.
Humas Jateng. (2019). Era Digital, Pelajar Disabilitas Harus Melek TIK.
Journal UWKS. (2024). Jalan Panjang Menuju Inklusi Digital bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia.
Panda.id. (2024). Akses Informasi dan Komunikasi Inklusif: Pemberdayaan Kelompok Disabilitas dan Lansia di Era Digital.
Universitas Subang. (2025). Penerapan Manajemen Komunikasi Digital untuk Difabel.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
