Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayu Berlian Saskia

Guru TK di Sekolah Inklusif: Antara Panggilan Hati dan Tekanan Psikologis

Humaniora | 2025-10-16 22:40:36

Di tengah gencarnya kebijakan pendidikan inklusif yang dicanangkan pemerintah, para guru taman kanak-kanak (TK) kini memikul tanggung jawab baru: mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK) di lingkungan sekolah umum. Bagi sebagian guru, hal ini menjadi wujud panggilan hati untuk memberikan kesempatan belajar yang sama bagi semua anak. Namun, di sisi lain, muncul tekanan psikologis dan beban kerja yang tak sebanding dengan penghargaan yang diterima.

Kebijakan pendidikan inklusif, yang diatur dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, menegaskan bahwa sekolah umum, termasuk taman kanak-kanak, wajib menerima anak berkebutuhan khusus. semua anak berhak belajar di tempat yang sama tanpa diskriminasi.

Secara moral, kebijakan ini sangat mulia karena mencerminkan semangat kesetaraan. Namun, di lapangan, pelaksanaannya kerap melahirkan persoalan. Banyak guru TK menghadapi beban kerja dan tekanan emosional yang besar, sementara fasilitas dan dukungan profesional belum memadai.

Di ruang kelas yang semula dirancang untuk kegiatan bermain dan pembelajaran ringan, guru TK kini harus menyesuaikan metode, menyiapkan alat bantu belajar tambahan, dan mengatur ritme kegiatan agar sesuai dengan seluruh anak di kelas. Tantangan ini tentu membutuhkan keterampilan khusus — sementara tidak semua guru TK memiliki latar belakang pendidikan luar biasa atau dukungan tenaga pendamping.

Masalah utama bukan hanya pada kesiapan teknis, melainkan juga pada beban psikologis dan ekonomi. Dengan pendapatan yang kerap di bawah standar upah minimum, banyak guru TK harus bekerja ekstra untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif bagi anak-anak dengan karakter yang sangat beragam. Ketika satu anak membutuhkan perhatian penuh, guru lain sering kali merasa terbelah antara tanggung jawab moral dan keterbatasan waktu serta tenaga. Situasi ini menimbulkan stres, kelelahan emosional, bahkan perasaan bersalah karena takut tidak adil terhadap anak-anak lain.

Pendidikan inklusif seharusnya tidak berhenti pada penyediaan pelatihan teknis bagi guru. Faktanya, banyak guru TK kini sudah dibekali pelatihan untuk menangani anak berkebutuhan khusus, tetapi pelatihan saja tidak cukup jika kesejahteraan mereka masih jauh dari layak mereka dituntut sabar, kreatif, dan mampu menyesuaikan pendekatan bagi tiap anak namun penghargaan finansial yang diberikan sering kali tidak mencerminkan kerja keras tersebut. Tanpa keseimbangan antara kemampuan dan kesejahteraan, semangat pendidikan inklusif berisiko kehilangan maknanya. konsep “pendidikan untuk semua” hanya akan membebani pihak yang paling lemah dalam rantai pendidikan yakni para guru.

Menjadi guru TK di sekolah inklusif memang sebuah panggilan hati. Namun, panggilan itu seharusnya tidak dibiarkan menjadi beban psikologis tanpa dukungan sistem yang memadai. Saat kita menuntut guru untuk berempati dan sabar, negara pun seharusnya menunjukkan empati yang sama dengan memberi penghargaan yang layak bagi perjuangan mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image