Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asep Setiawan

Di Atas Awan Cikuray: Menyusuri Jalur Pemancar, Menjemput Fajar di Garut

Wisata | 2025-10-09 10:24:49
Sumber: Travelspromo.com

Kabut belum juga terangkat ketika langkah pertama menapaki tanah lembab di kaki Gunung Cikuray. Suara jangkrik berpadu dengan desir angin, menciptakan irama alami yang menemani setiap pendaki di jalur Pemancar. Di kejauhan, menara-menara pemancar radio berdiri tegak, seolah menjadi gerbang menuju langit. Di sinilah perjalanan menuju salah satu puncak tertinggi di Jawa Barat dimulai, tempat di mana matahari terbit terasa begitu dekat dan kelelahan berganti menjadi keajaiban.

Gunung Cikuray, dengan ketinggian 2.821 meter di atas permukaan laut, menjadi kebanggaan warga Garut. Jalur Pemancar adalah rute paling populer sekaligus paling mudah diakses. Berawal dari kawasan perbukitan di Cilawu, pendaki disambut dengan pemandangan indah perkebunan teh dan hawa pegunungan yang tajam. Meski tampak ramah di awal, jalur ini segera memperlihatkan watak aslinya yang panjang, menanjak, dan jarang memberi kesempatan untuk beristirahat.

Langkah-langkah kecil mulai menapaki tanah merah yang licin. Tanjakan demi tanjakan muncul tanpa henti, seolah tak ingin memberi jeda. Namun setiap kali menoleh ke belakang, hamparan hijau Garut terbentang luas, menenangkan mata dan memberi alasan untuk terus melangkah. Jalur Pemancar memang terkenal menantang. Tidak banyak bonus jalan datar, hanya lereng curam dan akar-akar pohon yang menjadi pijakan alami.

Sekitar dua jam pertama, pendaki akan melewati area pemancar radio yang menjadi ciri khas jalur ini. Di sinilah namanya berasal. Menara tinggi menjulang di tengah kabut, berdiri diam di antara hembusan angin gunung. Setelah melewati area ini, hutan mulai menutup pandangan. Pohon-pohon tinggi dengan lumut di batangnya menciptakan suasana mistis, seperti memasuki dunia lain yang sunyi dan sakral.

“Cikuray itu keras, tapi adil,” kata Syafiq, pendaki asal Sumedang yang sudah tiga kali menaklukkannya. “Tiap langkah berat, tapi hasilnya selalu sepadan. Dari puncak, semua rasa capek langsung hilang.”

Perjalanan menuju puncak biasanya memakan waktu lima hingga enam jam, tergantung kecepatan dan kondisi fisik. Di pos terakhir, udara mulai dingin menusuk. Nafas terasa berat, tapi semangat justru memuncak. Menjelang subuh, banyak pendaki yang memilih berangkat lebih awal demi menyaksikan matahari terbit dari puncak.

Dan benar saja, ketika fajar mulai datang, langit perlahan berubah warna. Dari hitam pekat menjadi biru keunguan, lalu jingga terang yang memecah kabut. Lautan awan menutupi lembah-lembah Garut, sementara puncak-puncak gunung lain seperti Papandayan dan Guntur muncul di kejauhan, seolah melayang di atas awan.

“Pemandangan sunrise di Cikuray itu magis,” ujar Azka, mahasiswa asal Bandung yang baru pertama kali mendaki Gn. Cikuray. “Begitu matahari muncul, rasanya semua lelah hilang. Yang tersisa cuma rasa syukur.”

Sumber: Pribadi

Di atas puncak yang sempit, pendaki biasanya berfoto di depan papan bertuliskan Puncak Cikuray 2821 mdpl. Tapi lebih dari sekadar foto, setiap orang membawa pulang cerita yang berbeda. Ada yang datang untuk menguji diri, ada yang mencari ketenangan, dan ada pula yang sekadar ingin tahu bagaimana rasanya berdiri di atas awan.

Namun, seindah apa pun Cikuray, gunung tetap harus dihormati. Komunitas pecinta alam lokal sering mengingatkan pendaki untuk tidak meninggalkan sampah dan menjaga jalur tetap bersih. “Gunung bukan tempat sampah,” tulis salah satu papan peringatan di jalur. Pesan sederhana itu terasa dalam, seolah menjadi pengingat bahwa alam memberi banyak, tapi juga bisa marah bila disakiti.

Saat turun dari puncak, matahari sudah tinggi dan kabut mulai menipis. Jalur yang tadi terasa menantang kini tampak lebih ramah, seolah ikut tersenyum pada mereka yang berhasil menaklukkannya. Dari kejauhan, Garut terlihat damai, terhampar luas seperti lukisan hidup.

Gunung Cikuray bukan hanya soal ketinggian dan ketangguhan. Ia adalah tempat di mana manusia belajar tentang kesabaran, kebersyukuran, dan keheningan. Setiap langkah di jalur Pemancar adalah perjalanan ke dalam diri, sebuah pencarian yang berakhir bukan di puncak, melainkan di hati yang lebih lapang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image