Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Melangkah ke Negeri Tirai Bambu

Wisata | 2025-09-23 09:55:09
Pertunjukan Seni Muslim (Koleksi Republika)

Koper sudah siap, paspor di tangan. Ada rasa gembira yang bergejolak, bercampur dengan sedikit kecemasan. Ini pertama kalinya saya akan menginjakkan kaki di Xiamen (Tiongkok), sebuah negara yang sering digambarkan dalam media dengan cerita-cerita tentang perkembangan pesat, kota-kota modern, dan kebijakan yang ketat.

Destinasi saya bukanlah kota-kota besar yang sudah sering kita dengar, seperti Beijing atau Shanghai, melainkan Xiamen, sebuah kota di provinsi Fujian yang dikenal sebagai "kota taman".

Pilihan maskapai penerbangan saya jatuh pada Xiamen Airlines. Bukan karena nama kota tujuan, tetapi karena sebuah penawaran yang saya menarik: tiket pulang-pergi dengan harga yang sangat murah, namun dengan layanan penuh. Ini adalah sebuah anomali di dunia penerbangan modern.

Biasanya, harga super-murah identik dengan maskapai low-cost carrier (LCC), di mana setiap tambahan seperti bagasi, makanan, bahkan memilih kursi, harus dibayar terpisah. Namun, Xiamen Airlines menawarkan pengalaman yang berbeda. Bagasi 20 kg, makanan hangat di pesawat, dan hiburan dalam penerbangan—semuanya sudah termasuk dalam harga tiket. Ini adalah tiket emas bagi seorang penjelajah yang ingin menghemat biaya tanpa mengorbankan kenyamanan.

Penerbangan terasa begitu cepat. Di atas ketinggian, Tiongkok mulai terlihat seperti karpet hijau raksasa yang dihiasi dengan pola-pola sawah yang rapi. Saya membayangkan akan segera menyentuh tanahnya. Namun, di tengah semua persiapan ini, ada satu hal yang terus mengganjal pikiran saya: bagaimana saya akan berkomunikasi dengan dunia luar?

Sejak awal, saya tahu bahwa internet di Tiongkok memiliki aturan mainnya sendiri. Informasi itu sudah saya baca dari berbagai sumber. Kalau kita terbiasa dengan Google untuk mencari informasi, WhatsApp untuk menghubungi keluarga dan teman, X (dulu Twitter), Facebook, dan Instagram untuk berbagi cerita perjalanan. Kini, di Tiongkok, cerita yang berbeda.

Tepat setelah mendarat, saya terhubung ke wifi. Ponsel saya seketika bergetar dengan notifikasi dari operator. Saya mencoba membuka Google. Layar hanya menampilkan pesan "situs tidak dapat dijangkau". Saya beralih ke WhatsApp. Ikon putar terus berputar, tidak ada pesan yang masuk maupun terkirim.

Lalu saya mencoba Facebook, Instagram, dan X, hasilnya sama—hampa. Semua aplikasi yang menjadi jendela saya ke dunia luar seolah tertutup rapat. Saya menyalakan VPN, mencoba beberapa server, tapi hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba, saya merasa sangat terisolasi.

Awalnya, perasaan ini membuat saya panik. Bagaimana jika ada keadaan darurat? Bagaimana jika saya butuh peta atau informasi mendesak? Tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari sesuatu yang menarik.

Keterbatasan ini memaksa saya untuk benar-benar hadir. Saya jadi lebih sering melihat sekeliling, berinteraksi langsung dengan orang-orang lokal, dan tidak lagi terjebak dalam notifikasi.

Pembatasan akses internet adalah kebijakan pembatasan internet yang dikenal sebagai "The Great Firewall of China". Ini adalah sebuah sistem yang secara efektif memblokir akses ke banyak situs web dan layanan asing. Tujuannya adalah untuk mengontrol aliran informasi dan mempromosikan platform-platform dalam negeri.

Paradoksnya, justru karena keterbatasan itu, perjalanan ini menjadi lebih bermakna. Saya menemukan keindahan Xiamen, berjalan di sepanjang pantai, dan mencoba kuliner lokal tanpa gangguan dari dunia maya.

Saya belajar menggunakan aplikasi lokal seperti WeChat untuk berkomunikasi dan Baidu Maps untuk navigasi. Saya menemukan bahwa di balik "tirai bambu" internet, ada sebuah dunia nyata yang menunggu untuk dijelajahi. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa terkadang, melepaskan diri dari ketergantungan digital adalah cara terbaik untuk benar-benar terhubung dengan tempat dan orang-orang di sekitar kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image