Generasi Muda Terjebak Kapitalisme, Saatnya Kembali ke Ekonomi Islam
Ekonomi Syariah | 2025-09-16 09:21:54
Sarah, 24 tahun, lulusan teknik informatika dari universitas ternama, kini bekerja sebagai pengantar makanan dengan sepeda motor. “Saya sudah melamar ke ratusan perusahaan,” katanya. “Yang ada hanya kerja kontrak tiga bulan, tanpa jaminan kesehatan, dengan gaji pas-pasan.” Cerita Sarah bukan pengecualian. Menurut Bank Dunia, tingkat pengangguran pemuda Indonesia (usia 15–24 tahun) mencapai 13,14% pada 2024. Laporan ILO mencatat bahwa 21,4% pemuda Indonesia termasuk kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training), dan lebih memprihatinkan lagi, 42% dari mereka yang menganggur sudah menganggur setidaknya selama satu tahun penuh. Dengan populasi lebih dari 44 juta pemuda usia 15–24 tahun, situasi ini jelas menciptakan risiko sosial-ekonomi yang besar. Ironisnya, semua ini terjadi di era yang sering disebut sebagai puncak kemakmuran global.
Akar masalah terletak pada sistem ekonomi kapitalistik yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek. Perusahaan lebih suka merekrut pekerja kontrak yang bisa dengan mudah dilepas kapan saja, sementara gig economy yang dipoles sebagai kebebasan justru mentransfer seluruh risiko ke pundak pekerja. Mitra ojek online, misalnya, menanggung sendiri biaya operasional dan risiko kecelakaan, sementara penghasilan mereka ditentukan oleh algoritma yang tak pernah mereka pahami. Di Asia Tenggara, lebih dari 28% anak muda bekerja dengan kontrak temporer tanpa jaminan, dan di banyak negara berkembang, dua dari tiga pekerja muda justru terlalu terpelajar untuk pekerjaan yang mereka dapatkan. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi sering kali hanya berakhir di posisi administratif bergaji rendah.
Namun, jalan keluar sebenarnya sudah ada dan telah terbukti selama berabad-abad: ekonomi Islam. Sistem ini secara tegas menolak riba, menekankan keadilan dalam kemitraan usaha, serta mewajibkan redistribusi kekayaan. Dalam ekonomi Islam, terdapat konsep mudharabah di mana pemilik modal menyediakan dana dan pengelola menjalankan usaha. Jika usaha untung, hasil dibagi sesuai kesepakatan; jika rugi, kerugian ditanggung bersama—pemilik kehilangan modal, pengelola kehilangan waktu dan tenaga. Tidak ada bunga, tidak ada beban sepihak. Ada juga musharakah, kemitraan di mana semua pihak menyumbang modal, tenaga, atau keahlian, lalu berbagi keuntungan sekaligus risiko. Model ini sangat sesuai bagi koperasi dan usaha kolektif anak muda yang ingin tumbuh secara adil.
Ekonomi Islam tidak berhenti pada kemitraan. Ia juga menekankan pemerataan melalui instrumen redistribusi yang jelas. Zakat mewajibkan setiap Muslim yang mampu untuk menyisihkan 2,5% hartanya setiap tahun, yang kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, termasuk entrepreneur muda. Jika diterapkan secara global, zakat bisa mengalirkan miliaran dolar setiap tahun untuk mendukung pemberdayaan generasi muda. Sementara itu, wakaf memungkinkan aset produktif—seperti tanah, gedung, atau saham perusahaan—dihibahkan untuk kepentingan umum. Hasilnya dapat dialokasikan untuk membiayai pusat pelatihan keterampilan atau modal usaha, sehingga menciptakan dampak sosial yang berkelanjutan.
Semua ini bukan utopia. Di Malaysia, bank syariah menyalurkan pembiayaan mudharabah kepada ribuan entrepreneur muda. Di Bangladesh, Grameen Bank yang terinspirasi prinsip kemitraan berhasil mengangkat jutaan keluarga dari kemiskinan. Di Indonesia, koperasi syariah dan platform crowdfunding berbasis syariah mulai memberi akses permodalan tanpa bunga, sementara di Barat, semangat serupa muncul dalam bentuk koperasi pekerja dan social enterprise yang menekankan keadilan serta dampak sosial.
Krisis generasi muda bukanlah takdir, melainkan konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalistik yang eksploitatif. Padahal, generasi muda adalah aset terbesar umat manusia—calon inovator, entrepreneur, dan pemimpin masa depan. Ekonomi Islam menawarkan alternatif nyata: sebuah sistem yang berbasis keadilan, kemitraan, dan kepedulian sosial. Perubahan bisa dimulai dari hal sederhana: mendukung usaha berbasis bagi hasil, memperkuat koperasi syariah, atau menyisihkan sebagian harta untuk wakaf produktif. Generasi muda terlalu berharga untuk dibiarkan menjadi korban sistem yang gagal. Mereka layak mendapat kesempatan yang adil, dan ekonomi Islam memberi kita jalan keluar itu.
wallahu'alam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
