Piring Retorika
Politik | 2025-09-05 14:37:51NIAT Presiden Prabowo Subianto memberi makan anak-anak Indonesia melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah gagasan mulia yang pantas diapresiasi. Ia tampil sebagai janji politik yang dibungkus sebagai panggilan moral bahwa negara harus hadir melawan stunting, gizi buruk, dan ketimpangan kesehatan generasi muda. Namun niat baik tidak cukup untuk menutup lubang tata kelola. Program MBG yang kini digulirkan secara nasional justru mulai memperlihatkan rapuhnya sistem yang menopangnya. Jejak kasus keracunan, laporan makanan berulat, hingga distribusi yang tak terkendali memperlihatkan bahwa tanpa desain yang matang, program ini bisa menjelma menjadi pesta piring yang meriah tapi miskin isi.
Pernyataan Presiden beberapa waktu lalu menambah ironi. Ia menyebut banyak anak keracunan karena tidak memakai sendok atau tidak mencuci tangan. Ucapan ini sekilas logis, sebab studi kesehatan membuktikan cuci tangan dengan sabun dapat menurunkan insiden diare hingga 48 persen. Tetapi menyalahkan kebiasaan anak adalah bentuk penyederhanaan berlebihan. Masalah keracunan massal bukan lahir dari sendok atau jari, melainkan dari rantai pasok makanan yang tak steril, dapur yang kelebihan beban, hingga distribusi yang tak memenuhi standar. Logika ini berbahaya karena menutup fakta bahwa negara masih gagal membangun sistem higienitas yang terukur.
Lebih jauh, pernyataan itu menyinggung dimensi kultural. Makan pakai tangan justru disunnahkan dalam Islam, sebagaimana adab Nabi yang mengajarkan makan dengan tangan kanan. Tradisi itu tidak berbahaya bila disertai kebersihan. Sunnah mengikat perilaku pada syarat mencuci tangan, dan ilmu pengetahuan modern pun membuktikan bahwa risiko kontaminasi bukan soal alat makan, melainkan soal higienitas. Menyalahkan anak yang tak memakai sendok sama artinya menutup mata pada keroposnya standar dapur dan lemahnya pengawasan.
Di lapangan, fakta bicara lebih keras. Pada Februari 2025, lebih dari 80 siswa SD di Kabupaten Subang mengalami keracunan massal setelah menyantap menu MBG berupa ayam goreng dan sayur. Pada Maret, kasus serupa terjadi di Purworejo, Jawa Tengah, dengan 47 siswa muntah dan diare usai makan nasi kotak program MBG. Di Jombang, Jawa Timur, ratusan anak sekolah mengeluh sakit perut karena lauk yang basi akibat distribusi yang terlambat. Laporan makanan berulat juga mencuat di sejumlah daerah, termasuk di Aceh dan Nusa Tenggara Timur, memaksa Badan Gizi Nasional memberi klarifikasi. Kasus-kasus ini bukan anekdot, melainkan indikator sistem yang gagal menjamin keamanan pangan. Distribusi makanan yang disiapkan pagi hari dan baru tiba siang, serta keterbatasan pengawasan menciptakan risiko yang tak bisa ditepis hanya dengan retorika sendok.
Namun narasi resmi pemerintah sering kali bertolak belakang dengan kenyataan. Kepala BGN, Doni Monardo, dalam rapat dengan DPR bulan Juli menyatakan, “Program MBG berjalan baik tanpa kendala berarti. Antusiasme masyarakat sangat tinggi, dan laporan yang masuk lebih banyak positif.” Staf Istana bahkan mengklaim MBG telah menciptakan lebih dari 700 ribu lapangan kerja baru, melibatkan jutaan petani lokal, dan menjadi bukti keberhasilan nyata kepemimpinan baru. Klaim itu disiarkan sebagai bukti sukses. Padahal, data realisasi berbicara lain. Hingga Mei 2025, jumlah penerima baru sekitar 3,9 hingga 5 juta anak, jauh dari target puluhan juta. Jumlah dapur yang beroperasi hanya sekitar 1.700 unit, artinya satu dapur harus melayani hampir 2000-3.000 porsi per hari. Kapasitas ini mustahil dikelola dengan kualitas terjaga, peluang kecolongan karena mengejar laba sering menjadi realita.
Sisi fiskal program juga menimbulkan pertanyaan. Pada tahun pertama, pemerintah menggelontorkan sekitar Rp71 triliun untuk membiayai MBG, dengan rencana eskalasi hingga lebih dari Rp400 triliun dalam lima tahun. Reuters melaporkan tambahan sekitar US$6 miliar atau Rp90 triliun diperlukan untuk memperluas cakupan. Bank Dunia memperkirakan biaya bisa menembus belasan miliar dolar. Angka ini akan menggerus ruang fiskal sektor lain bila tidak diatur secara hati-hati. Dalam situasi anggaran terbatas, klaim keberhasilan yang terlalu dini justru menutup risiko besar di depan mata.
Hitung-hitungan sederhana menunjukkan betapa tidak realistisnya model sentralisasi. Untuk melayani 20 juta anak, dengan kapasitas ideal satu dapur 500 porsi per hari, dibutuhkan sekitar 40 ribu dapur. Untuk target penuh 83 juta penerima, jumlah itu melonjak ke lebih dari 160 ribu dapur. Fakta bahwa saat ini hanya ada ribuan unit katering beroperasi menegaskan betapa jauh kesenjangan antara retorika dan kapasitas nyata. Bila beban ribuan porsi ditumpuk pada satu dapur, kualitas pasti turun, risiko keracunan meningkat, dan UMKM lokal tersingkir oleh pemain besar.
Model yang lebih rasional justru desentralisasi berbasis kantin sekolah, koperasi, dan UMKM lokal. Komite sekolah bisa menjadi pengawas, sementara bahan pangan dari petani dan nelayan sekitar bisa langsung masuk rantai pasok. Jepang sudah membuktikan melalui program makan siang sekolah yang melibatkan kantin dengan tenaga terlatih, sementara Brasil mendayagunakan petani kecil sebagai pemasok utama. Indonesia memiliki modal sosial yang lebih kaya berupa koperasi, PKK, hingga lembaga adat. Yang dibutuhkan hanya keberanian pemerintah melepaskan sedikit kontrol dari sentralisasi menuju pemberdayaan komunitas.
Bahaya terbesar program ini justru datang dari obsesi kuantitas. Pemerintah ingin menambah jumlah porsi dan penerima secepat mungkin. Tetapi semakin besar kuota yang ditumpuk pada satu dapur, semakin rendah kualitasnya, dan semakin kecil dampaknya bagi ekonomi lokal. UMKM kecil tak punya ruang, distribusi pangan terkonsentrasi di tangan segelintir penyedia, dan program sosial berubah menjadi ladang oligopoli pangan.
Dan ada ironi lain yang jarang disorot yaitu realita tentang anak-anak kenyang di sekolah, tetapi pulang ke rumah hanya menemukan dapur kosong karena orang tua mereka menganggur atau berpenghasilan tak menentu. Program makan siang tak bisa menggantikan kebutuhan keluarga akan pekerjaan layak dan pendapatan stabil. Gizi anak bukan hanya soal piring di sekolah, tetapi juga isi dapur di rumah.
Makan Bergizi Gratis adalah pertaruhan politik sekaligus moral. Ia bisa menjadi tonggak sejarah bila dikelola dengan akal sehat dengan kuota dapur yang masuk akal, standar higienis yang ketat, pelibatan nyata UMKM lokal, dan audit independen yang transparan. Tetapi ia juga bisa berakhir sebagai pesta piring penuh ulat bila hanya diperlakukan sebagai proyek propaganda. Mengalihkan perhatian pada sendok hanyalah jalan pintas retoris untuk menutup kegagalan sistem. Anak-anak Indonesia berhak lebih dari sekadar niat baik, mereka berhak atas makanan bergizi yang aman, adil, dan dikelola dengan tata kelola yang jernih. Sejarah kelak akan menilai, apakah MBG benar menjadi warisan mulia, atau hanya piring retorika yang tersisa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
