Mengurai Dilema Hukum Aborsi di Indonesia: Antara Larangan dan Hak Korban
Hukum | 2025-08-27 13:22:43Polemik yang Tak Pernah Surut
Aborsi merupakan salah satu isu paling sensitif dan penuh kontroversi dalam hukum dan moralitas di Indonesia. Perdebatan seputar aborsi melibatkan dimensi agama, etika, kesehatan, hingga hukum pidana. Secara tegas, hukum Indonesia melarang tindakan aborsi yang dilakukan secara ilegal. Namun, tidak semua kehamilan dapat dipertahankan. Ada kondisi darurat yang memunculkan dilema, seperti ketika nyawa ibu terancam atau kehamilan akibat perkosaan. Di titik inilah terjadi benturan kepentingan hukum yang memerlukan solusi bijak.
Larangan Aborsi dalam Sistem Hukum Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menempatkan aborsi sebagai tindak pidana. Prinsip utamanya adalah melindungi kehidupan sejak dalam kandungan. Namun, ketentuan pidana ini tidak dapat dipahami secara kaku. Ada pengecualian yang diberikan hukum ketika kondisi tertentu memaksa tindakan medis dilakukan. Inilah yang disebut benturan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum: negara dihadapkan pada dilema antara mempertahankan janin dan melindungi hak hidup ibu atau korban perkosaan.
Ketentuan Hukum yang Memberi Ruang: Pasal 60 UU Kesehatan 2023
Untuk menjawab dinamika tersebut, negara menghadirkan ketentuan hukum yang lebih responsif. Pasal 60 Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 menyebutkan:
“Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aborsi dapat dilakukan dalam keadaan darurat medis untuk menyelamatkan nyawa ibu dan/atau janin, atau jika kehamilan terjadi akibat tindak pidana perkosaan. Tindakan ini harus dilakukan oleh tenaga medis yang memiliki kompetensi dan kewenangan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri, dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan, dan persetujuan suami kecuali dalam kasus perkosaan.”
Pasal ini bukan sekadar norma tertulis, tetapi jawaban atas realitas sosial yang kompleks. Ia menegaskan bahwa negara memahami kebutuhan melindungi korban, terutama perempuan dan anak, yang menjadi pihak paling rentan dalam kasus kehamilan tidak diinginkan.
Pendekatan Teori Hukum: Dari Positivisme ke Hukum Progresif
Membaca Pasal 60 tidak cukup hanya dengan kacamata positivisme hukum ala Hans Kelsen yang menekankan kepastian hukum sebagai puncak norma. Kelsen akan melihat larangan dan pengecualian dalam Pasal 60 sebagai norma hierarkis yang harus dipatuhi. Namun, di lapangan, realitas sosial memaksa hukum untuk lebih adaptif.
Di sini teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo sangat relevan. Hukum Progresif memandang hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan kemanusiaan, bukan sekadar teks yang kaku. Dalam konteks aborsi, tujuan utamanya bukan menghukum, melainkan menyelamatkan hidup dan memulihkan martabat korban. Hukum Progresif menempatkan nilai kemanusiaan di atas teks, mengakomodasi kepentingan korban, dan memperlakukan hukum sebagai alat untuk memecahkan masalah, bukan menambah beban.
Selain itu, konsep Benturan Kepentingan Hukum (conflict of duties) dalam doktrin hukum pidana juga dapat menjadi dasar. Di satu sisi ada kewajiban melindungi janin, di sisi lain ada kewajiban melindungi nyawa ibu dan hak korban. Doktrin ini memungkinkan negara meniadakan sifat melawan hukum demi kepentingan yang lebih besar.
Aborsi Ilegal dan Risiko Kesehatan: Aspek Sosio-Legal
Praktik aborsi ilegal masih marak akibat stigma sosial, kurangnya akses informasi, dan terbatasnya fasilitas yang memenuhi standar. Di sinilah Pasal 60 hadir sebagai instrumen kebijakan publik. Dari perspektif teori law and society, hukum tidak hanya norma, tetapi juga alat rekayasa sosial (Roscoe Pound: law as a tool of social engineering). Tujuan akhirnya adalah mengurangi angka kematian ibu, melindungi korban, dan mengarahkan masyarakat pada jalur yang aman dan legal.
Perlindungan untuk Korban Perkosaan
Dalam perspektif hak asasi manusia, korban perkosaan tidak boleh menjadi korban kedua kali oleh sistem hukum. Pasal 60 mengakui hak korban untuk menentukan pilihan. Pendekatan ini sejalan dengan teori hak korban (victimology) yang memandang korban berhak atas pemulihan medis dan psikologis. Dengan demikian, hukum di sini tidak hanya represif tetapi juga restoratif.
Menata Pemahaman Masyarakat dengan Pendekatan Hukum yang Hidup
Diskursus aborsi menunjukkan bahwa hukum harus hidup, mengikuti kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, Pasal 60 adalah cerminan hukum yang berusaha menyeimbangkan larangan dan perlindungan. Ia menempatkan nilai kemanusiaan di tengah norma, mengakomodasi kepentingan korban, dan memberikan jalan tengah bagi dilema etis.
Dengan memadukan positivisme untuk kepastian hukum, hukum progresif untuk keberpihakan pada manusia, dan teori law as social engineering untuk perubahan sosial, tulisan ini mengajak pembaca melihat bahwa hukum hadir bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk melindungi dan memulihkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
