Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image adelia salsa

Dilema Etis Aborsi pada Janin Down Syndrome

Humaniora | 2025-06-06 18:45:30

Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi medis dapat mendeteksi dini kelainan genetik pada janin, termasuk Down Syndrome. Tes seperti Non-Invasive Prenatal Testing (NIPT) dan amniosentesis memberi orang tua informasi lebih awal mengenai kondisi calon bayi mereka. Dibalik fakta ini muncul pertanyaan etis yang pelik: Apakah aborsi janin dengan Down Syndrome merupakan bentuk diskriminasi atau keputusan medis yang rasional?

Down Syndrome dalam Spektrum Disabilitas: Bukan Penyakit Melainkan Keberagaman Manusia

Down Syndrome bukanlah penyakit, melainkan salah satu bentuk disabilitas intelektual . Penyandang Down Syndrome memiliki kromosom ekstra pada pasangan ke-21 yang memengaruhi perkembangan fisik dan kognitif. Dalam model sosial disabilitas hambatan terbesar bagi penyandang Down Syndrome adalah masyarakat yang tidak inklusif. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya stigma sosial yag menganggap mereka "tidak produktif".

Aborsi Selektif: Antara Hak Ibu dan Hak Hidup Janin

Banyak yang berargumen bahwa aborsi pada janin Down Syndromeadalah keputusan pribadi yang didasari pertimbangan medis dan psikologis. Orang tua tidak siap dengan beban finansial, emosional, atau sosial dalam merawat anak Down Syndrome. Namun, apakah ketakutan ini cukup untuk membenarkan praktik aborsi janin yang sebenarnya dapat hidup dengan layak? Bukankah ini bentuk diskriminasi prenatal?

Jika abprsi selektif menjadi norma, maka beresiko menciptakan masyarakat yang hannya menerima manusia "sempurna" secara genetik. Hal ini mengabaikan fakta bahwa banyak penyandang Down Syndrome yang dapat berkontribusi dalam masyarakat.

Faktor terbesar orang tua melakukan aborsi janin Down Syndrome adalah persepsi negatif tentang kualitas hidup mereka. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa penyandang Down Syndrome dapat memiliki kehidupan yang baik. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan terapi dini dan dukungan pendidikan inklusif.

Tekanan Sosial dan Stigma yang Memengaruhi Keputusan

Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan aborsi sering dipengaruhi oleh tekanan sosial dan kurangnyna dukungan bagi keluarga dengan anak Down Syndrome. Di Indonesia sendiri munimnya fasilitas kesehatan dan pendidikan inklusif membuat banyak orang tua merasa tidak sanggup merawat anak Down Syndrome dan memilih untuk menghilangkan janin yang "bermasalah". Siapa yang berhak menentukan standar "kehidupan yang layak"? Apakah kita sedang menciptakan dunia dimana hanya yang "sempurna" yang boleh hidup?

Solusi Alternatif: Dari Aborsi ke Aksesibilitas

Alih-alih menjadikan aborsi sebagai saru-satunya solusi, kita harus meningkatkan fasilitas seperti asuransi kesehatan, terapi gratis, dan menyelenggarakan sekolah inklusif. Pihak medis juga perlu memberikan konseling genetik yang netral agar tidak terjadi aborsi.

Aborsi janin Down Syndrome bukan sekedar masalah medis, tetapi cermin dari bagaimana masyarakat memandang disabilitas. Hak reproduksi perempuan penting, tetapi hak hidup penyandang Down Syndrome juga tidak boleh diabaikan. Daripada menghilangkan mereka, lebih baik kita membangun masyarakat yang inklusif. Dimana setiap kehidupan, apapun kondisinya, dianggap berharga.

"Kemanusiaan sejati diukur bukan dari kesempurnaan genetik, tetapi dari cara kita merangkul yang berbeda"

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image