Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Indahnya Bertani: Makin Dekat dengan Allah

Khazanah | 2025-07-30 18:32:48
Oleh: Muliadi Saleh

Embun baru saja jatuh di ujung daun. Tanah masih basah dan sunyi, menyimpan rahasia kehidupan yang belum tampak. Di sanalah, seorang petani membungkuk pelan—bukan karena lelah, tapi karena tunduk kepada takdir.

Bertani bukan semata pekerjaan, melainkan cara paling jujur untuk menyentuh kembali asal-usul kita. Dari tanah kita berasal, ke tanah kita kembali. Maka menyentuh tanah bukan sekadar menggali—tetapi menziarahi diri sendiri.

Di antara peluh dan doa, benih kecil diletakkan dalam gelap. Ia diam. Tak bergerak. Tapi justru di situ ia tumbuh. Akar-akar mungil menjulur perlahan menyapa dunia, mencari arah tanpa peta. Batang pelan-pelan menembus cahaya. Daun kecil muncul malu-malu, seolah ingin menyapa embun pertama. Tak ada yang tahu bentuknya nanti, tak ada yang tahu warna buahnya. Tapi itulah keindahan: kejutan yang hanya bisa lahir dari sabar dan yakin.

“Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya ”

(QS. ‘Abasa: 24)

Tanah tak pernah menolak benih. Ia menerima, menumbuhkan, lalu memberi. Begitulah Tuhan mencipta pelajaran dalam diam. Dan bertani adalah tafsir hidup paling jujur tentang proses. Tak ada yang instan. Semua tumbuh dalam irama ilahi.

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, lalu tanaman itu dimakan manusia, burung, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya.”

(HR. Bukhari-Muslim)

Bertani adalah amal yang mengalir tanpa pamrih. Tanaman itu bisa saja mati, tumbuh, dimakan serangga, atau tak panen. Tapi Allah menilai bukan hasilnya, melainkan keikhlasan saat menanamnya.

Dalam benih, ada harapan. Dalam tanah, ada rahmat. Dalam peluh petani, ada doa yang tidak terdengar di langit kota. Petani tak hanya mencangkul sawah, tapi menggali makna hidup. Di sawah yang sunyi, ia berdialog dengan Tuhan.

“Tanamlah kebaikan, meski tak seorang pun melihatnya. Sebab Tuhan menumbuhkan segalanya pada waktunya.”

– Jalaluddin Rumi

Di zaman yang serba instan, bertani adalah zikir yang nyata. Mengajarkan sabar, syukur, dan tawakal dalam satu musim. Tak bisa dipercepat. Tak bisa dipaksa. Semua tunduk pada kehendak-Nya.

Bertani juga mengajarkan adab:

Bahwa akar harus tertanam dulu sebelum batang menjulang.

Bahwa batang harus kuat sebelum daun muncul.

Dan daun harus sabar menunggu bunga.

Lalu buah pun tiba, tepat waktu, dengan rasa yang tak bisa ditebak.

Sungguh, Allah menunjukkan kuasa-Nya lewat pertanian. Maka,

“Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

(QS. Ar-Rahman: 13)

Penutup:

Bertani bukan soal hasil. Ia adalah jalan pulang—kepada asal, kepada proses, kepada Allah. Di sanalah hidup menjadi pelan tapi pasti. Diam tapi bermakna. Di sana, kita tak hanya memanen padi, tapi memanen keimanan.

“Jangan malu mencangkul tanah, sebab Nabi Adam pun pernah mencangkul surga.”

— Muliadi Saleh

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image