Antara Maiah dan Dakwah
Agama | 2025-07-24 16:39:37
Menjadi aktivis muslimah yang berdakwah memang tak mudah di era disrupsi saat ini. Bukan hanya soal idealisme yang semakin tergerus ketika dihadapkan dengan realita di masyarakat, tetapi juga disibukkan dengan amanah baru menjadi istri dan ibu. Belum lagi kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu membuat aktivis muslimah seringkali bukan menjadi prioritas dalam kehidupan seorang yang dulunya menjadi aktivis mahasiswa.
Perempuan dan Perannya
Tidaklah sama peran seorang perempuan ketika sudah masuk ke dalam kehidupan barunya. Perubahan dari aktivis mahasiswa menjadi aktivis emak-emak menjadikan perempuan merubah banyak hal pula. Mulai dari waktu, pikiran, tenaga, juga emosinya dalam menjalankan semua peranan. Kini tak lagi menjadi sekedar aktivis, namun juga menjadi istri yang punya peran melayani suami, juga menjadi ibu yang tidak hanya bersuara di ruang publik untuk mendidik generasi, tapi juga mendidik keturunan sendiri untuk melanjutkan perjuangan. Sebagai seorang pengemban dakwah, tentu perjuangan ini tak lain dan tak bukan adalah membumikan islam untuk mengembalikan kehidupan islam itu sendiri. Berbeda dengan ketika masih menjadi mahasiswa yang mungkin tidak terlalu memikirkan masalah biaya kuliah dan hidup karena sudah ditanggung orang tua, kini aktivis muslimah dihadapkan dengan realita ekonomi yang semakin menyengsarakan. Harga sembako yang naik turun tak menentu, arus PHK yang kian meningkat, minimnya lapangan pekerjaan yang semakin mengancam kondisi dapur, juga ketimpangan sosial yang semakin menjadi-jadi. Semua kenyataan ini menyebabkan perempuan dalam sistem ekonomi ini tak jarang ikut terjun dalam mengais rejeki, sedikit mengurangi perannya dan membagi tugas dengan suami.
Perempuan dan Nafkah
Sebagai seorang perempuan, nafkah bukanlah kewajiban baginya, namun hak. Saking jauhnya masyarakat saat ini dengan konsep ekonomi islam, menjadikan terjadinya pergeseran makna nafkah itu sendiri. Tak jarang laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga dan yang berkewajiban mencari nafkah mengira jika memenuhi kebutuhan saja sudah cukup disebut nafkah. Padahal dalam islam memaknai nafkah adalah di luar dari harta yang dikeluarkan untuk kebutuhan sandang, papan dan pangan keluarga. Nafkah adalah belanja pribadi untuk istri atau untuk jajan dan healing, jika kita menggunakan bahasa yang mudah dipahami di era ini. Pergeseran makna ini menjadikan perempuan memilih ikut mencari rupiah demi memenuhi kebutuhan pribadi, hobi, dan atau ambisinya. Contoh mudahnya adalah melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Iklim perekonomian yang tidak berpihak pada laki-laki, dan sistem UMK yang hanya berpihak pada kebutuhan satu kepala, tidak berpihak pada pekerja yang berkeluarga juga mempengaruhi. Kondisi perempuan bekerja tentu akan sangat mempengaruhi gerak dakwahnya.
وَالنَّفَقَةُ حَقٌّ خَالِصٌ لِلزَّوْجَةِ لَا يُشَارِكُهَا فِيهِ أَحَدٌ
“Nafkah adalah hak murni istri, tidak boleh dibagi dengan pihak lain.” (Tuhfah al-Muhtaj, Juz 7, hal. 379)
Lalu bagaimana mendudukkan antara maiah dan dakwah?
Maiah dan Dakwah
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan sebelum menentukan mana yang harus kita dahulukan antara maiah dan dakwah ini:
- Time freedom. Sebagai seorang pendakwah, kita memerlukan waktu lebih untuk belajar tsaqofah islam, memahami fiqh, memahami bahasa arab yang kesemuanya ini membutuhkan alokasi waktu yang tidak sedikit. Memahami fakta yang terjadi di masyarakat, juga memahami soft skill lain seperti public speaking karena berbeda audiens kita juga harus punya pendekatan yang berbeda. Selain tsaqofah, kita juga memerlukan banyak waktu untuk memikirkan strategi dan rencana dakwah kita dalam jangka pendek dan juga jangka panjang, maka waktu adalah hal yang sangat berharga sebagaimana Allah mendudukkan waktu sebagai hal yang sangat penting.
- Financial freedom. Berbeda dengan pandangan sistem ekonomi yang mengutamakan materi, financial freedom ini bertujuan agar kita memiliki political freedom yang nantinya menghantarkan kita kepada pada freedom terhadapan pandangan ideologi kita. Disini lah jiwa seorang aktivis harus aktif pada sisi ini.
- Perasaan Qanaah. Karena menyelaraskan antara maiah dan dakwah bukanlah hal yang mudah, maka dibutuhkan adanya rasa qanaah dalam diri setiap insan yang menukar jiwanya dengan ridha dari Allah melalui jalan dakwah. Memang tak mudah, karena hadiahnya pun bukan hal yang murah, Allah janjikan surga bagi mereka yang mau berlelah-lelah dalam proses menolong agama Allah. Juga Allah janjikan pertolongan bagi yang menolong agama Allah.
- Mencari rezeki bukan mencari pekerjaan. Sebagai seorang pendakwah harus menjadikan dakwah sebagai poros hidupnya. Implikasi dari time freedom, sudah seharusnya seorang pengemban dakwah bukan mencari pekerjaan yang bisa menyita banyak waktu kita, dan perlu diingat bahwa untuk menjadi rezeki bukan cuma dengan cara bekerja. Banyak hal dalam islam dijelaskan cara untuk mendapatkan uang.
- Menilai ulang sumur rezeki. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan bagi seorang pengemban dakwah untuk menilai ulang sumur rezekinya jika memang tidak ada pilihan selain bekerja. Pertama, harus melihat halal dan haramnya rezeki yang diperoleh dari pekerjaannya. Kedua tinjau kembali kebebasan politik dan kebebasan ideologinya, terpengaruh atau tidak dengan pekerjaannya. Terakhir tinjau ulang kebebasan waktu yang menjadi kebutuhan bagi pengemban dakwah, jika ketiga hal ini tidak diperoleh maka perlu ada perubahan dari segi pekerjaannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
