Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arum Indah

Rumah Subsidi Minimalis, Buah Kebijakan Oportunitis

Politik | 2025-07-02 16:00:18

Proyek 3 juta perumahan yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto memasuki babak baru. Dengan harga rumah yang berkisar antara Rp100-120 juta dan cicilan sebesar Rp600 ribu per bulan, program ini diklaim pemerintah untuk membantu masyarakat lapisan rendah agar memiliki perumahan. Backlog (kekurangan hunian) memang menjadi masalah yang menyita perhatian, jumlahnya mencapai 15 juta per tahun 2025 dan diperkirakan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Awalnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menetapkan pembangunan rumah subsidi akan dibangun di atas tanah berukuran 60-200 meter dengan luas bangunan 21-36 meter persegi. ( tempo.co, 30-6-2025)

Kabar terbaru, pemerintah telah menetapkan dua tipe untuk rumah bersubsidi ini. Tipe pertama dengan luas bangunan 14 meter persegi dan tipe kedua dengan luas bangunan 23,4 meter persegi. Desain rumah subdisi ini terinspirasi dari maket yang dipajang Lippo Group di lobi Nobu Bank, Plaza Semanggi. Untuk tipe pertama, panjang rumah hanya 5,4 meter dan lebar 2,6 meter dengan ruang tamu yang menjadi satu dengan dapur, satu kamar tidur serta kamar mandi di dalamnya, dan saatu kamar tidur lagi berada di lantai dua. Tipe dua rumah subsidi tidak jauh berbeda dengan tipe pertama.

Keputusan pemerintah dalam mendesain rumah subsidi dengan gaya minimalis menuai banyak protes dari berbagai kalangan. Pasalnya, rumah ini dianggap terlalu kecil dan tidak layak, apalagi bagi yang sudah berkeluarga. Tak hanya itu, rumah subsidi mini ini juga dinilai akan menimbulkan berbagai masalah seperti ketidaknyamanan, hilangnya privasi anggota keluarga, hilangnya fungsi-fungsi ruangan dalam sebuah rumah, hingga masalah psikologis yang bisa memicu setres dan tekanan emosional. Ikatan Arsitek Indonesia juga mengkritik desain rumah subsidi mini dengan menyebut lebih cocok disebut sebagai shelter (rumah sementara) dibandingkan rumah tempat tinggal.

Kebijakan Oportunitis

Banyak aspek yang harus diperhatikan saat akan membangun suatu perumahan, di antaranya efisiensi ruangan, ventilasi untuk sirkulasi udara dan pencahayaan alami, material yang layak, privasi penghuni rumah, kelayakan perumahan, dan lain sebagainya. Sekalipun hunian yang akan dibangun berukuran kecil, pemerintah harus tetap mempertimbangkan aspek-aspek kelayakan suatu hunian, bukan hanya fokus pada pemenuhan targetnya lalu seolah-olah masalah hunian telah selesai, padahal masih banyak masalah baru yang bermunculan.

Kebijakan ini justru mengerdilkan dan menciptakan kelas kasta di tengah-tengah masyarakat. Kebijakan rumah subsidi oleh pemerintah agar masyarakat memiliki rumah secara massal merupakan kebijakan oportunitis yang memiliki peran ideologis untuk menstabilkan kapitalisme di suatu negeri dan membuka ruang baru untuk mengumpulkan modal para swasta karena proyek ini dikerjakan dengan melibatkan korporasi. Kebijakan ini jauh dari mitos 'pemerintah baik hati' yang ingin membantu rakyat menyelesaikan masalah perumahan, tujuan kebijakan ini lebih mengerucut untuk menstabilkan kondisi politik dan mengumpulkan keuntungan bagi pihak swasta.

Kebijakan oportunitis lahir dari sistem kapitalisme yang menetapkan perumahan sebagai komoditas jual beli dan bukan tanggung jawab penguasa. Penguasa hanya hadir sebagai regulator, bukan pihak yang melakukan riayah (pelayanan) kepada rakyat. Berbagai hal seperti kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal yang harusnya menjadi tanggung jawab negara justru diserahkan kepada pihak swasta.

Kerusakan Kapitalisme

Lepas dari pemerintah akan kewajibannya untuk menyediakan tempat tinggal bagi rakyat telah memicu korporasi besar berlomba-lomba mengambil alih sektor perumahan dan menjadikan properti bisnis yang begitu menggiurkan, baik perumahan untuk disewakan atau untuk dimiliki secara pribadi. Bisnis di sektor perumahan ini memang menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Gaung kapitalisme yang sering menyatakan bahwa korporasi besar akan membuka peluang kerja bagi masyarakat hanya menjadi ambisi kosong belaka. Faktanya, pendapatannya justru semakin tinggi. Para pekerja sering digaji dengan upah yang jauh di bawah standar. Upah yang hampir hampir tidak mungkin memenuhi segala kebutuhan keluarga karena barang dan jasa terus mengalami kenaikan harga.

Masalah diatas terjadi karena sistem kapitalisme secara inheren menempatkan keuntungan di atas segala kebutuhan dasar manusia. Kemudian, kebutuhan dasar (termasuk di sekitar perumahan) itu dijadikan komoditas pribadi yang dijual untuk menghasilkan keuntungan. Dengan upah yang minim dan kebutuhan lain yang semakin tinggi, akhirnya banyak rakyat yang tidak mampu memiliki rumah. Kapitalisme secara jelas telah menciptakan krisis perumahan yang terus meningkat setiap tahunnya.

Oleh karena itu, penetapan rumah subsidi dengan desain minimalis yang jauh dari kelayakan ini merupakan bas dari penerapan kapitalisme. Kebijakan ini lahir bukan untuk menyelesaikan masalah umat, melainkan untuk mengumpulkan keuntungan para korporasi yang terlibat dalam proyek penyediaan rumah rakyat.

Hunian dalam Islam

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang melepaskan tanggung jawab perumahan kepada pihak swasta. Islam justru menetapkan bahwa tempat tinggal adalah tanggung jawab penguasa. Sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan adalah hal yang akan dijamin oleh negara dan khalifah wajib untuk merealisasikannya semua di tengah-tengah masyarakat. Adapun mekanisme untuk mewujudkan itu semua, yaitu dengan cara:

 

  1. Mewajibkan kaum lelaki untuk bekerja agar dapat memenuhi kewajiban nafkahnya. Di sisi lain, negara akan menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai dan iklim usaha yang menguntungkan. Negara akan menyediakan pinjaman dana tanpa riba atau bahkan diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat yang ingin menjalankan usaha.
  2. Kewajiban keluarga, warisan, dan kerabat lainnya. Ketika seseorang terkendala untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, Islam telah menetapkan skema kewajiban menyediakan kebutuhan pokok untuk orang tersebut, yakni bisa berasal dari pemberian keluarga, warisan orang tua, ataupun hadiah dari kerabat.
  3. Kewajiban negara. Jika langkah satu dan dua tidak dapat menyelesaikan masalah, negara akan secara langsung menyediakan perumahan bagi seluruh masyarakatnya dengan menggunakan dana yang dimiliki oleh umat. Dengan mekanisme ini pula, masyarakat dalam sistem Islam akan dapat memiliki rumah dengan harga yang terjangkau atau bahkan diberikan secara cuma-cuma oleh negara.

Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan oleh peguasa. Rasulullah Saw bersabda:

Setiap orang adalah pemimpin dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.Setiap kepala negara akan dimintai pertanggungjwaban perihal rakyatnya.” (HR.Muslim)

Tiga langkah ini didukung juga dengan regulasi dan kebijakan dari khalifah, di antaranya seperti larangan menelantarkan tanah. Tanah yang ditinggalkan lebih dari tiga tahun bebas dikelola dan dimiliki siapa pun. Kebijakan ini akan mengurangi keberadaan tanah terlantar. Siapa saja yang mengelola tanah terlantar atau membangun rumah di atasnya, maka tanah itu sah menjadi haknya. Begitu juga dalam menjamin tepenuhinya kebutuhan papan, khalifah akan mendesain rumah dengan desain yang terbaik dan layak.

Namun perlu diingat bahwa penerapan sistem Islam hanya bisa dilaksanakan dalam konsep negara berbentuk Khilafah Islamiyah.

Wallahu'alam bisawab []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image