Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Urip Hidayat

Asmara dalam Bara, Cinta dalam Luka

Drama | 2025-04-19 10:13:50
Sumber : AI

CEO – Cari Ekstra Ongkos

Kontrakan kecil di ujung gang sempit itu bergoyang sedikit tiap kali kereta lewat. Dindingnya tipis seperti hubungan LDR dan pintunya nyaring seperti harga bensin naik. Di dalamnya, seorang pria bernama Sokin sedang berdiri di depan cermin retak yang menempel seadanya di dinding, memakai jas pinjaman yang terlalu besar satu nomor.

Dia menatap pantulan dirinya dan menghela napas.

“Gue CEO,” gumamnya serius. “Cari Ekstra Ongkos.”

Tepat saat itu, notifikasi WhatsApp berbunyi: [GRUP WA ALUMNI SMA 1997] ???? “Reminder: Reuni Besar Besaran! Lokasi: Hotel Gravia SkyLounge. Dresscode: formal mewah.”

Sokin menatap layar itu seperti menatap utang yang belum lunas. Ia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Tangannya reflek mengelus rambutnya yang mulai menipis.

“Reuni di hotel bintang lima? Fix, ini jebakan batman.”

Sokin duduk di warung kopi, memandangi teman lamanya—Bang Akim, sopir mobil rental yang sedang menyeruput kopi tubruk.

“Gue butuh mobil bagus, Bang. Buat malam ini.”

Bang Akim melotot.

“Malam ini? Buat apa? Kencan sama menteri?”

“Reuni,” jawab Sokin singkat. “Dan gue harus terlihat sukses. Biar mantan gebetan gue—yang dulu nolak gue karena status sosial—nyesel sampe ke sumsum.”

“Yang lo maksud Amel?” Bang Akim menyeringai. “Yang kalau lewat, lo langsung berhenti ngunyah gorengan?”

Sokin mendesah, “Ya, dia. Dan kali ini, gue yang bikin dia nggak bisa ngunyah kenyataan.”

Persiapan Sokin

Sokin berdiri di depan kaca lagi, kali ini pakai jas, celana licin, dan sepatu yang bersih berkat disikat pakai sabut kelapa.

Dia latihan senyum. Latihan ngomong “saham”, “investasi”, “portofolio”.

“Kerja di mana sekarang, Kin?” “Masih di dunia investasi. Lagi garap startup properti... di Metaverse.”

Dia tertawa sendiri.

Tiba-tiba HP-nya berbunyi lagi. Nama itu muncul: Amel. Tapi bukan chat pribadi. Hanya update story WA—foto suasana hotel tempat reuni, dengan caption: “Waktunya nostalgia... dan mungkin menertawakan masa lalu.”

Menuju Hotel

Malam itu, Sokin melaju pelan dengan mobil sewaan, ngetem sebentar di depan lobi megah Hotel Gravia.

“Santai. Santai. Anggap aja ini syuting FTV.”

Langkahnya pelan, sedikit gemetar, tapi penuh tekad. Ia melangkah masuk ke ruangan yang terang, glamor, dan penuh wajah-wajah masa lalu.

Lampu kristal menggantung, suara musik jazz mengalun. Di dalam, para alumni berseliweran dengan jas, gaun, dan aroma parfum mahal.

Sokin menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat dagunya.

“Bismillah... saatnya jadi orang kaya—minimal semalam.”

Tatapan Pertama

Di tengah hingar bingar reuni itu, ia melihat Amel. Dia berdiri di dekat meja minuman, mengenakan gaun hitam sederhana tapi elegan, rambut disanggul, dan—yang paling mencolok—cincin mengilap di jari manisnya. Mata mereka bertemu. Sekejap. Lalu sama-sama pura-pura tak melihat. Tapi dunia dalam dada mereka bergetar—bukan karena reuni, tapi karena sesuatu yang belum selesai. Dan di saat itulah, semua kepalsuan dimulai.

Tatap Dingin, Jantung Panas

Suasana ballroom hotel seperti gala dinner: lampu remang-remang, biola mengalun, dan piring-piring kecil berisi makanan susah disebut. Sokin berdiri di dekat dispenser wine—yang jelas bukan habitat aslinya—berusaha terlihat santai sambil memegang gelas yang hanya diisi air putih. Tangannya agak gemetar, tapi senyumnya tetap dipoles.

Amel berdiri tak jauh darinya. Gaunnya pas, elegan, tapi tidak mencolok. Di jari manis tangan kirinya, cincin perak berkilau dengan cara yang mencolok sekali.

Sokin melirik. "Cincin tunangan?" pikirnya. Amel juga melirik. "Mobil sewaan?" bisiknya dalam hati.

Keduanya tersenyum. Manis, palsu, dan menyimpan rindu.

Obrolan Serang Halus

Amel mendekat duluan. Sokin kaget tapi cepat bangkit dari panik.

Amel: “Sokin. Wah, nggak nyangka lo datang juga. Kelihatan... sukses sekarang.” Sokin (senyum tipis): “Alhamdulillah, rejeki nggak kemana. Sedikit main saham, properti, investasi hijau gitu deh.” Amel: “Wah. Keren. Gue juga kebetulan tunangan orang yang main di bidang... apa ya... pokoknya kalau nyebut nominal, langsung pusing sendiri.”

Sokin: “Hebat. Gue sih... sekarang lebih milih hidup sederhana. Tapi kalau ke luar negeri, nggak lupa beli Indomie buat bekal.” Amel: “Gue juga suka yang lokal. Bahkan kalau staycation, tetep order nasi padang.”

Tawa mereka menggantung di udara—tawa basa-basi penuh lapisan sindiran dan nostalgia.

Dibelakang Meja Puding

Sokin berdiri sendirian di pojok ruangan, mengambil puding coklat dengan gaya ala-ala orang kaya. Di seberangnya, Amel menatap dari jauh, diam-diam memperhatikan cara Sokin memegang sendok—masih canggung.

“Masih Sokin yang dulu, cuma kali ini bawa properti.”

Amel nyaris tertawa sendiri, tapi buru-buru menegakkan bahu. Cincin di jarinya diputar perlahan, lalu diketatkan.

“Dia harus tahu... gue juga nggak kalah.”

Percakapan Bumerang

Mereka kembali duduk berdekatan saat sesi makan malam. Meja bundar, delapan kursi, tapi yang aktif ngobrol cuma mereka berdua—dan itu pun penuh perang dingin terselubung hangat.

Sokin: “Lo tinggal di mana sekarang?” Amel: “Apartemen. Dekat dengan calon suami gue, biar gampang kalo ada rapat dadakan.” Sokin: “Wah. Gue juga. Tinggal deket proyek. Soalnya, kadang klien suka ngajak makan tengah malam.”

Amel (tertawa kecil): “Jadi CEO?” Sokin (senyum miring): “CEO. Cari Ekstra Order.”

Dua Kebohongan, Satu Kebenaran

Reuni makin malam, tapi suasana hati Sokin dan Amel makin sulit ditebak. Mereka pura-pura sibuk dengan orang lain. Tapi mata mereka terus saling cari. Saat sesi foto bareng, mereka berdiri bersebelahan. Tanpa sengaja, jari mereka bersentuhan. Hanya sedetik. Tapi cukup untuk menyulut sesuatu yang dulu hanya jadi debu. Di antara jas palsu dan cincin bohongan, dua hati yang masih luka... ternyata belum sembuh.

Masuk Lift, Niat Kabur

Reuni mulai sepi. Lagu “Kenangan Terindah” diputar sebagai tanda bahwa malam hampir usai. Sokin celingukan, lalu memutuskan kabur lebih dulu. Bukan karena bosan, tapi karena hatinya udah kebakar. Dia masuk lift dengan niat pulang diam-diam, menghindari momen perpisahan awkward.

Saat pitu lift hampir menutup Tiba-tiba, tangan seseorang menahan pintu.

Amel.

“Loh lo juga pulang?” “Iya, ngantuk,” jawab Sokin, jelas bohong. “Sama. Gue juga.” Mereka tertawa kecil. Lift naik ke lantai atas—arah kamar dan parkiran.

Tiba-tiba

“Ting!” Lampu lift padam. Suara mesin lift berbunyi kasar. Lalu... mati total.

Lift Macet, Jarak Dekat

Gelap. Hening. Nafas mereka berdua terdengar lebih jelas dari suara lift.

Sokin: “Ini... error beneran?” Amel: “Kalau prank, ini kelewatan sih.”

Sokin mencoba pencet tombol. Tidak ada respons. Lalu, suara statis terdengar dari interkom.

“Mohon maaf. Sistem listrik mengalami gangguan. Petugas akan mengevakuasi dalam waktu 1-2 jam. Mohon tenang.”

Sokin meneguk ludah. Amel duduk pelan di sudut lift. Sepatu high heels-nya dilepas. Jas Sokin udah basah keringat.

Hening. Lalu

Amel: “Dulu... lo beneran suka gue, ya?” Sokin (tertegun): “Lo juga tahu?” Amel: “Cuma pura-pura nggak tahu. Karena... takut tahu jawabannya.”

Kamar Hotel Sementara

Setelah dua jam dan satu botol air mineral dibagi dua, mereka dievakuasi.

Petugas berkata:

“Karena sistem lift dan tangga evakuasi ditutup buat pengecekan, silakan istirahat dulu di kamar cadangan. Gratis dari hotel.”

Mereka mengangguk, lalu Masuk ke satu kamar.

Satu kasur. Dua mantan yang nyaris jadi sesuatu.

Pelepasan dan Kejujuran

Suasana di kamar sunyi, hanya diisi suara TV yang tidak benar-benar ditonton.

Sokin: “Gue bukan CEO. Gue kerja serabutan. Tadi tuh... jas sewaan, mobil pinjem.” Amel (tersenyum lembut): “Gue juga bukan tunangan siapa-siapa. Cincinnya pinjem dari adik gue. Buat jaga gengsi.”

Sokin menghela napas, lalu menatap Amel.

“Kenapa?” “Karena... gue takut lo udah berubah. Dan gue masih berharap lo tetap Sokin yang dulu.”

“Gue juga... masih nyari Amel yang dulu. Yang nggak pake gengsi buat jadi tinggi.”

Hening. Lalu mereka saling menatap, lebih lama dari sebelumnya.

Wajah mendekat. Nafas pelan. Detik berikutnya

Ketukan keras di pintu.

“Pak, Bu, listrik sudah normal. Silakan kembali ke acara jika berkenan.”

Mereka tertawa. Tegang hilang. Tapi bibit rasa itu—semakin nyata.

Tidak Lagi pura-pura

Di lorong hotel, Sokin dan Amel berjalan berdua. Tak ada lagi akting.

Hanya dua orang yang akhirnya sadar—bahwa satu-satunya hal yang harus mereka tinggalkan di masa SMA adalah rasa takut.

Kembali ke Reuni, Tapi Tanpa Topeng

Sokin dan Amel kembali ke ballroom. Bedanya: kali ini mereka masuk bareng, tanpa jarak, dan... tanpa kostum pura-pura.

Jas Sokin udah dibuka, dasi dilonggarkan. Amel melepas cincin pinjaman, masukin ke tas kecilnya.

Mereka tampak santai. Tapi dunia... belum selesai main drama.

MC Jahat yang Kebanyakan Kepo

MC reuni, yang ternyata teman sekelas dulu—si mulut besar bernama Jupri—mulai lempar-lempar candaan. Mikrofon di tangan, spotlight menyala.

MC Jupri: “Wah, wah... kayaknya ada pasangan baru nih. Sokin, Amel, kalian pacaran ya sekarang? Wah cocok nih, mantan tukang nyapu kelas sama mantan putri osis!”

Sokin tersenyum canggung. Amel juga. Tapi Jali belum berhenti.

“Eh, denger-denger Sokin udah sukses, ya? Katanya investor? CEO? Sumbang reuni dong!”

Tertawa meledak. Semua mata menoleh ke Sokin.

Sokin (terdiam sejenak): “Gue... bukan CEO.” (Hening) “Gue kerja lepas, kadang jualan online, kadang ngojek. Yang gue bawa ke sini cuma niat baik... dan rindu lama.”

Semua mendadak sepi. Hanya suara AC yang terdengar.

MC Jupri: “Eh, beneran? Hahaha terus Amel? Katanya udah mau nikah sama konglomerat?”

Amel: “Nggak. Gue bohong. Karena... gue juga tguet. Tguet keliatan sendiri dan masih berharap seseorang dari masa lalu ”

Semua orang menatap mereka. Tapi bukan dengan hinaan—lebih ke canggung, kagok, dan... simpatik.

Malu yang Membebaskan

Setelah sesi drama mini itu, banyak yang mendekat pelan-pelan ke mereka. Beberapa malah nggue juga pernah bohong soal kerjaan, pasangan, status sosial.

“Gue juga belum nikah.” “Gue nganggur sejak tahun lalu.” “Gue nyewa motor buat datang ke sini.”

Tiba-tiba, ruangan reuni berubah jadi ruang terapi kolektif. Dan dari semua pengakuan, Sokin dan Amel yang paling duluan jujur—jadi pusat perhatian yang paling kuat.

Di Balkon Hotel, Tanpa Beban

Sokin dan Amel berdiri di balkon, memandangi kota malam. Di belakang mereka, reuni masih berisik, tapi hati mereka tenang.

Sokin: “Kalau besok kita balik ke dunia nyata... lo masih mau ngobrol sama tukang jualan online yang suka gorengan?” Amel: “Asal lo nggak bohong lagi soal saham metaverse.”

(Sokin tertawa)

Amel: “Dan lo? Masih mau deketin perempuan yang suka pura-pura bahagia?” Sokin: “Asal lo izinkan... gue bantu bikin bahagianya beneran.”

Gengsi Turun, Cinta Muncul

Sokin dan Amel berdiri berdampingan. Bukan sebagai “mantan” atau “aktor reuni”.

Tapi sebagai dua orang yang sadar: yang bikin cinta itu hangus bukan jarak atau status... tapi kepura-puraan yang lama dibiarkan jadi dinding.

Kita masuk ke babak terakhir: Babak 5 – Resolusi: Jalan Pulang yang Baru. Di sini kita fokus pada penutupan emosional yang hangat, memberi kesan mendalam tapi tetap ringan ala komedi romantis. Kita ingin pembaca tersenyum dengan sedikit sesak—kayak habis nonton film indie yang lucu tapi nyentuh.

Sarapan Setelah Segalanya

Pagi hari setelah reuni. Restoran hotel sepi. Sokin datang duluan, pakai hoodie biasa, tanpa akting. Duduk sambil makan roti tawar dan telur rebus.

Tak lama kemudian, Amel datang. Rambut diikat santai, wajah tanpa makeup, pakai sandal hotel.

Amel: “Gue belum bayar kamar. Tapi kayaknya udah lunas dibayar malu tadi malam.” Sokin (tertawa): “Tenang. Malu dibagi dua jadi setengahnya aja.”

Mereka duduk tanpa jarak. Piring sama, gelas sama, tapi suasana jauh beda.

Bukan karena hotel. Tapi karena hati mereka sudah berani turun ke tanah—tanpa topeng, tanpa peran.

Jalan Pulang, Tapi Bukan Berpisah

Sokin menawarkan tumpangan pulang. Kali ini, pakai motor bebek—miliknya sendiri, bukan sewaan.

Amel menatap motor itu, lalu tersenyum.

Amel: “Boleh bonceng? Tapi jangan ngebut.” Sokin: “Gue udah cukup ngebut ngejar masa lalu. Sekarang pelan-pelan aja.”

Dia ambil helm cadangan, ngelap dikit (karena agak berdebu), dan Amel memakainya tanpa banyak gaya.

Mereka melaju pelan di jalanan kota pagi itu. Tak ada musik latar, hanya suara motor dan tawa kecil di tengah helm.

“Malam reuni itu, kita datang sebagai dua orang yang pura-pura menang. Tapi pulangnya, kita jadi dua orang yang kalah... dari rasa rindu. Dan mungkin... dari kekalahan itu, cinta bisa mulai.”

“Kadang, yang paling jujur justru adalah mereka yang paling takut terbuka. Tapi ketika topeng jatuh, dan gengsi ikut patah—yang tersisa adalah kita, yang sesungguhnya. Dan itu... sudah cukup.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image