Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AchSin

Zakat dapat Digunakan untuk Ekonomi Produktif

Filantropi | Monday, 15 Jul 2024, 10:01 WIB
Nana Sudiana (Dok Akademizi)

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)

Peran dan kedudukan zakat kian strategis. Selain memiliki fungsi ibadah, zakat memiliki pula fungsi sosial. Dalam perkembangannya, fungsi sosial ini tak hanya bersifat karitas tapi juga untuk kegiatan ekonomi produktif. Potensi zakat di Indonesia sangatlah besar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BAZNAS dan FEM IPB pada 2011 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi dana zakat sebesar Rp 217 triliun. Bila potensi ini bisa tergali optimal, dan dengan dana dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif, maka dampaknya cukup signifikan bagi pengurangan kemiskinan di Indonesia.

Dalam praktik pengelolaan zakat, Indonesia lebih bersifat voluntary basis, yakni zakat yang dibayarkan atas dasar kesadaran dan kesukarelaan masyarakat. Ini berbeda dengan negara seperti Pakistan, Sudan, Arab Saudi, Libia, dan Malaysia, yang bersifat obligatory basis, yaitu sistem wajib zakat.

Pelaksanaan pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan tidak hanya oleh negara tapi juga oleh unsur masyarakat. Negara membuat Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang tingkatannya sampai ke tingkat kecamatan, bahkan bisa menjangkau hingga ke kelurahan. Adapun unsur masyarakat berbentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ), hierarkinya lebih terbatas. Kelahiran UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, mendorong kelahiran sejumlah BAZ dan LAZ di Indonesia. Undang-undang tadi, yang lahir seiring momentum Reformasi, muncul dalam semangat agar lembaga pengelola zakat tampil dengan profesional, amanah, dan mandiri.

Setelah 12 tahun berjalan, lahir berikutnya UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. UU ini lahir atas semangat amandemen dan perbaikan terhadap undang- undang sebelumnya. Dampak dari perubahan regulasi ini tentu saja berimbas pada Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), baik itu BAZNAS maupun LAZ. Sejumlah 18 LAZ yang berskala Nasional, sesuai UU No. 38 Tahun 1999, harus menyesuaikan diri dengan UU No. 23 Tahun 2011 yang menjadi payung hukum terbaru dalam pengelolaan zakat.

Pada praktiknya, proses penyesuaian diri terhadap regulasi ini berbeda-beda, baik dari sisi waktu maupun adaptasi bentuk lembaga. Waktu yang diberikan pemerintah agar BAZNAS maupun LAZ yang ada dapat menyesuaikan diri sebenarnya cukup panjang, yakni selama lima tahun sejak diundangkan pada November 2011. Namun, dalam kenyataannya, sampai akhir April 2016, Kementerian Agama baru mengesahkan empat LAZ tingkat nasional (LAZNAS), yaitu Inisiatif Zakat Indonesia (IZI), Rumah Zakat, Nurul Hayat, dan Baitulmall Hidayatullah (BMH).

Di antara ke-empat LAZNAS yang disahkan pemerintah ini, ada fenomena yang unik. Kalau Rumah Zakat, BMH, dan Nurul Hayat, ketiganya menyesuaikan diri dengan regulasi terbaru ini dengan berusaha memenuhi semua persyaratan dan ketentuan UU dan turunannya (PP No. 14 Tahun 2014 dan KMA No. 333/2015 tentang Pedoman Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat), maka langkah PKPU justru berbeda, PKPU, yang selama ini sesuai dengan UU sebelumnya telah menjadi LAZNAS. mengambil keputusan secara organisasi untuk berhenti mengikuti undang-undang berikut regulasi turunannya yang terkait dengan zakat. PKPU justru memilih melakukan spin off dengan membentuk lembaga baru yang bernama Inisiatif Zakat Indonesia (IZI). IZI inilah yang menjadi masa depan pengelolaan zakat PKPU. Saat yang sama, PKPU akan meneruskan seluruh legalitas dan peran lembaga dalam ranah kemanusiaan.

Sebagai langkah eksperimen, apa yang ditempuh oleh PKPU tersebut jelas high risk. Apalagi bila ditinjau dari perspektif manajemen risiko, jelas risiko serius dimiliki oleh IZI dalam melakukan penyesuaian diri dengan regulasi terbaru pengelolaan zakat.

Dalam dunia perbankan dikenal apa yang dinamakan manajemen risiko. Ada delapan risiko utama yang dihadapi oleh bank, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategis, dan risiko kepatuhan. Tentu saja tidak semua risiko dalam perbankan ini relevan dengan zakat.

Berdasarkan hasil International Working Group on Zakat Core Principles (iWGZCP), disepakati bahwa identifikasi risiko dalam pengelolaan zakat merupakan hal yang sangat penting karena akan mempengaruhi kualitas pengelolaan zakat. Ada empat jenis risiko yang telah teridentifikasi sehingga dunia perzakatan harus memiliki konsep yang jelas dalam memitigasi risiko-risiko tersebut. Pertama, risiko reputasi dan kehilangan muzaki; kedua, risiko penyaluran; ketiga, risiko operasional; dan keempat risiko transfer antar-negara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image