Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Tradisi Kenduri, Masih Relevankah?

Kultura | Monday, 29 Jan 2024, 16:32 WIB

TRADISI KENDURI, MASIH RELEVANKAH?

“Bangun Le, bangun!” seru ibuku sembari menggoyang-goyangkan kaki kananku penuh semangat.

Aku bergegas bangkit menuju meja di ruang tamu yang diterangi lampu minyak tanah. Empat saudaraku sudah lebih dulu berada di sana. Bapakku terlihat sedang membuka berkat[1] yang dibungkus daun pisang dilapisi daun jati. Ketika bungkusan itu terbuka, mataku berbinar-binar melihat secuil daging kecil (kira-kira sebesar jari telunjuk).

Ibuku datang menghampiri, membawa beberapa piring gembreng[2]. Lalu ia meraih secuil daging ayam tadi dan membelahnya menjadi lima bagian (kami 5 bersaudara). Terakhir kali, ibuku membagi nasi ke dalam lima piring serta menaruh sesuir daging.

Kami pun makan dengan lahap dan penuh semangat, sampai habis tiada yang tersisa. Terasa nikmat sekali. Merasa senang karena telah makan sesuir daging (catatan: waktu itu kami bisa makan daging hanya kalau ada kenduri atau hari raya saja).

Saya awali tulisan ini dengan apa itu kenduri, di Jawa lebih populer dengan sebutan kenduren. Kenduri adalah acara selamatan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan Tuhan. Ada kenduri yang murni merupakan tradisi Jawa, ada pula kenduri yang merupakan hasil dari asimilasi dan atau akulturasi budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam.

Kenduri biasanya diadakan terkait dengan hajat seperti kelahiran atau kematian, pernikahan, khitanan, pesta panen, membangun rumah, hari ulang tahun, hari raya, peringatan hari-hari besar Islam, dan lain-lain. Tradisi kenduri masih sangat kental dilakukan terutama oleh kaum Nahdliyyin.

Sarana Guyup-Rukun dan Sedekah

Di era sebelum tahun 2000 atau era sebelum adanya telepon genggam, acara kenduri memiliki beberapa manfaat. Sebagai sarana silaturrahmi antarkeluarga dan sanak-saudara serta tetangga sekitar. Forum untuk berkumpul, ngobrol, dan bersantai. Tak jarang, usai kenduri sebagian dari mereka tidak langsung, tapi tetap tinggal bahkan hingga menjelang pagi (Jawa: lek-lekan). Ada yang bermain kartu, catur, atau menonton televisi jika tuan rumah sudah memilikinya.

Selain itu, kenduri juga sebagai sarana sedekah. Maklum, pada waktu itu untuk urusan makan sebagian besar warga masih banyak yang kekurangan, belum bisa memenuhi kebutuhan pokok itu secara layak. Saat musim kemarau, kami tidak makan nasi, diganti dengan makan nasi thiwul[3]. Maka, ketika ada kenduri adalah kesempatan untuk bisa makan sedikit lebih banyak dan lebih enak. Apalagi kalau tuan rumah termasuk orang yang berada.

Pada intinya, bersedekah lewat kenduri pada masa itu sangatlah bermanfaat.

Di sisi lain, pada dasarnya orang Jawa memang senang berkumpul dan mengadakan banyak acara.

sumber gambar https://gunungapipurba.com

Kini, Kondisinya Berbeda

Menurut saya pribadi, kenduri sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi saat ini. Bukan berarti tradisi kenduri harus dihilangkan. Tidak. Hanya konsep atau formatnya saja yang mesti dirubah, disesuaikan dengan dinamika zaman.

Kalau kita perhatikan, secara umum kondisi sosial-ekonomi masyarakat kita sudah meningkat. Mayoritas penduduk Indonesia sudah mampu kebutuhan primer mereka secara baik dan layak. Bahkan, sebagian telah naik peringkat dari kelas bawah menjadi kelas menengah, sehingga sudah mampu membeli makan di warung makan atau restoran.

Saya pribadi, kalau dapat nasi kenduri sering tidak termakan. Di rumah, anak-isteri sudah makan dan terkadang sudah tidur. Besok paginya biasanya nasi sudah agak basi dan dikasih ke ayam. Daging ayam pun tidak termakan karena sudah sangat sering memakannya, apalagi di usia saya yang mulai senja, sengaja mengurangi makan daging. Ujung-ujungnya dikasih ke kucing peliharaan.

Saya pernah mengutarakan ide, bagaimana jika nasi kenduri diganti dengan bahan mentah saja. Sebagian besar menolak dengan alasan kalau diganti bahan mentah, modalnya bertambah besar. Pemberiannya harus banyak dan lengkap. Padahal tidak harus begitu. Misal, dua macam barang, minyak goreng dan mie instan juga bisa.

Atau ide lain, misalnya kenduri tidak usah pakai makan di tempat, cukup disuguhi snack saja. Ini pun ditolak dengan alasan kalau tidak pakai makan, rasanya kurang lengkap katanya.

Faktor lain adalah efisiensi waktu. Orang sekarang kebanyakan sibuk, entah itu sibuk bekerja atau punya acara masing-masing. Biar pun hidup di desa, sekarang menemui tetangga itu susah, sering tidak ada di rumah.

Lha kalau terlalu banyak acara kenduri, terkadang juga merepotkan. Di tempat saya, sering acara kenduri dalam semalam 2-3 tempat. Itu di luar acara yang sifatnya rutin. Bahkan, kalau ada orang meninggal, kita diundang selama 7 malam berturut-turut. Inginnya beristirahat karena lelah bekerja, tapi demi kerukunan, ya mau tidak mau berangkat.

Selain efisiensi waktu, juga efisiensi biaya. Jujur, orang mengadakan kenduri itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bagi yang mampu sih tidak menjadi masalah. Bagi mereka yang sedang kesulitan ekonomi, tak jarang mereka harus berhutang. Kan kasihan sekali. Padahal kalau dilogika, kenduri itu identik dengan sedekah. Substansi sedekah adalah memberi sesuatu kepada orang lain sesuai kemampuan dan tanpa memaksakan diri.

Tak Mudah Merubah Mindset

Segala sesuatu yang sudah menjadi tradisi turun-temurun memang tidak mudah untuk dirubah. Sudah berurat-akar, mendarah daging. Apalagi bagi mereka yang memiliki basic pola pikir yang kaku dan kolot. Mereka akan menentang dengan sangat keras segala bentuk perubahan. Mereka tidak bisa membaca perubahan dan perkembangan zaman.

Termasuk pula merubah mindset dalam memahami ajaran agama. Mereka menganggap bahwa kenduri adalah bersedekah. Namun, mereka belum memahami hakikat sedekah itu sendiri. Juga hakikat tradisi itu sendiri. Mereka menganggap bahwa tradisi identik dengan “wajib” sesuatu yang mesti dikerjakan dan harus sama dengan yang dikerjakan orang lain. Padahal, yang namanya tradisi jika itu baik dan bermanfaat, mari tetap dipertankan dan dilestarikan. Tapi jika tradisi itu memberatkan dan tak lagi efisien, kita mestinya rela untuk meninggalkannya.

Beragama itu mudah, mengapa harus dipersulit,

Hidup itu ringan, mengapa harus diperberat.

Note:

Saya sampai menitikkan air mata ketika menulis paragraf pertama, teringat masa di era 80-an.

[1] Berasal dari bahasa Arab “barakah” berupa nasi lengkap dengan lauk-pauk.

[2] Terbuat dari bahan alumunium, lama-lama bisa mengelupas atau berlubang.

[3] Terbuat dari bahan tepung singkong.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image