Meluruskan Persepsi Bahwa Pesantren Bukanlah Tempat Laundry
Sekolah | 2023-12-20 15:55:51Moms, sekarang ini sudah mau memasuki semester dua yang dimana semester depan anak-anak akan naik kelas. Sehingga, pendaftaran sekolah sudah banyak yang sudah buka mulai saat ini. Nah, bagi orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke pondok pesantren bisa mulai mencari-cari dari sekarang mana pesantren yang sesuai dengan kemauan anak dan disetujui juga oleh orang tua.
Banyak orang tua yang berfikiran bahwa memasukkan anak ke pesantren adalah jalan terbaik dalam mendidik anak, apalagi ketika anak selalu membantah apa yang orang tuanya katakan. Maka dari itu terbitlah pemikiran “Anak nakal yang dimasukkan ke dalam pesantren ketika sudah lulus akan memiliki karakter yang baik” pemikiran tersebut sama halnya dengan “Baju kotor yang dimasukkan kedalam laundry-an setelahnya akan menjadi bersih”.
Percaya atau tidak, pada dasarnya baik dan nakalnya seorang anak merupakan hasil dari apa yang orangtuanya ajarkan kepada mereka dan juga merupakan kesadaran yang ada pada diri anak tersebut. Maka, Berikut ini merupakan pertimbangan yang harus diputuskan ketika ingin memasukkan anak ke pondok pesantren:
1. Pastikan anak bersedia
Memilih sekolah untuk anak tentu bukan hal yang mudah, maka dalam menentukan sekolah kita harus cermat dalam memilihnya. Apakah sekolah itu memberikan suasana yang aman, nyaman dan inklusif bagi anak? Seperti yang dikatakan oleh Moh. Safrudin, Dosen Institut Agama Islam Negeri Kendari mengemukakan bahwa hindari menyekolahkan anak ke pondok pesantren dengan paksaan atau bahkan dengan ancaman.
Maka, jika ingin memasukkan anak ke pondok pesantren utamakan berdiskusi dengan sang anak dan pastikan mereka setuju dengan keputusan yang telah ditetapkan.
2. Stop mengekang anak sampai mereka merasa tertekan
Orang tua adalah tempat seorang anak untuk berbagi cerita serta bertukar pendapat. Sehingga miris sekali ketika ada anak yang merasa takut kepada orang tuanya sendiri. karna apa? Karna tak jarang orang tua selalu membatasi anak-anaknya, yang sehingga kata “membatasi” itu berubah menjadi mengekang.
Tentunya, karna rasa sayang yang berlebihan akan mejadikan anak memiliki keterbatasan ruang aktivitas yang membuat anak berfikir bahwa orang tuanya tidak percaya lagi padanya dan hal ini sungguh berbahaya bagi kelangsungan aktivitas pada saat ini dan masa mendatang. Ciri-ciri orang tua yang mengekang anaknya menurut Nancy Darling, Ph.D, professor psikologi 2018 bahwa orang tua yang terlalu mengekang anak cenderung memiliki terlalu banyak aturan dan aturan tersebut bersifat mengikat serta wajib dilakukan. Jika tidak maka akan terkena hukuman dari orang tua.
3. Memperbaiki Niat
Pastinya, memperbaiki niat adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh para orang tua ketika ingin memasukkan anaknya kedalam pondok pesantren. Hal ini memang sering terjadi karena terkadang ada orang yang memandang pesantren itu sebagai tempat menitipkan anak yang sukar diatur, alias anak-anak nakal. Maka pemikiran tersebut dapat diperbaiki dengan Pesantren adalah suatu tempat untuk belajar ilmu agama (Riswandi, 2016)
Terakhir, pertimbangkan baik dan buruknya bersama ketika hal tersebut akan menjadi pilihan untuk masa depan. Kita sebagai orang tua tidak boleh terlalu mematok semua yang kita pilih dan kita mau pada anak, kita juga harus mengerti apa yang sang anak mau. Pada hakikatnya, minat, bakat, bahkan kegemaran juga pilihan anak pasti memiliki perbedaan dengan orang tuanya. Lebih baik diskusikan pada anak terlebih dahulu apakah keinginan anak selaras atau tidak dengan yang orang tuanya mau. Karna ketika sesuatu dipaksakan hal itu akan menjadi sia-sia bagi masa depan sang anak, dan akan terasa menyakitkan bagi orang tua ketika tidak bisa melihat anaknya bahagia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.