Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Umar Alief Alfaruq

Konsep Al Qardh Dalam Pandangan Fiqh Muamalah

Agama | Wednesday, 06 Dec 2023, 12:04 WIB

Definisi

Sumber : Pixabay

Qardh berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara etimologi, qardh bermakna qatha‟a (memotong) Dinamakan tersebut karena uang yang diambil oleh orang yang meminjamkan memotong sebagian hartanya. Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qardh) dinamakan qarad, sebab merupakan potongan dari harta muqrid (pemilik barang). Qiradh merupakan kata benda (masdar). Kata qiradh memiliki arti bahasa yang sama dengan qardh. Qiradh juga berarti kebaikan dan atau keburukan yang kita pinjamkan. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada muqtaridh yang membutuhkan dana dan/atau uang.

Definisi al-qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah “Sesuatu yang diberikan dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.” Sementara definisi qardh menurut ulama Malikiyah adalah “suatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh (imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.” Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah, “qardh mempunyai pengertian yang sama dengan dengan term as-Salaf, yakni akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan”.

Landasan Hukum

a. Al-Qur’an

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”(Q.S. Al-Baqarah: 245)

b. Hadist

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.

“Barangsiapa menghilangkan suatu kesusahan dari seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya kesusahan dari kesusahan-kesusahan akhirat. Dan barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang mu’sir (kesulitan membayar hutang), niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.”

c. Ijma

Para ulama menyatakan bahwa Qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang berutang) kesepakatan ulama ini didasari kebiasaan manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

Rukun Al Qardh

1. Shighat Qardh

Shighat terdiri dari ijab dan qabul. Redaksi ijab misalnya seperti, “Aku memberimu pinjaman,” “Aku mengutangimu,” “Ambilah barang ini dengan ganti barang yang sejenis,” atau “Aku berikan barang ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya.” Menurut pendapat yang ashah, disyaratkan ada pernyataan resmi tentang penerimaan pinjaman, seperti jenis transaksi lainnya.

2. Para Pihak yang Terlibat Qardh

Pemberi pinjaman hanya disyaratkan satu hal yakni cakap mendermakan harta, sebab akad utang piutang mengandung unsur kesunahan. Sedangkan peminjam hanya disyaratkan cakap bermuamalah. Jadi hanya orang yang boleh bertransaksi saja yang akad utang piutangnya dihukumi sah, seperti halnya jual beli.

3. Barang yang Dipinjamkan

Barang yang dipinjamkan disyaratkan harus dapat diserahterimakan dan dapat dijadikan barang pesanan (muslam fih), yaitu berupa barang yang mempunyai nilai ekonomis (boleh dimanfaatkan menurut syara’) dan karakteristiknya diketahui karena ia layak sebagai pesanan.

Syarat – syarat Al Qardh

1. Akad qardh dilakukan dengan shigah ijab qabul atau bentuk lain yang bisa menggantikannya, seperti cara mu’athah (melakukan akad tanpa ijab qabul) dalam pandangan jumhur, meskipun menurut Syafi‟iyah cara mu’athah tidaklah cukup sebagaimana dalam akad-akad lainnya.

2. Adanya kapibilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi maupun penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa, berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru’ (berderma). Karena qardh adalah bentuk akad tabarru. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang dibatasi tindakannya dalam membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan seorang wali yang tidak sangat terpaksa atau ada kebutuhan. Hal itu karena mereka semua bukanlah orang yang dibolehkan melakukan akad tabarru’ (berderma).

3. Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli. Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang, biji-bijian, dan harta qimiy seperti hewan, barang tak bergerak dan lainnya.

4. Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran, timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan. Dan dari jenis yang belum tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang bercampur dengan jelai karena sukar mengembalikan gantinya.

Adapun syarat yang fasid (rusak) diantaranya adalah syarat tambahan atau hadiah bagi si pemberi pinjaman. Syarat ini dianggap batal namun tidak merusak akad apabila tidak terdapat kepentingan siapa pun. Seperti syarat pengembalian barang cacat sebagai ganti yang sempurna atau yang jelek sebagai ganti yang bagus atau syarat memberikan pinjaman kepada orang lain.

1. Harta yang Harus Dikembalikan Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan mengembalikan harta semisal dalam bentuknya (dalam pandangan ulama selain Hanafiyah) bilan pinjamannya adalah harta qimiy, seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam.

2. Waktu Pengembalian Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.

Sumber : Pixabay

Tambahan Dalam Al Qardh

Ada dua macam penambahan pada qardh (utang-piutang), yaitu sebagaimana berikut ini:

a. Penambahan yang disyaratkan. Demikian ini dilarang berdasarkan ijma‟. Begitu juga manfaat yang disyaratkan, seperti perkataan: “Aku memberi utang kepadamu dengan syarat kamu memberi hak kepadaku untuk menempati rumahmu,” atau syarat manfaat lainnya. Demikian ini termasuk rekayasa terhadap riba.

b. Jika penambahan diberikan ketika membayar utang tanpa syarat, maka yang demikian ini boleh dan termasuk pembayaran yang baik berdasarkan hadits yang telah dikemukakan di pasal dasar al-qardh (utang-piutang).

Penaguhan Dalam Akad Al Qardh

1. Wasiat, yaitu apabila seseorang berwasiat untuk meminjamkan hartanya pada orang lain sampai waktu tertentu, satu tahun misalnya. Maka dalam kondisi ini, ahli waris tidak boleh menagih peminjam sebelum jatuh tempo.

2. Adanya penyangsian, yaitu tatkala akad qardh ini disangsikan, kemudian pemberi pinjaman menangguhkannya. Maka pada kondisi seperti ini, batas waktu menjadi mengikat.

3. Keputusan pengadilan, yaitu bila hakim memutuskan bahwa akad qardh (dengan batas waktu) sebagai sesuatu yang mengikat dengan didasarkan pada pendapat Malik dan Ibnu Abi Laila, maka pada kategori ketiga ini batas waktu menjadi sesuatu yang mengikat.

4. Dalam akad hiwalah (pengalihan utang), yaitu jika peminjam mengalihkan tanggungan utangnya pada pemberi pinjaman kepada pihak ketiga, lalu pemberi pinjaman menangguhkan utang itu. Atau ia mengalihkan tanggungan utangnya pada peminjam lain yang utangnya ditangguhkan. Hal itu dikarenakan akad hiwalah merupakan pengguguran tanggung jawab. Maksudnya dengan akad hiwalah ini tanggung jawab si muhil (yang mengalihkan utang) menjadi gugur dan si muhal (yang dialihkan utangnya) yang merupakan pemberi pinjaman – menjadi memiliki utang atas muhal alaih (yang menerima pindahan utang). Dengan demikian, sebenarnya akad hiwalah merupakan akad penangguhan utang bukan akad qardh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image