Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ary Prihayati

Merefleksi Nilai Adab dan Akhlak Lewat Pembelajaran Seni Budaya

Guru Menulis | 2023-11-19 14:18:44

oleh Ary Prihayati, Guru Seni Budaya

Proses kreatif dengan menggambar komik sebagai bentuk refleksi diri peserta didik (Galih Pranata)

SOLO—Acap kali, hampir saban jumatan, anak-anak yang mengikuti salat Jumat terdengar ribut. Meski katib sudah naik mimbar, adab dalam ibadah salat Jumat seakan hilang makna sakralnya.

Tentunya sudah barang kewajiban bagi lembaga pendidikan untuk menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai kebajikan kepada peserta didiknya. Umumnya di dalam lembaga pendidikan Islam, itu ditanamkan hampir setiap salat zuhur atau asar, atau lewat pelajaran-pelajaran agamanya.

Penulis yang merupakan guru seni budaya, rasanya prihatin dengan kondisi anak-anak yang masih belum mampu mengetahui kahikat dari kesakralan salat jumat. Dalam hal ini, setiap guru punya andil dan tanggung jawab, tak terkecuali juga bagi saya.

Tempo lalu, pembelajaran seni budaya membahas tentang pembuatan komik. Para siswa dipilihkan tema yang urgen. Lebih-lebih, kaitannya dengan adab dan akhlak. Namun, tidak melulu tentang salat Jumat agar pandangan mereka tidak terpetak sempit.

Waktu itu, kelas XI-9 yang jadi objek dari bahan tulisan ini. Menariknya, terdapat satu komik yang dirancang dengan tema adab dan akhlak saat Salat Jumat. Komik itu milik Rangga dan kawan-kawannya.

Berangkat dari teori refleksi, Creek (2007) menyebut bahwa refleksi adalah proses intuitif yang memungkinkan pemahaman diri kita sendiri dalam konteks praktik. Melalui praktik menggambar dalam pembelajaran Seni Budaya, siswa diajak untuk membangun pemahaman diri dari proses intuitif yang menghasilkan refleksi diri.

Rangga dan kawan-kawannya menuang ide tentang “Diam saat khutbah Jum’at.” Gagasan ini terilhami dari keresahan kelompoknya tentang fenomena yang mereka jumpai saat ibadah Salat Jumat di masjid sekolah beserta para siswa lainnya.

Sebagaimana teori lain yang dikemukakan Mirian Calvo dalam penelitian PhD-nya berjudul 'Reflective drawing': Drawing as a tool for reflection in design research (2016), yang menyebut bahwa dalam memahami proses refleksi memerlukan pemahaman tentang penggunaan gambar.

Sebelum menuang gagasan dalam praktik penggoresan pensil di atas kanvas, saya mengarahkan anak-anak untuk mengetahui kegunaan gambar mereka nantinya. Menggambar untuk refleksi adalah gambar-gambar yang bertenaga, berisi pesan yang kuat dan tujuan yang pasti. Itulah yang dilakukan Rangga dan kelompoknya.

Tidak semua orang bisa membuahkan hasil seni yang memiliki nilai estetika tinggi, tapi saya yakin, setiap orang punya intuisi dan rasa refleksi kepada dirinya sendiri, dan mempersuasinya kepada orang lain. Yang utama dalam hal ini: gambaran mereka dapat terbaca dan merefleksi diri dan orang lain.

Hanya bermodal kertas putih berukuran A3, Rangga dan kelompoknya telah menyiapkan pensil warna Faber Castle. Mulai dari membuat storyline, saya sudah membaca gagasan yang sederhana, tapi bermakna.

Kisahnya tentang dua anak kecil yang sedang proses belajar Salat Jumat, dengan menahan diri untuk tidak mengobrol di masjid saat ibadah Jumat sedang berlangsung. Kemudian, hal itu menjadi perhatian seorang laki-laki yang digambarkan orang asing, tapi mengapresiasi kedua anak itu yang tidak mengobrol selama Salat Jumat.

Setelahnya, penggambaran mulai dilakukan. Pola Justakposisi digambarkan secara rempag dan rapi. Gambarannya juga memiliki karakter yang cukup kuat. Dengan begini, saya yakin mereka mulai merefleksi diri dengan proyek penggambaran komik ini.

Selanjutnya, mereka mempresentasikan hasil karyanya kepada teman-teman lainnya di depan kelas. Empat kolom justakposisi yang ditampilkan mengundang semiotika bagi yang melihatnya.

Pesan yang disampaikan dari gambar maupun sajian presentasi, adalah bagian dari praktik baik saya sebagai guru untuk mempersuasi para siswa dan mengajak mereka merefleksi hal yang sederhana, menjadi sesuatu yang bermakna. Lewat pelajaran Seni Budaya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image