Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diki Yakub Subagja

Pemilu 2024, Mungkinkah Tanpa Politik Uang?

Politik | Thursday, 02 Nov 2023, 03:18 WIB
Ilustrasi Kampanye Tolak Politik Uang

"Siapa yang buta politik akan dimakan politik" ~Maksim Politik

Fenomena politik uang (money politics) selalu menjadi penyakit serius dalam proses demokrasi dan pemilu di indonesia. Fenomena ini sering terjadi dalam setiap pemilu bahkan diluar pemilu karena ditimbulkan oleh banyak faktor. Dalam struktur sosial masyarakat, faktor lemahnya tingkat edukasi dan penegakan legalisasi bahaya politik uang sampai faktor kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi turut menjadi penyebab politik uang ini terus terjadi.

Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Seperti yang dikutip oleh Indra Ismawan kalau kasus money politic bisa dibuktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan (Indrayana, 2016).

Jika kita tinjau dari pemilu sebelumnya pada tahun 2019, berdasarkan hasil pelanggaran Pemilu Tahun 2019 (Bawaslu, 2019) menyatakan bahwa terdapat 6.649 temuan yang telah diregistrasi, 548 pelanggaran pidana dan 107 pelanggaran kode etik, pelanggaran pidana tertinggi adalah politik uang (Delmana, 2020).

Bahkan, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 mencapai angka 19,4% hingga angka 33,1%. Sehingga, menurut studi yang dilakukan oleh The Latin American Public Opinion Project (LAPOP) Americas Barometer, Afrobarometer, Money Politics Project di Asia Tenggara negara indonesia saat ini berada pada posisi ketiga dunia dalam praktik politik uang. Dengan demikian, praktik politik uang merupakan budaya normal baru dalam pemilihan umum di indonesia.

Banyak tokoh yang memprediksi bahwa praktik politik uang sangat sulit di hindari, sebagaimana ungkapan dari (Menkopolhukam RI sekaligus Kandidat Cawapres 2024) Mahfud MD, politik uang sulit dihindari karena pendapatan rakyat Indonesia masih kecil. Hal itu senada dengan pendapat Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata pada Konferensi Pers Kinerja KPK Semester I 2023, Gedung Juang KPK, Jakarta (14/8/2023). Ia menyebutkan bahwa 50 persen masyarakat kita itu masih belum sejahtera dan 50 persen lebih itu juga tingkat pendidikannya belum baik. Mantan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) itu juga menyebut politik uang sebagai salah satu akar korupsi di Tanah Air. Pasalnya, uang yang digunakan dalam praktik tersebut adalah uang hasil korupsi.

Praktik politik uang di Indonesia memang bisa dibilang sudah sangat akut. Salah satu contoh nyatanya terjadi banyak pasangan calon yang hendak mencalonkan diri pada Pemilu mendekati masyarakat setempat dengan berbagai tawaran yang cukup menarik. Ada yang menawarkan diri dengan membiayai pembangunan infrastruktur kampung seperti irigasi, ada pula yang menawarkan sejumlah uang atau barang-barang sesuai permintaan masyarakat setempat untuk ditukar dengan suara pilihan masyarakat kepada mereka.

Pemberian hadiah juga disinyalir karena memang keadaan masyarakat setempat yang berada di garis kemiskinan membuat “strategi” politik uang ini dianggap strategi paling berpengaruh dalam proses pemilihan. Sebagaimana kita ketahui, angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.

Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Politik uang pun menjadi ajang para masyarakat untuk berebut uang.

Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima yaitu, tindakan suap dan jual beli suara yang jelas melanggar hukum. Yang terpenting adalah mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hal lain yang disinyalir dapat meningkatkan kegiatan politik uang adalah pengetahuan masyarakat terhadap politik khususnya regulasi pemilu yang minim. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik.

Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah ataupun masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. Sehingga ketika ada pesta politik, seperti pemilu, masyarakat tersebut akan bersikap acuh dengan pemilu.

Masyarakat yang acuh dengan pemilu dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu. Politik uang pun dianggap tidak masalah bagi mereka. Mereka tidak akan berpikir jauh kedepan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan 'ditarik' kembali oleh para calon kandidat yang nantinya terpilih.

Mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri. Walau pada kenyataannya banyak masyarakat yang mengatakan paham bahwa pemberian uang/sembako/cinderamata dari paslon merupakan pelanggaran undang-undang namun mereka rata-rata tidak mengetahui jika pemberi dan penerima akan diancam pidana.

Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat. Budaya masyarakat dan lemahnya ekonomi masyarakat maka banyak masyarakat yang ingin mengambil uang atau materi dari calon pasangan yang melakukan politik uang bukannya melaporkan tindakan tersebut, tapi budaya yang hidup di masyarakat malah dianggap sebagai rejeki musiman. Inilah yang menjadi salah satu faktor penghambatnya.

Karena banyaknya masyarakat yang mengambil uang atau materi dari calon pasangan yang melakukan politik uang, maka hal ini juga yang membuat semakin banyak pasangan calon yang melakukan politik uang.

"Saling memberi dan jika mendapat rejeki, tidak boleh ditolak."

Begitulah ungkapan yang nampaknya telah melekat dalam diri bangsa Indonesia. Uang dan segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap sebagai rejeki bagi masyarakat yang tidak boleh ditolak. Dan karena sudah diberi, secara otomatis masyarakat harus memberi sesuatu pula untuk peserta pemilu, yaitu dengan memilih, menjadi tim sukses, bahkan ikut menyukseskan politik uang demi memenangkan peserta pemilu tersebut. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai ungkapan terimakasih dan rasa balas budi masyarakat terhadap si pemberi yang memberi uang. (Titik Triwulan Tutik, 2010)

Meskipun praktik politik uang ada di mana-mana, parahnya tidak ada yang akhirnya dibawa ke pengadilan, dan ini mengirimkan pesan yang jelas untuk menyemangati para politisi yang korup (Istiqomah, 2020). Apalagi di era kepemimpinan Joko Widodo, tidak adanya progres dalam perbaikan sistem hukum selama tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa pemerintah tidak melihat isu negara hukum sebagai sebuah kebijakan prioritas (Susana Rita, Kompas, 2022).

Menurut World Justice Project 2022, Indeks Negara Hukum Indonesia mendapatkan skor 0,53 menempati peringkat ke-64 dari 140 negara di tingkat global dan menempati peringkat ke-9 dari 15 negara di tingkat regional. Alicia Evangelides selaku Co-Director dari Rule of Law Index World Justice Project, menyebutkan bahwa penurunan Indeks Negara Hukum tersebut menjadi tren yang terus terjadi di 64 persen negara sejak tahun 2015.

Hal ini, menurut dia, sebagian besar didorong oleh kecenderungan pemerintahan yang otoriter, termasuk melemahnya sistem check and balances, akuntabilitas yang melemah, dan adanya erosi terhadap hak-hak fundamental. Hasil dari indeks tersebut di khawatirkan akan menyebabkan kerentanan sistem hukum, terutama dalam aspek politik uang, korupsi dan peradilan serta berpotensi mencederai pesta demokrasi tahun 2024.

Rekomendasi Upaya Penanganan Politik Uang

Penanganan politik uang dapat dimulai dengan menghilangkan akar permasalahannya, penyebab terjadinya politik uang dan kondisi yang membuat berkembang pesatnya praktik politik uang dan strategi teknis untuk menyelesaikannya. Faktor utama penyebab timbulnya politik uang dapat dilihat dari berbagai aspek, baik dari segi demografis dan sosial ekonomi, perilaku memilih, politik klientalisme, moneter dan sistem pemilu. (Junaedi, Ramadhanil, & dan Firmansyah, 2015)

Selain penegakan aturan yang menjadi dasar hukum praktik suap pemilu itu, karena aturan main demokrasi yang sudah ada saat ini mempersempit peluang terjadinya praktik politik uang, maka dari itu langkah pertama yang harus dilakukan untuk pemilu mendatang adalah penegakan aturannya harus dimaksimalkan, Kunci kedua strategi pencegahan praktik politik uang pemilu serentak tahun 2024 adalah pengetahuan dan kemampuan pengawas pemilu juga harus dikuatkan. Dengan demikian, pencegahan dan penegakan hukum terhadap politik uang berjalan optimal. Penegakan sejumlah UU terkait dan peningkatan pengetahuan dan kemampuan melaksanakan regulasi pengawasan pemilu, menjadi kunci dalam mencegah politik uang sekaligus memperkuat kinerja pengawas. Strategi ketiga adalah, Bawaslu harus memperkuat upaya pencegahan terjadinya politik uang, salah satunya melalui kampanye dan sosialisasi yang kuat tentang bahaya pelanggaran politik uang, tidak saja memperkuat kesadaran masyarakat soal sanksi hukumnya, namun dampaknya yang bisa menggerus kualitas demokrasi dan legitimasi kontestasi pemilu. Selain money politik, modus operasi yang kerap terjadi dalam politik uang harus di waspadai oleh masyarakat. (Khoiril Padilah, Irwansyah Irwansyah : 2023)

Tentunya potensi praktik politik uang bukan hanya di persempit oleh beberapa langkah seperti edukasi pemilu, penegakan regulasi tentang larangan politik uang dan penguatan lembaga pengawasan pemilu (Bawaslu). Harusnya, segala celah yang berpotensi menimbulkan praktik politik uang itu ditutup sepenuhnya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

Pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu harus membuat formulasi pola recruitment peserta pemilu, prosedur dan regulasi penyelenggaraan pemilu dengan sangat ketat. Beberapa pengaruh dari upaya yang dilakukan KPU tentu akan sangat signifikan terhadap hasil dan manfaat yang akan dirasakan oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, melahirkan inovasi-inovasi baru terkait penyelenggaraan pemilu yang lebih efektif dan relevan harus terus dilakukan oleh KPU untuk mewujudkan Pemilu yang lebih berintegritas dan kualitas demokrasi yang lebih ideal.

Kedua, Partai Politik dan Individu yang akan menjadi peserta pemilu harus menanamkan mindset dan etika untuk mengabdi. Jadi mindset yang ditanamkan sejak dini untuk dipakai nanti setelah terpilih menjadi pejabat negara bukan untuk menjadi pekerja, melainkan melahirkan sosok yang bermotivasi untuk menjadi seorang pejuang dan pengabdi untuk kemajuan bangsa dan negara. Upaya ini tentu tidak akan berjalan dengan baik tanpa ditunjang dengan regulasi dan partisipasi yang terintegrasi secara optimal dengan berbagai pihak. Oleh karena itu, suatu harmonisasi antara regulasi dengan berbagai instansi dan kondisi harus berjalan secara sistematis dengan baik.

Dengan melakukan beberapa pembaharuan dan perbaikan dari berbagai sektor kunci untuk memperkuat kualitas pemilu dan demokrasi, diharapkan menjadi langkah solutif untuk menutup celah yang berpotensi menyebabkan tindakan politik uang secara maksimal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image