Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desti Ritdamaya

Kepemilikan Agraria dalam Pandangan 3 Ideologi

Agama | Wednesday, 18 Oct 2023, 14:03 WIB

Kepemilikan Agraria dalam Pandangan 3 Ideologi

Oleh : Desti Ritdamaya

Praktisi Pendidikan

Tak lekang dimakan zaman, tanah sebagai aset ekonomi strategis. Tanah memiliki nilai intrinsik berupa kelangkaan dan kegunaan. Kelangkaan, karena persediannya tetap dan tak bisa diproduksi. Asetnya nihil penyusutan dengan aspek permintaan yang semakin meningkat. Kegunaannya ibarat air susu bagi bayi. Karena kebutuhan sandang, pangan dan papan manusia tergantung pada tanah, sehingga selalu berharga dari waktu ke waktu.

Keberhargaan tanah inilah yang tak dipungkiri menyebabkan manusia cenderung untuk memiliki bahkan menguasainya. Cara manusia untuk memiliki tanah sangat dipengaruhi oleh arah pandang sistem kehidupannya (ideologi). Secara umum, terdapat 3 ideologi yang mendominasi kehidupan manusia saat ini yaitu kapitalisme, sosialisme/komunisme dan Islam. Perlu kiranya mengkaji pandangan setiap ideologi tersebut terkait kepemilikan tanah. Karena berefek luas pada aturan dan penerapan sendi-sendi kehidupan ekonomi manusia hari ini.

Kepemilikan Tanah selain Ideologi Islam

Ideologi sosialisme/komunisme, tak mengenal kepemilikan individu dalam alat-alat produksi. Semuanya menjadi milik bersama, termasuk tanah. Negara secara mutlak menguasai tanah dan berperan penuh dalam mengatur dan mengawasinya. Rakyat hanya sebagai pengelola tanah. Hasil pengelolaan dan keuntungannya dibagi sama rata pada rakyat. Karena negara ingin mewujudkan kemakmuran ekonomi bersama tanpa kelas.

Dengan pembatasan kepemilikan tanah seperti ini, secara alami pengembangan ekonomi akan ‘stagnan’. Karena kurangnya dorongan berinovasi dan berkreativitas untuk produktivitas tanah. Tak hanya itu, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan rakyat sangatlah tergantung pada negara. Ideologi ini diterapkan di negara-negara ‘kiri’ seperti Korea Utara, Cina, Vietnam dan Kuba.

Dalam ideologi kapitalisme, kepemilikan tanah secara mutlak hanya pada individu. Karena kapitalisme memandang setiap manusia bebas memiliki apapun selama memiliki kekuatan (modal) dan mengikuti mekanisme pasar. Ideologi ini tak mengenal konsep kepemilikan tanah umum dan negara. Negara hanya regulator dalam kepemilikan tanah. Jika negara membutuhkan tanah untuk pengurusan dan pelayanan rakyat, negara hanya dapat melakukan nasionalisasi. Yaitu mengalihfungsikan tanah dari milik individu/swasta menjadi milik negara disertai kompensasi. Secara luas ideologi ini diterapkan di negara-negara Barat termasuk negeri-negeri muslim.

Pandangan ini secara alami akan melahirkan penguasaan tanah pada pemilik modal. Keserakahan dan kesenjangan atas kepemilikan tanah oleh pemilik modal adalah keniscayaan. Realitas yang tak dapat dinafikkan dalam penerapan ideologi ini.

Di satu sisi segelintir pemilik modal memiliki tanah dalam puluhan/ratusan ribu hektar. Mereka memiliki tanah yang di dalamnya ada deposit besar dan mengandung hajat hidup orang banyak. Saking luasnya, tak mampu mengelolanya lagi, sehingga tanah tersebut dibiarkan menganggur dan tak produktif. Sebaliknya bagi yang sedikit atau tak memiliki modal, hanya bisa ‘tertatih-tatih’ atau ‘gigit jari’ dalam menikmati kepemilikan tanah. Ada yang berhutang, mengontrak bahkan terpaksa berjibaku di jalanan atau kolong jembatan.

Menjamurnya konflik agraria antara pemilik modal (investor) ‘dibekingi’ negara dengan rakyat, bukti nyata penerapan ideologi kapitalisme. Terjadi pada sektor strategis seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, properti dan sebagainya. Acapkali terjadi ‘perampasan’ tanah rakyat dengan dalih rakyat tak memiliki sertifikat. Tapi anehnya investor notebene swasta atau asing dengan mudahnya mendapat penerbitan sertifikat. Nestapanya lagi kompensasi tanah untuk rakyat tak manusiawi. Jelas negara memberikan karpet merah bagi investor untuk ‘menjajah’ ekonomi rakyat.

Dapat dipahami bahwa pandangan ideologi sosialisme/komunisme dan kapitalisme dalam kepemilikan tanah tak berkeadilan dan menyengsarakan. Hal yang wajar karena ideologi ini datang dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Jelas, muslim tak layak mengadopsi ideologi tersebut.

Keadilan Ideologi Islam Mengatur Kepemilikan Tanah

Ideologi Islam memandang bahwa pemilik hakiki tanah (Allah SWT) memberikan kuasa pada manusia untuk mengelola tanah sesuai syari’atNya. Islam mengatur cara kepemilikan tanah dan pengembangannya serta tak membatasi kuantitasnya asal sesuai syari’at. Kepemilikan tanah dalam Islam ada 3 yaitu individu, umum dan negara. Kepemilikan tanah sah diperoleh individu melalui jual beli, waris, hibah (pemberian), ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat pagar pada tanah mati) dan iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). Kepemilikan tanah melalui cara jual beli, waris dan hibah, umumnya kaum muslim mengetahuinya dan sering mengamalkannya dalam kehidupan. Selain cara itu, dalam kondisi syari’at tak diterapkan secara kaffah seperti sekarang, diakui mayoritas muslim masih asing. Padahal tercantum dalam sabda Rasulullah SAW yang mulia :

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Artinya : Barang siapa yang menghidupkan tanah mati maka tanah tesebut adalah miliknya (HR.Bukhari)

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ , فَهِيَ لَهُ

Artinya : Barangsiapa yang memagari sebidang tanah, maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Ahmad)

Iqtha’ dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat menjadi kepala negara di Madinah. Beliau SAW memberikan tanah pada Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Zubair bin Awwam.

Tanah milik umum meliputi padang yang mengandung berbagai SDA, depositnya seperti air mengalir dan dibutuhkan orang banyak. Sesuai hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad.

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Artinya : Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api

Tanah milik negara diperoleh melalui beberapa cara. Yaitu jual beli; menghidupkan tanah mati; mengambil tanah yang tak ada pemiliknya dalam teritorial; tanah penaklukan (futuhat) dengan peperangan; tanah penaklukan tanpa peperangan dengan perjanjian tanahnya menjadi milik kaum muslim.

Setiap kepemilikan tanah dikelola dan dikembangkan dengan cara halal. Hasilnya diserahkan juga pada setiap pemilik untuk memanfaatkannya sesuai syari’at. Pun kepemilikan tanah dapat dialihfungsikan sesuai syari’at. Pengalihan tanah individu ke negara, melalui jual beli yang saling ridha sehingga ada keberkahan. Pengalihan tanah individu ke umum dapat melalui hibah atau wakaf dengan motivasi meraih amal jariyah.

Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Artinya : Sesungguhnya jual beli hanyalah dilakukan dengan saling ridha (HR. Ibnu Majah).

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya : Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh (HR. Muslim).

Tanah umum dapat dikelola oleh negara jika kepala negara memandang di dalamnya ada kemashlahatan umum dan tak menimbulkan kemudharatan. Rasulullah SAW pernah menghima (proteksi) tanah Naqi’ untuk minum kuda-kuda milik kaum muslim. Pun khalifah Umar Bin Khattab menetapkan hima al Syaraf dan hima al Rabdah. Hal tersebut sesuai hadits Rasulullah SAW :

لاَ حِمَى إِلاَّ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ

Artinya : Tidak ada hima’ kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya (HR. Abu Dawud)

Pun sama tanah negara dapat diberikan pada individu (iqtha’). Iqtha’ untuk pengembangan ekonomi rakyat, karena pemberiannya tanpa ada kompensasi balik pada negara.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image