Pancasila dan Tantangan Kehidupan Sosial Modern
Edukasi | 2025-12-24 12:12:56
Di era yang ditandai oleh arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, kehidupan sosial manusia mengalami transformasi mendalam. Masyarakat modern dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari erosi nilai-nilai budaya hingga konflik identitas akibat interaksi lintas batas. Di tengah dinamika ini, Pancasila sebagai ideologi dasar negara Indonesia tetap menjadi fondasi yang kokoh. Pancasila, yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa pada 1 Juni 1945, bukan sekadar dokumen historis, melainkan panduan hidup yang relevan untuk menghadapi kompleksitas kehidupan kontemporer. Bagi masyarakat umum dan siswa sebagai generasi penerus, memahami Pancasila bukan hanya kewajiban formal, tetapi kebutuhan esensial. Artikel ini akan menguraikan bagaimana Pancasila sebagai ideologi negara mampu menjawab tantangan globalisasi dan teknologi dalam kehidupan sosial modern, dengan harapan memberikan wawasan mendalam bagi pembaca.
Pancasila sebagai Ideologi Dasar Negara yaitu Pancasila didefinisikan sebagai ideologi negara yang bersifat terbuka, dinamis, dan inklusif. Berbeda dengan ideologi totaliter seperti komunisme atau fasisme, Pancasila menekankan harmoni antara spiritualitas, humanisme, dan keadilan sosial. Sebagai ideologi Pancasila lahir dari pengalaman historis bangsa Indonesia yang beragam, mencerminkan sintesis nilai-nilai agama, adat istiadat, dan aspirasi kemerdekaan. Dalam konteks akademik, Pancasila dapat dipahami melalui pendekatan filosofis. Sila pertama menegaskan dimensi transendental, sementara sila kelima menjamin kesejahteraan material. Menurut Notonagoro, filsuf Indonesia, Pancasila adalah "philosophische grondslag" atau dasar filosofis yang mengintegrasikan rasio, emosi, dan kehendak.
Di tengah arus globalisasi, Pancasila berfungsi sebagai filter ideologis. Ia mencegah dominasi nilai-nilai Barat yang individualis, sambil membuka ruang dialog antarbudaya. Demikian pula, kemajuan teknologi seperti media sosial tidak serta merta menggerus Pancasila, asal dikelola dengan nilai-nilainya. Penguatan Pancasila sebagai ideologi thus menjadi prioritas nasional, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 36.
Tantangan Globalisasi sebagai proses integrasi ekonomi, budaya, dan politik lintas negara, membawa peluang sekaligus ancaman bagi kehidupan sosial. Di satu sisi, globalisasi memperluas akses informasi dan perdagangan, meningkatkan kesejahteraan. Namun, di sisi lain, ia memicu homogenisasi budaya, di mana nilai-nilai lokal tergeser oleh gaya hidup konsumeris dan liberalisme ekstrem. Bagi masyarakat Indonesia, globalisasi menimbulkan tantangan identitas. Fenomena "McDonaldisasi" budaya, yang dikemukakan George Ritzer, mengancam keragaman etnis kita. Siswa, yang sering terpapar konten global via internet, rentan mengadopsi pandangan sekuler yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Selain itu, globalisasi memperburuk ketimpangan sosial, di mana kelompok miskin tertinggal dari manfaatnya, melanggar sila kelima tentang keadilan sosial.
Dampak Teknologi terhadap Nilai-Nilai Pancasila khususnya digitalisasi, merevolusi kehidupan sosial secara radikal. Platform seperti TikTok dan Instagram memfasilitasi konektivitas global, tetapi juga memunculkan isu seperti hoaks, cyberbullying, dan kecanduan digital. Bagi siswa, paparan teknologi ini sering kali mengikis nilai moral, di mana privasi terabaikan dan persatuan terganggu oleh polarisasi online. Sila keempat, kerakyatan yang bijaksana, relevan untuk mengatur ruang digital melalui musyawarah virtual. Contohnya, selama pandemi COVID-19, aplikasi seperti PeduliLindungi menerapkan sila ketiga persatuan untuk solidaritas nasional. Namun, tantangan etis muncul: algoritma teknologi yang bias dapat memperkuat diskriminasi, bertentangan dengan sila kedua. Studi dari We Are Social (2024) mengungkap bahwa 60% remaja Indonesia menghabiskan lebih dari 5 jam sehari di media sosial, rentan terhadap radikalisme online. Ideologi Pancasila menjawab ini dengan pendekatan holistik: mengintegrasikan teknologi untuk pendidikan karakter, seperti program literasi digital berbasis sila-sila Pancasila dan teknologi bukan musuh, melainkan alat penguat ideologi nasional.
Relevansi Pancasila Menjawab Tantangan Kontemporer karena fleksibilitasnya menghadapi globalisasi dan teknologi. Pada sila pertama: di era sekularisme global, ia menjamin toleransi beragama, mencegah konflik seperti yang terjadi di Timur Tengah. Sila kedua menangkal dehumanisasi akibat kapitalisme digital, di mana manusia dijadikan komoditas data. Sila ketiga persatuan Indonesia krusial di tengah fragmentasi sosial media. Globalisasi sering memicu separatisme, tetapi Pancasila memperkuat Bhinneka Tunggal Ika. Sila keempat mempromosikan demokrasi deliberatif online, sementara sila kelima memastikan inklusi digital, seperti program Universal Broadband untuk desa-desa terpencil. Insight berharga bagi siswa: Pancasila bukan relik masa lalu, melainkan blueprint masa depan. Sebuah survei oleh Kementerian Pendidikan (2023) menunjukkan bahwa 75% siswa SMA menganggap Pancasila relevan jika diajarkan kontekstual. Contoh sukses adalah gerakan #PancasilaDigital, di mana influencer muda mempromosikan nilai-nilai ini via konten viral, menggabungkan teknologi dengan ideologi. Strategi Penguatan Pancasila di Era Modern dalam menghadapi tantangan, strategi penguatan Pancasila diperlukan. Pertama, integrasi kurikulum pendidikan: siswa harus mempelajari Pancasila melalui studi kasus globalisasi dan teknologi, bukan hafalan semata. Kedua, peran pemerintah: regulasi teknologi seperti UU ITE yang selaras dengan sila-sila. Ketiga, partisipasi masyarakat: komunitas lokal dapat mengadopsi Pancasila dalam gerakan sosial, seperti bank sampah berbasis gotong royong. Keempat, kolaborasi internasional: Indonesia bisa mempromosikan Pancasila sebagai model ideologi moderat di forum G20, menangkal ekstremisme global. Institusi seperti BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) berperan sentral dengan program pelatihan digital. Bagi masyarakat, refleksi diri esensial: gunakan teknologi untuk memperkuat, bukan melemahkan, Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara telah terbukti tangguh menghadapi globalisasi dan teknologi. Tantangan kehidupan sosial modern—seperti hilangnya identitas dan etika digital—dapat diatasi dengan kembali ke lima sila sucinya. Bagi masyarakat dan siswa, Pancasila adalah kompas moral yang memastikan kemajuan tidak mengorbankan kemanusiaan. Mari kita jadikan Pancasila hidup dalam tindakan sehari-hari. Dengan demikian, Indonesia bukan hanya bertahan, tapi unggul di panggung global. Seperti kata Soekarno, "Pancasila adalah jiwa bangsa." Saatnya generasi muda mewujudkannya di era digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
