Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

Rapor Merah Jokowi

Politik | Monday, 02 Oct 2023, 02:32 WIB
Ilustrasi: purnawarta.com

"Pangan itu hidup matinya suatu bangsa, dan petani adalah tulang punggung utama Indonesia, sehingga sebenarnya petani itu soko guru bangsa" (Ir. Soekarno, 27 April 1952, pidato di Institut Pertanian Bogor (IPB)).

Sebuah ungkapan yang visioner dan fundamental dari seorang Soekarno yang mengawali memimpin negeri ini, di awal pertumbuhan Indonesia Nusantara sebagai bangsa dan negara merdeka, 7 tahun pasca kemerdekaan NKRI.

Akan tetapi, visioner dan fundamental itu akan menjadi tanpa makna ketika dalam perjalanan di tataran praktis, yakni dalam rangka menjaga dan memelihara kelangsungan eksistensi suatu bangsa/negara agar tidak kembang-kempis, bahkan menjadi hidup segan mati tak mau, apabila ungkapan filosofis tentang nation building itu tak diimplemantasikan ke dalam tindak nyata secara konsisten.

Artinya, dalam pembangunan suatu bangsa merdeka untuk menjadi kokoh-tegak berdiri, apa yang seharusnya diskalaprioritaskan berdasarkan potensi yang dimiliki sebagai karunia dari Tuhan berupa SDA yang begitu luar biasa, tanah yang subur kang sarwa tinandur, sehingga dikenal oleh dunia sebagai "Negara Agraris", maka pondasi ekonomi yang pararel dengan "pangan adalah mati hidupnya suatu bangsa dan petani adalah tulang punggung utama Indonesia" wajib menjadi perhatian utama yang serius. Disadarikah semua itu oleh siapapun yang berkesempatan menjadi pemimpin pengemban amanah bangsa di negeri ini?

Tujuh puluh delapan tahun sudah usia kemerdekaan negeri ini, dan saat ini, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di penghujung masa jabatannya di periode ke-2, apa yang telah dilakukan selama 2 periode menjabat?

Adakah pararelisasi tentang pondasi ekonomi, "pangan adalah mati hidupnya suatu bangsa dan petani adalah tulang punggung utama Indonesia", sehingga konsekuensi sebagai negara agraris yang pondasi ekonominya sudah seharusnya bertumpu pada basis pertanian, utamanya sebagai penyedia pangan produktif yang akan memperkokoh terhadap ketahanan pangan, benar-benar lebih diprioritaskan di setiap program pembangunan negeri ini?

Ingat, pondasi ekonomi indonesia sebagai negara agraris adalah negara yang seharusnya perekonomiannya bergantung atau ditopang oleh sektor pertanian, dan hal itu sudah seharusnya lebih nampak menonjol.

Oleh karenanya, sektor pertanian ini wajib sebagai titik berat dan utama dalam program pembangunan yang dijalankan di negeri ini. Sehingga wajah sosial-ekonomi bangsa Indonesia akan memancarkan kehidupan sosial-ekonomi mandiri, berdikari, dan berswasembada pangan yang selanjutnya memperkokoh ketahanan pangan sebagai bagian fundamental bagi tatanan sosial-ekonomi maupun politik suatu bangsa. Itulah konsekuensinya sebagai negara agraris yang pararel dengan "pangan adalah mati hidupnya suatu bangsa dan petani adalah tulang punggung utama Indonesia".

Adakah yang demikian itu tergambar di sepanjang kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode di setiap kebijakan dan program pembangunan yang dijalankan bersama kabinetnya?

Pembangunan Infrastrukur yang Gencar, Pembangunan Pertanian yang Terlantar

"Pemerintah akan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur tersebut akan menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke kawasan wisata, mendongkrak lapangan kerja baru, serta mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat." Kata Presiden Jokowi saat pidato di awal masa jabatan periode kedua (2019-2024), usai dilantik di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2019.

Pembangunan infrastruktur itu adalah salah satu dari kelima fokus kerja di periode ke-2 Jokowi bersama Ma'ruf Amin. Hal ini menandakan bahwa sejak awal dan memasuki periode ke-2, Jokowi benar-benar lebih memberikan porsi yang lebih besar terhadap pembangunan infrastruktur dengan dasar pertimbangan yang berujung pada wacana mempercepat nilai tambah perekonomian rakyat. Dan, hal itupun diamini oleh kabinetnya yang selanjutnya menjadikan Presiden Jokowi dinyatakan telah sukses membawa perkembangan serta perubahan ke arah yang lebih baik dalam membangun perekonomian negeri ini daripada era sebelumnya.

Klaim tersebut nampak terlihat dari penilaian sebagian besar kalangan sebagaimana yang dirilis oleh pelbagai media tanah air ketika menjelang akhir masa jabatan Jokowi periode ke-2 dalam tajuk "Refleksi Akhir Tahun Kepemimpinan Jokowi Periode Kedua".

Disebutkan bahwa dari segi ekonomi, Jokowi berhasil menjaga pertumbuhan positif di 5,44 persen pada kuartal II tahun 2022. Hal ini menunjukkan secara fundamental ekonomi Indonesia tetap baik di tengah perekonomian dunia yang sedang tidak menentu.

Selain itu, tingkat inflasi masih terkendali di angka 4,9 persen, masih cukup baik dibanding dengan rerata inflasi ASEAN yang berada di sekitar tujuh persen atau rerata inflasi negara maju yang mencapai 9 persen. Pemerataan pembangunan yang telah dicanangkan Jokowi sejak periode pertama juga tetap dilanjutkannya, walaupun dalam keadaan pandemi Covid-19 dan gejolak ekonomi global. Hal ini menjadi penting untuk mempercepat kemajuan Indonesia melalui pembangunan infrastruktur dan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi serta menjaga lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Alhasil, penilaian "keberhasilan" Jokowi selama memimpin negeri ini, dapat ditunjukkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut:

> Data survei kepuasan masyarakat atas kepemimpinan Jokowi yang cukup tinggi, sebagaimana hasil survei LSI pada Juli 2023 memperlihatkan kepuasan publik atas kerja Jokowi mencapai 81,9% (CNN Indonesia, 12/7/2023).

>Pola dan program Jokowi menjadi acuan Capres 2024 (Prabowo dan Ganjar), sebagaimana berdasarkan hasil survei Litbang Kompas 27 Juli hingga 7 Agustus 2023, 18,1 persen responden memastikan akan memilih bacapres yang di-endorse Presiden Jokowi. Yakni, tentang aspek berkelanjutan program pembangunan yang telah diterapkan oleh Presiden Jokowi.

Meskipun kondisi ekonomi pada periode pertama Jokowi memimpin yang tidak lebih baik daripada SBY. Data perbandingan pertumbuhan ekonomi antara SBY dan Jokowi menunjukkan secara prosentase, pertumbuhan ekonomi era Presiden SBY juga lebih tinggi. Selama 2004-2013, rerata ekonomi Indonesia tumbuh 5,78% sementara pada 2014-2022 sebesar 4,12%. Akan tetapi Jokowi pun bisa saja berkilah bahwa tantangan kondisi global jauh lebih berat pada masanya.

Dari pelbagai gebrakan pembangunan yang dilakukan Jokowi, khususnya pembangunan infrastruktur yang masif, ada hal mendasar justru terabaikan, yakni soal ketahanan pangan yang sangat rapuh. Hampir sebagian besar produk pangan di negeri ini selalu dipenuhi dengan cara impor. Suatu hal yang sangat miris sebagai negara agraris yang subur kang sarwa tinandur itu, justru impor pangannya cukup besar.

Sebagai catatan yang tak bisa dipungkiri, yakni sebagai berikut:

Kebutuhan bahan pangan Indonesia sangat bergantung pada pasar impor. Enam dari dari sembilan barang kebutuhan pokok harus dicukupi dari negara lain.

Buah dan sayuran, dan komoditas bahan pangan utama lainnya, seperti gandum, kedelai, jagung sangat bergantung pada impor. Negara sesubur Indonesia justru mengalami defisit perdagangan buah dan sayuran rerata Rp 19 triliun per tahun.

Indonesia menempati posisi ke sepuluh di Asia dan Pasifik, dan ke 60 di dunia dalam hal ketahanan pangan pada The Global Food Security Index 2022.

Dalam sebelas tahun terakhir, rakyat Indonesia telah menghabiskan US$84,8 miliar atau setara Rp1,272 triliun untuk hanya berbelanja enam dari sembilan barang kebutuhan pokok/sembako-beras, susu, bawang, garam, daging dan gula dari pasar internasional. Jumlah uang belanja dapur rakyat yang jumbo ini menyedihkan bila disandingkan dengan sejumlah data betapa Indonesia adalah negara gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja sebagai gambaran kondisi masyarakat dan wilayah yang subur makmur, tertib, tentram, sejahtera, serta berkecukupan atas segala sesuatunya.

Indonesia adalah negara ke-14 untuk luas daratan (1,811,569 km), negara dengan panjang garis pantai ketiga atas dunia (54,716 km), sebanyak 53% penduduknya adalah usia produktif, buruh murah dan empat musim yang aman dari cuaca ekstrim. Namun nyatanya, pelbagai potensi alam dan manusia itu masih gagal dimanfaatkan untuk tujuan Tata Tentrem Kerta Raharja.

Selama ini yang banyak diributkan adalah beras. Padahal ada sembilan bahan pokok hidup yakni beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan ayam, telur ayam, susu, bawang merah dan putih, ikan dan garam beryodium. Produksi produk pertanian dalam negeri tidak cukup memenuhi kenaikan pesat konsumsi makanan, sehingga mendorong impor terus menerus.

Enam dari sembilan bahan pokok itu kecukupannya harus dipenuhi dari luar negeri. Yang mengejutkan adalah ketergantungan tinggi pada impor selain beras, dimana rerata impor daging selama 11 tahun terakhir mendominasi (35%), gula (28%), garam (14%) dan susu (13%). Ini adalah rasio jumlah impor barang terhadap total nilai impor enam barang itu.

Indonesia mencatat defisit perdagangan internasional untuk buah dan sayur mayur rerata US$1,3 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun dalam 11 tahun terakhir, yang terjadi akibat jumlah impor lebih banyak dari ekspor. Tampak kebutuhan akan sayur dan buah meningkat pesat, sementara kemampuan produksi lokal untuk mencukupinya rendah, sehingga neraca ekspor pun tak berkembang dalam kurun waktu itu.

Ketidakmampuan bangsa ini memanfaatkan potensi sumber daya alam, baik lahan luas dan pekerja murah juga tampak pada penyediaan kebutuhan sekunder pangan lain. Misalnya, gandum yang merupakan ingredient pokok bagi produk turunan makanan. Survei Departemen Pertanian Amerika Serikat menyebut lebih dari dua pertiga gandum diperuntukan untuk makanan manusia, sementara 20% sisanya untuk hewan.

Ada pertumbuhan konsumsi gandum sebesar 25% dalam 15 tahun, menunjukkan betapa pentingnya gandum bagi manusia. Sayangnya, keterbatasan kualitas lahan Indonesia karena diduga tidak memadai untuk menanam gandum membuat Indonesia sangat bergantung pada negara lain. Penikmat roti dan segala macamnya sangat bergantung pada produksi gandum di Negeri Paman Sam, Rusia, Ukraina, India dan Kanada.

Tempe dan tahu sebagai makanan paling populer di masyarakat menengah ke bawah, dan bahkan di-endorse oleh Presiden Soekarno dan juga kini Presiden Joko Widodo, yakni sebagai penganan favorit, rupanya membutuhkan negara lain untuk mencukupi kebutuhannya di dalam negeri. Kedua penganan itu berbahan baku kedelai, dimana Kementerian Pertanian menyatakan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu menutupi tak sampai 10% dari total kebutuhan nasional pada 2022. Estimasi tahun lalu produksi lokal hanya 200.315 ton, sementara kebutuhannya sebesar 2.983.511 ton.

Beras adalah komoditas pangan utama, sekaligus komoditas politis. Ketersediaannya selalu bikin gaduh ruang publik, meskipun hal ini memang wajar karena banyak yang tidak terima dengan luas daratan yang cocok untuk pertanian padi, dan buruh murah, namun produksi padi loyo. Produktivitas tanaman padi Indonesia masih jauh dari ideal, akibatnya cadangan stok beras nasional sangat bergantung pada produksi di empat negara, yakni India, Thailand, Vietnam dan Pakistan.

Hal yang sama juga terjadi pada jagung. Sebagai bahan baku industri, jagung dapat diolah menghasilkan pakan ternak, minyak, tepung jagung, gula dan turunannya. Perkembangan energi hijau juga menempatkan jagung sebagai bahan baku produksi etanol untuk bahan bakar (biofuel). Situasinya, Indonesia sudah bertahun-tahun defisit jagung.

Analisis kinerja perdagangan jagung Indonesia tahun 2020 dari Kementerian Pertanian menunjukkan, Indonesia hanya bergantung pada impor jagung pipilan kering sebesar 2,90% (IDR-Import Dependency Ratio) dan nilai SSR (Self-Sufficiency Ratio) sebesar 97,31%. Ini menunjukkan, Indonesia sudah bisa mencukupi kebutuhan jagung dalam negeri dengan proporsi yang cukup besar dari produksi sendiri. Tapi, jagung bentuk pipilan kering Indonesia belum memiliki keunggulan komparatif.

Ketergantungan tinggi kebutuhan barang pokok, serta komoditas penunjang lainnya membuat fundamental ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak apapun yang terjadi di luar negeri, khususnya pada indikator inflasi. Kejadian perang Rusia-Ukraina misalnya telah membuat harga gandum melonjak, sementara cuaca buruk di India dan Thailand akan berdampak pada kenaikan harga beras.

Merujuk pada data inflasi makanan dalam 41 bulan terakhir, Indonesia mengalami rerata kenaikan inflasi harga makanan 2,39% (inflasi kalender/year to date) per bulan dengan lonjakan tertinggi pada Juli 2022 mencapai 8%, di atas inflasi umum. Pergerakan inflasi 2022 juga membuktikan bagaimana krisis global, seperti keamanan yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina langsung memberikan dampak signifikan pada inflasi di Indonesia.

Kerentanan ketahanan pangan Indonesia dari gejolak krisis pangan dunia cukup besar, tampak pada besaran impor mayoritas sembako. Juga tampak dalam empat komoditas utama seperti beras, gandum, jagung dan kedelai yang dipublikasikan oleh The Food Security Portal. Semakin mahalnya harga-harga kebutuhan pangan di pasar internasional membuat ada konsekuensi serius terhadap fundamental ekonomi nasional. Salah satunya adalah beban berat bagi pengeluaran rumah tangga di Indonesia, yang semakin ke sini semakin terbebani oleh inflasi harga pangan.

Berdasarkan data BPS 2022, rerata pengeluaran per kapita penduduk Indonesia sebesar Rp1,33 juta, dimana porsi untuk makanan mendominasi diantara pengeluaran lainnya, yakni makanan Rp666 ribu (50,1%) dan non makanan Rp662 ribu (49,9%). Tahun lalu untuk kali pertama dalam beberapa tahun terakhir, porsi pengeluaran makanan melampaui non makanan setiap bulannya, membuat tekanan terhadap inflasi makin besar.

Rapor Merah Sang Presiden Jokowi

Boleh jadi, rapor Jokowi di bidang pembangunan, khususnya infrastruktur sangat bagus, berangka dan bernilai biru. Akan tetapi di bidang pembangunan pangan justru merah, atau gagal total.

Padahal, ketahanan dan kemandirian pangan adalah hal yang paling mendasar sebagai kebutuhan utama masyarakat, mengapa hal itu tidak diskalaprioritaskan dalam program pembangunan Sang Presiden Jokowi?

Satu analogi sederhana terkait dengan nilai rapor Sang Presiden Jokowi dalam berkesimpulan apakah beliau tidak setali tiga uang pula dengan para presiden Indonesia sebelumnya? Yakni, dalam hal menjawab soal pondasi ekonomi Indonesia Nusantara sebagai negara agraris dengan kedaulatan pangannya.

Seorang pelajar atau mahasiswa meskipun nilai reratanya adalah 8 sebagai nilai yang istimewa misalnya, kemudian indeks prestasi (IP)-nya 3 lebih, Namun bila ada satu mata pelajaran atau mata kuliah dasar berangka dan berwarna merah, maka yang bersangkutan tidak akan naik kelas atau tidak bisa lulus.

Sehingga dapat disimpulkan, meskipun banyak kemajuan yang sudah dibuat Sang Presiden Jokowi di sepanjang kepemimpinan dan pemerintahannya di negeri ini, maka Jokowi harus berani dinyatakan telah gagal memimpin bangsa ini.

Dan, negeri ini sekarang mengahadapi ancaman "Krisis Pangan Global" yang cukup berat. Semua negara eksportir pangan sudah menutup kran ekspornya. Ketika bangsa ini mengalami krisis pangan, maka semua kemajuan yang telah dicapai, menjadi percuma dan tak ada gunanya.

Namun sekali lagi, Jokowi selalu pandai berkilah berlindung di balik kondisi global, menyalahkan perubahan iklim, menyalahkan kondisi karena negara-negara yang menjadi langganan impor bagi Indonesia, telah menutup eskpor pangannya. Padahal, bila kita mau jujur tanpa tedeng aling-aling, China dan India dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar (terbesar ke-1 dan ke-2 dunia), justru mampu berswasembada pangan, mengapa kita tidak bisa? Inilah fakta realita betapa tidak adanya keseriusan dari pemerintah dalam hal mengakhiri akar masalah fundamental tentang pondasi ekonomi Indonesia sebagai negara araris.

Agar tidak terlalu disalahkan jika terjadi gejolak, Jokowi sudah mengarahkan kepada calon presiden penerusnya yang bakal menggantikannya untuk menjadikan kedaulatan pangan sebagai program utamanya, sebagaimana dalam pidato Jokowi di Rakernas IV PDI Perjuangan di JIExpo, Sabtu, 30 September 2023 yang bisa disimak di tayangan Youtube.

Prinsip sejarah adalah suatu perulangan, sebagaimana prinsip gerak sejarah siklus (bukan linear) yang relevan dengan jalannya budaya dan peradaban umat manusia yang universal. Maka, El Nino di tahun 2023 kali ini, akankah sebagai satu perulangan dari El Nino 1997 dengan segala dampak yang ditimbulkannya? Yakni, terjadinya kekeringan, alam yang menggeliat menghadirkan pelbagai bencana yang efeknya merambah menuju krisis (darurat) multidimensional.

Katakanlah terus terang walau itu pahit sekalipun. Selanjutnya, sekiranya sudut pandang penilaian yang objektif ilmiah berdasarkan data dan fakta berkata "tidak", haruskah mulut berucap "iya"?

Dan, rapor merah Sang Presiden Jokowi bakal menghantarkan pada sebuah krisis multidimensional yang bermula dan dipicu oleh kirisis pangan yang merapuhkan ketahanan dan kedaulatan pangan negeri ini . Sudah siapkah kita?

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ...

*****

Kota Malang, Oktober di hari kedua, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image