Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Bijak Berbicara: Kunci Harmoni Hidup

Agama | Sunday, 17 Sep 2023, 16:10 WIB
Dok. Republika.co.id

Bicara adalah salah satu aspek komunikasi manusia yang memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, penting untuk diingat bahwa banyak bicara berpotensi menjerumuskan orang ke dalam dosa dan dapat merusak hubungan dengan sesama. Hal ini disebabkan oleh ucapan-ucapan yang keluar tanpa dipikir panjang, ketergelinciran lisannya, atau ucapan-ucapan yang menyakiti hati sesama. Dalam pandangan agama dan moral, banyak bicara sering dianggap sebagai perbuatan tercela. Rasûlullâh telah menganjurkan umat untuk mengurangi kadar bicara dan melarang dari banyak bicara.

Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Rasûlullâh, ditegaskan bahwa Allah mengharamkan beberapa perbuatan yang mencakup durhaka kepada ibu, menolak kewajiban, menuntut yang bukan haknya, mengubur anak perempuan hidup-hidup, membenci qîlâ wa qâlâ (gonta-ganti perkataan), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta. Salah satu perbuatan yang disebutkan dalam hadis ini adalah "banyak bertanya," yang juga mencakup banyak bicara. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa banyak bicara merupakan perbuatan tercela menurut syariat.

Selain itu, dalam hadis lainnya, Rasûlullâh menyatakan bahwa orang yang paling dicintai oleh-Nya di akhirat adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang baik. Sebaliknya, orang-orang yang paling dibenci oleh-Nya adalah orang-orang yang banyak berbicara, terutama yang bicara dengan menampakkan kefasihan dan sombong. Dari sini, kita dapat melihat betapa pentingnya mengurangi banyak bicara dalam rangka mencapai kebaikan dalam akhlak dan mendekatkan diri kepada Allah.

Mengapa banyak bicara dianggap sebagai perbuatan tercela? Banyak bicara dapat menghasilkan beberapa dampak negatif, baik dalam konteks pribadi maupun sosial. Dalam pandangan Islam, berbicara adalah amanah (tanggung jawab) yang harus diemban dengan penuh kesadaran. Berbicara dengan bijak adalah tanda dari kebijaksanaan seseorang, sedangkan banyak bicara tanpa pemikiran dapat merusak hubungan dengan sesama, bahkan membahayakan diri sendiri.

Pertama-tama, banyak bicara dapat menyebabkan dosa. Saat seseorang terlalu banyak berbicara, dia mungkin secara tidak sengaja mengucapkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama atau melibatkan dirinya dalam ghibah (menggunjing), fitnah (mencemarkan nama baik), atau kebohongan. Semua ini adalah dosa-dosa yang serius dalam Islam dan dapat berdampak buruk pada kehidupan seseorang di dunia dan akhirat.

Kedua, banyak bicara dapat menimbulkan kesalahpahaman. Ketika seseorang terlalu banyak berbicara, pesan yang ingin disampaikan mungkin menjadi kabur atau ambigu. Ini dapat mengarah pada interpretasi yang salah oleh pendengar dan menyebabkan ketidaknyamanan atau konflik. Kesalahpahaman ini dapat mempengaruhi hubungan personal dan profesional.

Ketiga, banyak bicara dapat memicu pertengkaran dan permusuhan. Ketika seseorang tidak mengendalikan kata-katanya dengan baik, hal ini dapat menyulut konflik dengan orang lain. Pertengkaran dan permusuhan adalah konsekuensi yang mungkin terjadi ketika komunikasi tidak bijak digunakan.

Keempat, banyak bicara dapat mengakibatkan merosotnya kualitas hubungan sosial. Orang yang terlalu banyak bicara cenderung kurang mendengarkan orang lain. Ini dapat membuat orang lain merasa diabaikan atau tidak dihargai dalam interaksi sosial. Akibatnya, hubungan dengan teman, keluarga, atau rekan kerja bisa menjadi kurang harmonis.

Kelima, banyak bicara dapat menghabiskan waktu dan energi yang berharga. Seseorang yang terlalu banyak berbicara mungkin tidak efisien dalam berkomunikasi. Waktu yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif bisa terbuang hanya untuk berbicara tanpa tujuan yang jelas.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami pentingnya mengurangi banyak bicara dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan hanya masalah moral dan agama, tetapi juga relevan dalam konteks sosial dan psikologis. Bagaimana kita dapat mengurangi banyak bicara dan menjadi lebih bijak dalam berbicara?

Pertama, introspeksi diri adalah langkah awal yang penting. Kita perlu mengenali kebiasaan bicara kita sendiri dan mengidentifikasi area di mana kita mungkin terlalu banyak berbicara atau kurang bijak dalam berbicara.

Kedua, kita harus belajar untuk mendengarkan dengan lebih baik. Mendengarkan adalah bagian penting dari komunikasi yang efektif. Saat kita mendengarkan dengan penuh perhatian, kita dapat lebih memahami orang lain dan menghindari kesalahpahaman.

Ketiga, berpikirlah sebelum berbicara. Sebelum mengucapkan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri apakah itu perlu, benar, dan tidak akan menyakiti orang lain. Berbicara dengan pertimbangan akan membantu kita menghindari ucapan-ucapan yang tidak diinginkan.

Keempat, hindari gosip dan fitnah. Bicara negatif tentang orang lain hanya akan merusak reputasi kita sendiri dan menciptakan konflik yang tidak perlu.

Kelima, perluas kosakata dan wawasan kita. Semakin banyak kita belajar dan memahami dunia, semakin bijak kita dalam berbicara. Hindari bicara tentang hal-hal yang tidak kita pahami dengan baik.

Keenam, berbicaralah dengan tujuan yang jelas. Sebelum berbicara, pertimbangkan apa yang ingin Anda capai dengan komunikasi tersebut. Apakah Anda ingin menyampaikan informasi, menghibur, atau memecahkan masalah?

Ketujuh, berlatihlah untuk menjaga keheningan. Terkadang, keheningan lebih berbicara daripada kata-kata. Menghargai momen keheningan dalam percakapan bisa memberi ruang bagi pemikiran yang lebih dalam dan refleksi.

Kesimpulannya, banyak bicara berpotensi membawa dampak negatif dalam kehidupan kita, baik dari segi agama, moral, maupun sosial. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengurangi banyak bicara dan menggantinya dengan komunikasi yang lebih bijak dan berarti. Dengan demikian, kita dapat mendekatkan diri kepada kebaikan, menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama, dan meraih berkah dalam kehidupan kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image