Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azwar

Menyikapi Kenaikan Harga dalam Perspektif Ekonomi Islam

Ekonomi Syariah | Saturday, 09 Sep 2023, 06:40 WIB
Sumber: https://gintong.me/2014/11/23/strategi-kenaikan-harga-yang-pas/

Perekonomian adalah salah satu penopang dalam kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan pasar. Sementara kesehatan pasar, sangat tergantung pada mekanisme pasar yang mampu menciptakan harga yang seimbang yaitu tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat.

Kenaikan harga pada sebagian besar bahan pokok kebutuhan rumah tangga dan bahan bakar minyak yang sedang terjadi saat ini adalah sebuah fenomena yang perlu dicermati dalam kacamata dan konsep Ekonomi Islam.

Namun sebelum membahas lebih jauh, kita perlu mengetahui bagaimana konsep ekonomi yang berkembang di dunia terkait dengan harga dan pasar. Terdapat dua kutub ekstrim terkait dengan mekanisme pasar, yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis. Ekonomi kapitalis memandang bahwa pasar hendaknya dibiarkan berjalan secara wajar tanpa intervensi atau campur tangan pemerintah dan dengan sendirinya, pasar akan menuju ke arah keseimbangan. Menurut konsep kapitalis, campur tangan pemerintah akan mengakibatkan distorsi yang akan menghambat keseimbangan. Sementara sistem ekonomi sosialis justru menghendaki maksimalisasi peran pemerintah. Menurut konsep ini, pemerintah harus menguasai segala sektor ekonomi untuk memastikan keadilan bagi rakyat. Dalam paradigma sosialis, pasar harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan pemilik modal (capitalist) yang serakah sehingga mengakibatkan adanya monopoli dan eksploitasi tenaga buruh untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Konsep Ekonomi Islam berada di antara dua kutub ekstrim di atas. Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan, tidak boleh ada subordinat di antara ketiganya, sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain. Konsep makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk dari hadis Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan, “Harga melambung tinggi pada zaman Rasulullah. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata, ‘Ya, Rasulullah, hendaklah engkau menentukan harga’. Rasulullah kemudian bersabda,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ الْمُسَعِّرُ، وَإِنِّي لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلا يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلا مَالٍ

‘Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan, melapangkan dan memberi rezeki. Saya sangat berharap bahwa kelak saya menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta’.”[1]

Dari hadis di atas, dapat dipahami bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan harga. Harga pasar dikembalikan kepada mekanisme pasar secara alamiah. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan karena Allahlah yang menentukannya. Dalam konteks ini, sebagai seorang pemimpin, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sangat mengetahui bahwa harga pasar pada dasarnya tidak boleh ditentukan oleh kebijakan seorang pemimpin, tetapi pasar dibiarkan bebas menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar disebabkan karena adanya kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Inilah teori dasar Ekonomi Islam mengenai harga. Pasar pada dasarnya dijamin kebebasannya dalam menentukan mekanisme produksi, konsumsi dan distribusi, melalui permintaan dan penawaran yang sehat. Harga tergantung pada permintaan dan penawaran. Ketika permintaan naik, penawaran tetap, maka harga akan naik. Namun bila permintaan turun, penawaran tetap, harga juga akan turun. Mekanisme pasar dalam penentuan harga ini berlangsung alami. Ibnu Qudāmah al-Maqdisī, salah seorang ulama dari mazhab Hambali berpendapat bahwa imam (pemerintah) pada dasarnya tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barang mereka dengan harga berapapun yang mereka sukai. Para ulama dari mazhab Syafii juga memiliki pendapat yang sama[2].

Namun dalam kenyataannya, sulit ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil. Distorsi pasar tetap sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak. Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri, tanpa ada yang mengontrol, akan mengakibatkan penguasaan pasar secara sepihak oleh pemilik modal (capitalist), penguasa infrastruktur dan pemilik informasi. Di sinilah, dalam konsep Ekonomi Islam, negara mempunyai peran dalam mengatur dan mengawasi ekonomi serta memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna. Perannya sebagai pengatur tidak lantas menjadikannya dominan, sebab negara tidak boleh mengganggu pasar yang berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam sistem pasar. Menurut pandangan Islam, yang diperlukan adalah regulasi dan sistem kerja yang bersifat produktif dan adil demi terwujudnya pasar yang normal.

Meski pada dasarnya konsep Ekonomi Islam tidak mengizinkan adanya intervensi harga sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, namun dalam perkembangannya, sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah membenarkan adanya intervensi harga oleh penguasa khususnya dalam kondisi tertentu, misalnya dalam masa darurat seperti bahaya kelaparan, perang, kekeringan, dan sebagainya[3]. Begitu juga, ketika terjadi ketidaksempurnaan (seperti monopoli) pada pasar yang sulit dikontrol, Ibnu Taimiyah juga merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya, jika para penjual menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga yang jauh lebih mahal daripada harga normal dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut, pemerintah dapat mengharuskan mereka menjualnya pada tingkat harga yang setara (dengan kebijakan harga dari pemerintah). Dalam kasus seperti ini, menurut Ibnu Taimiyah, otoritas harus menetapkan harga untuk penjualan dan pembelian penduduk, pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas melaksanakan kekuasaannya, dan otoritas harus menetapkan harga untuk melawan ketidakadilan terhadap penduduk[4].

Satu hal yang patut dicatat dan diperhatikan, yaitu bahwa ketika pementintah memilih kebijakan intervensi dalam kondisi khusus tersebut, pemerintah wajib melakukannya melalui perundingan, diskusi dan konsultasi dengan penduduk dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hubungannya dengan masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, bahwa imam (pemerintah), harus menjalankan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Setiap pihak harus bersepakat tentang hal tersebut sehingga harga tidak ditetapkan tanpa persetujuan dan izin seluruh pihak yang terkait.

Demikianlah konsep Ekonomi Islam menyikapi dan memandang kenaikan harga dan mekanisme pasar. Sebagai seorang mukmin, hendaknya kita menyikapi kenaikan harga-harga tersebut dengan bijak dan kembali kepada tuntunan Islam. Sejatinya, kita tak perlu cemas secara berlebihan dengan kenaikan harga-harga tersebut karena sesungguhnya rezeki sudah ditentukan dan diatur oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Salah seorang ulama dan saleh terdahulu, Abu Hazim Salamah bin Dinar (wafat tahun 140 H), pernah ditanya, “Wahai Abu Hazim, tidakkah engkau tahu bahwa harga barang semakin mahal?” Beliau pun menjawab,

وَمَا يَغُمُّكُمْ مِنْ ذَلِكَ؟ إِنَّ الَّذِي يَرْزُقُنَا فِي الرُّخْصِ هُوَ الَّذِي يَرْزُقُنَا فِي الْغَلَاءِ

“Apa yang membuat kalian resah dengan hal itu? Sesungguhnya Zat yang memberi rezeki kepada kita di saat harga murah, Dia juga yang akan memberi rezeki kepada kita di saat harga mahal.”[5]

Demikianlah, orang-orang saleh selalu mengembalikan segala kesulitan hidupnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka tidak merespon kondisi tersebut dengan kepanikan dan rasa frustasi karena betul-betul meyakini bahwa semuanya tak terlepas dari kehendak dan hikmah Allah ‘Azza wa Jalla. Ḥasan al-Baṣrī raḥimahullāh berkata,

مَنْ رَضِيَ بِمَا قَسَمَ اللهُ لَهُ وَسَّعَهُ وَبَارك اللهُ فِيْهِ ,وَمَنْ لَمْ يَرْضَ يَسَعْهُ وَلَمْ يُبَارِكْ فِيْهِ

“Barangsiapa yang rida terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, maka jiwanya akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang tidak rida, maka pandangannya menjadi sempit dan Allah juga tidak memberkahinya.”[6]

Sesulit apapun kondisi ekonomi yang terjadi, sebagai seorang mukmin, hendaknya tetap optimis dan selalu bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya kita memperbanyak tawakal dan selalu merasa cukup dengan nikmat dan pemberian-Nya niscaya hati menjadi bahagia. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اَللَّهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian itu lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”[7]

Semoga Allah senantiasa memudahkan segala kesulitan kita dan memberkahi segala aktivitas kita, kapan pun dan di mana pun kita berada. Amin.

[1] Al-Imam Aḥmad bin Ḥanbal. Musnad al-Imām Aḥmad bin Hanbal. Mu’assasah al-Risālah, 1431 H/2011 M, 18/329.

[2] Islahi, A. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, Terjemahan H. Anshori Thoyib. Surabaya: Bina Ilmu, 1997, h.111.

[3] Ibid. h.118.

[4] Ibid. h.119.

[5] Abū Nu’aim Aḥmad bin ‘Abdullah al-Aṣbahānī. Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqāt al-Aṣfiyā’. Miṣr: Maṭba’ah al-Sa’ādah, 1394 H H/1973 H, 3/239.

[6] Abū Bakr Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abīd Abī al-Dunyā. al-Riḍā ‘Anillāhi Biqaḍā’ihi. al-Dār al-Salafiyah, 1431 H, 112/95.

[7] Al-Imam Aḥmad bin Ḥanbal. Musnad al-Imām Aḥmad bin Hanbal. al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ, 1434 H, 7/250: 7443.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image