Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahmah Khairani

Kenalan Lebih dalam dengan AI, Ga Bahaya Ta?

Lomba | Saturday, 19 Aug 2023, 10:28 WIB

Sadar atau tidak manusia sudah lama bersinggungan dengan Artificial Intellegence (AI). Sejak dunia memasuki era 4.0 perkembangan AI semakin cepat dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Bagi orang awam AI adalah berkah yang memudahkan kehidupan. Namun mengapa para ahli melontarkan kecemasan? “AI bisa lebih berbahaya daripada senjata pemusnah massal” –Elon Musk. Ahli memprediksi AI akan tetap hits 10-20 tahun mendatang. Tentu jika anda sedang mencari pekerjaan, bidang AI sangat menjanjikan kesejahteraan. Bagaimana, apakah anda mulai tertarik mendalami AI?

Mengenal AI Mengenal Manusia

Ada kesamaan antara manusia dengan AI, yakni kemampuan AI yang seolah bisa berpikir. Secara sederhana kita dapat mendefinisikan bahwa AI adalah kemampuan untuk membuat ulang simulai intelegensi manusia yang ada di dalam mesin. Mesin ini diprogram untuk bisa berpikir dan belajar seperti manusia. Bidan ini meliputi banyak bidang seperti machine learning, natural language processing, computer vision, robotics, dan expert system. AI memungkinan mesin melakukan tugas-tugas khusus yang membutuhkan intelejensi manusia, seperti persepsi visual, mengenali suara, membuat keputusan, pemecah masalah, dan translator.

Dalam menjalankan tugasnya, AI membutuhkan jumlah data yang banyak. AI tidak akan cerdas jika ia kekurangan data. AI punya kemampuan seperti kemampuan manusia karena AI bisa berpikir, bisa belajar, dan bisa menyimpan pembicaraan user dengan AI.

Bisakah AI Berpikir?

Komponen berpikir menurut Taqiyuddin an-Nabhani meliputi fakta; indera; otak; dan informasi terdahulu. Jika komponen ini terpenuhi maka AI disebut bisa berpikir. Mari kita lihat komponen berpikir AI. Otak AI adalah Micro Processor; indera AI adalah sensor-sensor; Informasi AI adalah input-input data; fakta AI adalah apa yang disensing oleh mesin dan; aktivitas AI adalah mengaitkan fakta dengan informasi sehingga menghasilkan kesimpulan tertentu.

Contoh AI yang sudah pernah ada jauh sebelum dikhawatirkan hari ini adalah robot yang bernama ASIMO di Museum masa depan Jepang. Robot ini melihat dengan sensor. Robot membuka botol minuman, memegang botol dan gelas, menuang air ke dalam gelas, dan dia berikan gelas yang berisi air itu kepada seseorang. Apakah itu tidak disebut berpikir?

Di dalam AI ada learning machine, di dalam learning machine ada neural networks, dan didalamnya ada deep learning. AI adalah disiplin ilmu dan learning machine adalah bagian darinya. ChatGPt adalah salah satu contoh produk Ai yang terletak di deep learning. Di dalam deep learning inilah pembuat mencoba meniru otak manusia. Ketika learning machine AI diberi input, maka selanjutnya dia bisa memberi output.

Persamaan Cara Berpikir Manusia dengan AI

Saat kecil kita diberikan input informasi. Misalnya seekor hewan dengan ciri-ciri yang disebutkan seseorang, kemudian menamainya dengan sebutan kucing/anjing. Sehingga setelah tumbuh besar, manusia bisa membedakan mana hewan kucing mana hewan anjing.

Cara Berpikir Mesin: Mesin diberikan input dalam bentuk angka-angka yang merepresentasikan panjang tubuh dan panjang moncong kucing dan anjing. Kemudian learning machine bertugas untuk membuat garis pembeda antara dua objek tersebut. Sehingga ketika sensor mesin menemukan objek yang mirip dengan input informasi, mesin akan mengidentifikasi secara tepat apakah objek tersebut kucing atau anjing. Dapat dikatakan bahwa di dalam mesin AI ada data dan label, sehingga dengan keduanya akan menciptakan persamaan matematika yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan datanya sampai kepada proses training yang berujung pada data dan label baru pada objek. Namun kemampuan berpikir manusia lebih dari AI. Manusia memiliki kemampuan mengkategorisasi informasi, mana benda yang mirip tanpa harus diberi input informasi yang lain karena manusia bisa mencari persamaannya.

Peran AI bagi Hidup Manusia

Mari kita simak ilustrasi berikut. Seorang pelajar bangun tidur kemudian meraih Hpnya. Ia kemudian menggunakan sistem touch screen untuk melakukan scroll di media sosial. Kemudian dia menanyakan bagaimana keadaan cuaca melalui aplikasi cuaca di Hpnya. Ia juga belajar bahasa asing melalui Hpnya. Aplikasi bahasa yang dia download dapat mengenali apa yang dia katakan dan aplikasi dapat memberi feedback dari apa yang dia ucapkan. Saat dia sedang pergi ke suatu tempat, di dalam mobil ia menggunakan maps digital untuk memberitahukannya arah agar menghindari kemacetan di jalan. Sembari ia juga mendengarkan music streaming di saluran yang dia sukai. Di tempat yang berbeda, seorang insinyur mobil sedang mengatur perangkaian komponen-komponen mobil oleh robot dan manusia secara bersamaan. Robot juga digunakan untuk mengecat mobil. Kemudian setelah mobil siap, komputer menjalankan tugas untuk melakukan pengecekan terhadap kelengkapan komponen setiap mobil

Di perkebunan, petani menggunakan aplikasi untuk melakukan pengecekan terhadap tumbuhannya. Aplikasi lalu memberi tahu masalah dan merekomendasikan penanganannya. Di Ruang Operasi, dokter menggunakan AI untuk membantu mendiagnosis penyakit pasien, dan robot juga digunakan untuk melakukan beberapa bagian tindakan operasi medis. AI juga membantu pekerjaan profesional lainnya seperti pilot dan astronot.

Ilustrasi di atas sangat berpihak pada AI. AI bukan ancaman jahat pada ranah manfaatnya di kehidupan yang melayani hajat publik. Namun lebih dalam dari itu, kita bisa menemukan fakta menarik tentang hubungan manusia dan AI yang mulai mengkhawatirkan.

Dampak AI bagi Manusia

AI ada dimana-mana dan tidak bisa dihentikan. Hal ini melahirkan aspek dilematis pada etik AI karena meskipus AI bisa berpikir namun AI tidak akan pernah bisa merasa. AI has no feeling. Sementara konsep diri manusia terbentuk dari pikir dan rasa. Rahasia kecerdasan dan kepribadian manusia ada pada konsep tuning. Kecerdasan robot tergantung pada data dan label matematik yang diinput ke dalamnya, ini disebut konsep tuning. Sementara kecerdasan manusia adalah multi intellegence. Di dalam diri mansuia terdapat intelektual, emosional, spiritual, interpersonal, linguistik, matematika dll. Kecerdasan ini pada robot disebut model matematik, dan pada manusia disebut model diri. Model diri manusia juga tercipta dari proses tuning.

Pada manusia ada beberapa teknik tuning yang dapat membentuk model diri. Diantaranya, High Emotional Intensity; Authority; Repetition; Learning and Knowledge; Imagination (visualization) dll. Model Diri itu adalah pola sambungan neuron yang ada di dalam otak. Semakin sering sensor menerima informasi, semakin banyak pula pola neuron yang tersambung. Namun secerdas-cerdasnya manusia tidak dapat dimungkiri bahwa mereka pada hari ini sudah dikuasai oleh AI dalam bentuk gadget. Karena di semua media sosial tertanam AI. AI ini mampu mempelajari kita, apa yang kita sukai, bahkan yang tidak kita ketahui. AI bisa melakukan profiling tentang siapa dan kecenderungan kita. AI bisa melakukan clustering dari semua pengguna internet yang memiliki kemiripan histori tontonan, kemudian AI akan merekomendasikan tontonan yang sama dengan pengguna-pengguna yang memiliki kesamaan tersebut. Lantas dimana masalahnya?

AI tidak hanya mengenal siapa kita, tapi AI juga sudah mulai mentuning model diri kita pikiran perasaan dan kecenderungan kita. Dengan cara AI memberi informasi dan fakta kepada user. Dengan demikian dia menentukan siapa diri kita. Karena merubah manusia adalah dengan merubah pemikirannya.

Ilustrasi: Pengguna smartphone dengan sosial medianya mungkin punya tujuan tersendiri. Namun yang harus dipahami adalah di balik smartphone yang ia pegang itu ada banyak profesor, ilmuan, doktor dari banyak disiplin ilmu yang juga memiliki tujuan dengan pekerjaan mereka. Kita mengandalkan otak kita, sementara mereka mengandalkan otak mereka dibantu dengan super computer. Secara umum tujuan mereka lebih unggul. Sederhananya tujuan mereka adalah menghasilkan uang. Kita melakukan aktivitas seperti menonton, memasang status, update story dan lainnya. Ini adalah uang bagi mereka. Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Suveillance Capitalism berpendapat bahwa orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti google dan lainnya, mereka bekerja dengan memantau pengguna kemudian memanipulasi kita untuk kepentingan uang tanpa mempertimbangkan dampak negatif dari gadget. Contoh negatifnya yang dapat kita rasakan adalah daya tahan fokus membaca menurun dan semakin pendek. Kecanduan gadget dapat merusak free frontal cortex pada otak. Ini juga akan berdampak pada masalah mental manusia.

Jadi apakah AI jadi tantangan atau ancaman? Coba bayangkan kita punya mesin yang menampung semua pengetahuan yang ada di bumi ini dan punya kecepatan berpikir yang satu juta kali lebih cepat dari manusia. Kalau kita punya mesin seperti itu apakah itu membantu atau berbahaya? Jawabannya tergantung siapa yang memegangnya. Bila penguasaan AI dipegang oleh para durjana penjajah, maka kekhawatiran Elon Musk di atas bisa jadi kenyataan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image