Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Radit Bayu

Era Baru: Peran AI dalam Kepenulisan Literatur

Lomba | Sunday, 13 Aug 2023, 00:41 WIB
Foto: Pinterest

Beranjak dari “The Dartmouth Summer Reaserch Project on Artificial Intelligence” sebuah konfrensi yang diadakan pertama kali oleh John McCarthy, Massacuhetts Institute of Technology pada tahun 1956. Konfrensi yang diadakan untuk mengundang para ahli komputer melakukan pengembangan dan penelitian terhadap AI. Hasil penelitian dan pengembangan menjadi cikal-bakal terlahrinya AI yang memiliki kemampuan berpikir seperti manusia. Pengembangan ini terus didiskusikan oleh para ahli komputer dari tahun ke tahun.

Salah satunya, diskusi yang dilakukan pada tahun 1970. Diskusi ini mencetuskan era yang dinamakan dengan “Classical AI”. Era ini membawa gelombang revolusi yang cukup besar terhadap penjualan komputer pada tahun 1980. Hal ini membuat riset di bidang kecerdasan buatan semakin berkembang pesat.

Kepesatan riset di bidang AI menghasilkan beberapa program yang dapat membantu manusia dari berbagai aspek keterampilan. Misalnya, penggunaan program Chatbot terhadap keterampilan menulis. Program ini dapat mengatasi kendala pada saat menulis, tepatnya ketika menyusun sebuah paragraf. Paragraf yang dikembangkan oleh program Chatbot berbasis pada data chat yang diinginkan. Lantas, bagaimana cara kerja dari program ini untuk melakukan itu semua?

Jawabannya terletak pada data chat yang dihimpun melalui berbagai macam website. Berdasarkan data yang diketahui sebanyak 300 miliar kata telah dikuasai oleh program Chatbot. Sederhannya, program ini mengambil beberapa kutipan informasi yang pernah diunggah di dalam internet. Jadi cukup dengan menuliskan kata kunci di dalam kolom chat, program ini akan menangkap maksud dari si pengguna. Uniknya program Chatbot dapat menulis tentang apa saja, baik tulisan ilmiah ataupun non-ilmiah. Maka, tak jarang banyak penulis yang menggunakan program ini untuk melengkapi data dari hasil tulisan mereka.

Suatu ketika seorang analisis AI, Alberto Romero dari CambrianAI mengkritisi fenomena penggunaan program Chatbot dalam kepenulisan. Hal ini ia publikasikan dalam artikel berjudul “5 Reason Why AI is a Threat to Writers”. Dirinya menuliskan bahwa industri kepenulisan berbasis online akan berubah secara radikal. Temuan mengejutkan ditandai dengan beberapa kasus tulisan yang dihasilkan oleh program Chatbot. Tulisan tersebut hampir menjuarai nobel penghargaan sastra Hoshi Shinichi di negara Jepang pada tahun 2016. Bentuk tulisan yang dihasilkan berupa novel dengan judul Hari Komputer Menulis Novel. Namun juri dari kompetesi, Satoshi Hase menyatakan penggambaran karakter di dalam novel kurang begitu kuat.

Di satu sisi, penggunaan program Chatbot mulai merambah hingga ke dalam dunia akademisi. Keraguan terhadap penggunaan program ini pun mulai timbul. Hal ini memicu kuatnya potensi plagiarisme dan ancaman integritas bagi akademik. Maka beberapa universitas seperti di negara Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis pun melarang penggunaan program Chatbot untuk kepenulisan literatur ilmiah. Larang ini disampaikan oleh Brainard, Editor Science Associated dari Amerika Serikat. Ia menuturkan bahwa dirinya khawatir dengan etika penggunaan AI untuk kepenulisan literatur ilmiah.

Kekhawatiran ini pun akan terus berulang jika penggunaan program Chatbot untuk suatu kepenulisan tidak didampingi dengan rasa tanggung jawab yang besar. Tanpa adanya rasa itu, pelanggaran privasi terhadap sumber data yang digunakan akan terjadi. Hal ini disebabkan data atau informasi yang diberikan Chatbot kepada si pengguna tidak melampirkan asal sumber itu dimuat. Maka dari itu, pentingnya membedakan konteks dan peran dalam penggunaan program ini.

Berdasarkan beberapa kasus dan ringkasan di atas, peran program Chatbot memiliki dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, program Chatbot sebagai instrumentalis atau alat bantu yang bersifat netral. Kedua, program Chatbot sebagai substantif atau alat yang menciptakan sesuatu yang jauh lebih unggul dari manusia. Semoga saja, peran yang pertama menjadi pilihan terbesar. Tidak bisa dibayangkan bukan? Jika sebuah program dapat menggantikan cara kerja dari manusia.

Pada hakikatnya perkembangan AI tidak dapat menggantikan manusia. Bagaimana pun juga, manusia harus memiliki kedudukan dan peran dalam hal itu. Secanggih apa pun sebuah AI, manusia sebagai mahkluk yang berpikir dan berperasaan perlu mengasah keterampilan yang dimiliki. Cara kerja yang melibatkan perasaan dan pikiran dapat menjaga poros intelektualitas serta moralitas sebagai manusia. Sebenarnya yang perlu dilakukan untuk saat ini adalah berjalan beriringan dengan kemajuan AI dan beradaptasi untuk kesejahteraan umat manusia. Sungguh tidak perlu ada yang ditakutkan. ***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image