Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Waspada Serangan Fajar saat Pemilu, Mulai dari Fatwa MUI Hingga UUD 1945

Politik | Wednesday, 02 Aug 2023, 16:17 WIB

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haram menerima suap (risywah) politik saat Pemilu. Fatwa No. 23 Tahun 2000 itu melarang perbuatan suap yang dilakukan pejabat untuk meloloskan sesuatu, termasuk perbuatan batil (tidak benar menurut syariat Islam). Fatwa tersebut hadir untuk merespon banyaknya politik uang jelang pencoblosan. Tentunya, di tahun politik ini, menjadi relevan untuk menggaungkan kembali fatwa tersebut.

Posisi Fatwa MUI ini memiliki peran strategis dalam membangun bangsa yang demokratis, bermartabat dan mengharhai HAM. Prof. Jimly Asshiddiqie pernah mengungkapkan bahwa posisi fatwa menempati posisi penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jenjang fatwa dari level bawah sampai ke pusat menjadi bukti bahwa fatwa hadir melalui sebuah mekanisme prosedural. Dengan begitu, fatwa akan menjadi sumber referensi tepercaya.

Dalam halnya tentang suap politik, Fatwa No. 23 Tahun 2000 begitu relevan bagi kehidupan bangsa dan negara. Bagaimana bisa kualitas Pemilu akan bagus jika dihasilkan melalui kecurangan dan kealpaan masyarakat dalam memilih pemimpin. Rakyat kecil yang tidak begitu peduli dengan politik, diberi uang receh untuk dirampas suaranya. Namun, ketika terpilih, pemimpin itu tidak peduli dengan nasib orang-orang yang dulu pernah memilihnya.

Serangan fajar sejatinya merampas kedaulatan rakyat dalam menyelenggarakan kehidupan yang demokratis. Selain fatwa, UUD 1945 juga telah menetapkan bahwa Pemilihan Umum merupakan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, bebas, rahasia, jujud dan adil. Pemilu digelar untuk melahirkan Pemerintah yang menjadi cermin dari kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang." Dengan begitu, suap atau politik uang saat pemilu merupakan tindakan keji yang menghancurkan kedaulatan rakyat.

Pemilu merupakan instrumen penting dalam demokrasi yang menganut sistem perwakilan (Parlemen). Dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, juga dilakukan melalui Pemilu. Hal ini dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi bagi pendapat berlawanan, serta menyediakan sarana sukses kepemimpinan politik secara sah dan damai.

Dalam perjalanannya, proses Pemilu tidak selalu berjalan sesuai dengan kaidah regulasi dan fatwa. Money politics atau politik uang adalah cara kotor untuk memperoleh suara yang banyak dan menguasai suara di daerah pemilihan tertentu. Suap ini merupakan kejahatan yang terselubun dan juga menjadi penyakit yang harus dilawan. Dalam bahasa agama dan hukum positif nasional, money politics adalah perbuatan terlarang.

Politik uang merupakan praktik illegal dalam pemilihan umum yang dapat mempengaruhi partisipan pemilihan umum dnegan iming-iming imbalan tertentu dan seolah-olah mendapat intimigasi kuat dari rakyat. Masyarakat yang sudah mendaftar ikut serta dalam pemilihan umum apakah mereka ikut berpatisipasi, mencoblos, atau golput dan memilih karena adanya politik uang.

Jual beli hak suara yang dipraktikan dalam pemilihan umum merupakan tindakan yang melanggar norma Negara dan agama. Perbuatan tersebut tergolong dalam risywah yang merupakan suatu perkara yang diharamkan oleh semua agama, baik memberi ataupun menerima, termasuk mediatornya. Oleh sebab itu, kita harus memviralkan kembali fatwa MUI dan regulasi lainnya tentang larangan praktik money politic yang sesungguhnya merupakan salah satu tindakan penyuapan yang melunturkan nilai dalam masyarakat yang sejatinya dipelilahara dan dijunjung tinggi. Demi mendapatkan Negara yang baik dibutuhkan pemimpin yang baik dan mendapat kepercayaan rakyat untuk menyelenggarakan roda pemerintahan secara tepercaya. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image