Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Albana

Dampak Eufemisme Kejahatan

Eduaksi | Sunday, 11 Jun 2023, 06:58 WIB

Dampak Eufemisme Kejahatan

Orang Indonesia di kenal ramah dan sopan oleh para turis yang datang ke Negara ini, meskipun masih dijuluki Negara berkembang dan dengan segala carut marut yang ada didalamnya, masyarakat di Negeri tercinta ini akan selalu tersenyum dan saling sapa bila bertemu dengan orang baru maupun lama, terlebih lagi bule atau warga Negara asing, karena itulah karakter warga Indonesia yang sesungguhnya.

Dari segi pemberitaan di media massa memang mengalami pergeseran, sejak era Bung Karno yang memakai majas hiperbola yakni dibesar-besarkan, hingga era Suharto memakai majas eufemisme yang diperhalus, sebagai contoh pelacur diperhalus dengan kata PSK atau pekerja seks komersial, dipecat diperhalus dengan dibebas tugaskan hingga pemerkosaan diganti dengan pencabulan.

saat ini, penggunaan majas mungkin masih mirip dengan era Suharto, yaitu eufimisme, memperhalus gaya bahasa supaya terlihat lebih sopan. Sebagai contoh kasus pemerkosaan kepada anak dibawah umur. Bahasa yang muncul di media massa mungkin yang membuat hal tersebut biasa, kata ‘pencabulan’ terlalu ‘mulia’ disandang oleh pelakunya, karena bahasa eufemisme tersebut seharusnya lebih tegas dan keras lagi diberitakan supaya benar-benar malu dan tidak akan mengulanginya lagi. pemerkosaan atau perzinahan tingkat akut yang diperhalus dengan bahasa pencabulan tersebut meremehkan norma-norma agama yang ada di Negara ini. karena mendekati zina saja dilarang apalagi melakukan zina, bahkan dengan muridnya sendiri yang seharusnya dididik untuk tidak melakukan zina.

Berita yang luar biasa ini akan menjadi biasa-biasa saja bila secara terus menerus ditampilkan di media massa, dan membuat masyarakat apatis karena penanganannya yang kurang maksimal. Selain itu, sistem hukum di Indonesia yang ompong terlalu gampang sekali dibeli dan memberikan remisi bagi para pelaku. Terlebih lagi hukumnya tidak terlalu menggigit, karena gigitan hukum di Indonesia tidak sampai memberikan bekas, kadangkala gigitan hukum hanya sebatas kegarangan redaksi hukum saja, akan tetapi ketika eksekusi gigitan, toh hukumnya ternyata ompong juga. sehingga bekas gigitan yang diharapkan tidak memberikan efek jera dan menjadi pelajaran berharga bagi pelaku kejahatan.

Di Negara ini penerapan hukumnya adalah hukum progresif, ketika ada kasus pemerkosaan tidak melihat berapa kali melakukan pemerkosaan, akan tetapi hanya hakikat kasusnya yaitu pemerkosaan. Berbeda dengan di luar negeri, penerapan hukumnya adalah kumulatif, jadi ketika oknum guru tersebut dengan kasus pemerkosaan dituntut 3 tahun penjara karena perbuatannya, maka ketika korban mengaku diperkosa 5 kali maka hukumannya kumulatif 5 x 3 tahun yakni 15 tahun penjara, barang kali dengan hukum seperti itu pelaku akan berpikir ulang sebelum memperkosa untuk ke enam kalinya, karena sekali lagi memperkosa maka jatah 3 tahun penjara ditambah, meskipun dibantah dengan alasan suka sama suka. Sehingga, hukum yang diharapkan untuk menindak tegas para oknum guru yang mencoreng citra guru dan Islam seantero negeri ini dapat ditegakkan tidak hanya melalui hukum tertulis, karena banyak sekali faktor yang membuat hukum yang seharusnya tegas menjadi tidak tegas.

Barangkali melalui bantuan media massa yang berperan membentuk opini masyarakat melalui pemberitaan bahasa-bahasa yang tidak perlu diperhalus lagi. sehingga muncullah hukum yang tidak tertulis hasil dari pemberitaan media massa. Karena pada hakikatnya hukum tidak tertulis kadang kala lebih kuat dari pada hukum tertulis, biarlah masyarakat yang menghukum, melalui hukum sosial yang berlaku di masyarakat. Rasa malu dan di jauhi masayarakat adalah hal yang pantas bagi pelaku kejahatan seksual seperti oknum guru tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image