Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firdatama Fajrin

Perbedaan Keturunan Tionghoa di Indonesia dan Malaysia

Pendidikan dan Literasi | Tuesday, 23 May 2023, 21:26 WIB

Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang bertetangga sangat dekat, bahkan berbatan darat langsung. Dua negara sama-sama memiliki banyak keberagaman tentunya, dari mulai bahasa, suku, budaya, serta agama dan perayaannya. Berbicara tentang perayaan keagamaan dan kaum, Malaysia dan Indonesia memiliki banyak persamaan. Salah satunya adalah perayaan tahun baru Cina atau Imlek, namun yang membedakan antara Cina di Malaysia dan kaum Tionghoa di Indonesia adalah dalam penguasaan bahasa resmi. Ini menimbulkan pertanyaan besar bagi rakyat Malaysia mengenai rahasia sukses Indonesia melakukan asimilasi antar suku bangsa. Tidak jarang yang jadikan kaum Tionghoa di Indonesia sebagai contoh atau panutan dalam menciptakan negara dan tidak bersikap rasis.

Menurut data yang diunggah di situs statista.com pada tahun 2021, Indonesia menempati peringkat 1 penduduk keturunan Tionghoa se-dunia, dengan jumlah mencapai 10,88 juta orang. Diikuti dengan Thailand di peringkat kedua dengan 7,01 juta. Barulah Malaysia menempati peringkat ketiga dengan 6.73 juta. Jadi apakah rahasia masyarakat Tionghoa di Indonesia lebih fasih berbahasa resmi daripada masyarakat Tionghoa di Malaysia?

Sebenarnya persoalan bahasa bukan hanya tentang sekadar percakapan, ia adalah inti kemajuan perdaban suatu negara. Seorang keturunan Tionghoa di Indonesia yang fasih berbahasa Indonesia bukan hanya menunjukkan persatuan dengan berbagai etnis, namun juga merupakan sikap patriotisme. Kita semua tahu bahwa telah dideklarasikan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berisi tiga janji pemuda, yang salah satunya berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Dengan kegigihan pemuda kita, selesai sudah masalah bahasa persatuan kita sejak dulu.

Sementara dengan Malaysia, hingga kini pun mereka masih membahas tentang pembentukan bahasa negara dan tak kunjung selesai, bahkan ketika sudah memasuki tahun ke-70 an mereka. Ada juga yang beralasan karena terdapat banyak etnis yang memiliki bahasa yang berbeda-beda. Sebagaimana 2 kaum terbesar di Malaysia setelah kaum Melayu adalah Tionghoa dan India. Tapi jika itu alasannya, bagaimana dengan Indonesia yang menurut data BPS memiliki sekitar 1.340 kelompok suku bangsa dari 300 kelompok etnik dan 1.158 bahasa daerah?

Meskipun di Malaysia hanya memiliki 3 bahasa, tapi tidak juga terjadi asimilasi, mengapa? Sebenarnya ada banyak alasan, namun fokus kita kali ini adalah dari segi pendidikan. Di Indonesia tidak terdapat perbedaan sistem pendidikan. Tidak hanya kita berbangsa, bertanah air, dan berbahasa yang satu, tapi kita juga berpendidikan yang satu. Lain hal di Malaysia, mereka memiliki dua bentuk sistem pendidikan, yaitu Sekolah Kebangsaan yang bersistem menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.

Sistem pendidikan yang satu lagi disebut dengan Sekolah Vernakular yang diantarkan dengan Bahasa Mandarin atau Tamil, namun Sekolah Vernakular tetap mengajarkan subjek Bahasa Melayu dalam pelajarannya, hanya saja ia tak menjadi bahasa percakapan utama oleh anak-anak atau guru. Adanya dua bentuk ini ternyata malah membuat munculnya bentuk “ketiga” yaitu Sekolah Jenis Kebangsaan, yaitu yang lebih dispesifikkan untuk keturuan Tionghoa atau Tamil saja. Jika sudah begitu dari dasarnya, apakah semua masyarakat keturunan Tionghoa fasih berbahasa Malaysia? Menurut suatu kajian dari fakultas pendidikan Universitas Putera Malaysia dari 414 pelajar sekolah jenis kebangsaan Cina, 55% di antaranya tidak fasih berbahasa Melayu. Padahal dalam Akta 1967 Malaysia tertulis bahwa Bahasa Melayu jadi bahasa kebangsaan.

Hal ini sangat berkebalikan dengan keturunan Tionghoa, yang bahkan rata-rata dari mereka tidak fasih sama sekali menulis atau membaca Bahasa Mandarin. Ini juga terkait dengan suksesnya proses sosialisasi sejak kecil, baik dari lingkungan keluarga maupun sekolah. Belajar bahasa asing itu sangat bagus, tetapi jangan sekali-kali kita melupakan bahasa Ibu kita, yaitu bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Dalam suatu liputan CNN, terdapat sebuah reportase tentang seorang Veteran Korp Komando atau KKO yang kini dikenal sebagai mariner yang berketurunan Tionghoa Bernama Djoni Liem atau Lim Hong Siu.

“Saya keturunan Tionghoa, tapi tumpah darah saya Indonesia.” Ungkapnya dengan bangga kepada CNN kala itu. Djoni Liem, menjadi contoh bahwa etnis tak menghalanginya untuk mengabdi kepada tanah air. Jiwa suatu negara ditentukan oleh jiwa sebuah bangsa, namun suatu bangsa yang dapat mengobarkan jiwa suatu negara bukanlah bangsa yang terpisah-pisah oleh sekat bahasa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image