Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Setelah Tiga Pekan Meninggalkan Ramadhan, Benarkah Kita Seorang Hamba Allah?

Agama | Thursday, 11 May 2023, 00:03 WIB

Baru tiga minggu kita meninggalkan bulan Ramadan. Kemungkinan besar kita masih bisa merasakan keindahan Ramadan. Kita begitu merindukan lantunana azan Magrib serta merasakan betapa bahagianya meneguk air dan menyantap makanan ketika berbuka.

Kenikmatan begitu terasa meskipun makanan dan minuman yang kita santap sangat sederhana. Lantunan syukur melalui lantunan doa berbuka puasa selalu terucap, dan sayang sekali untuk dilewatkan. Betapa tidak, doa pada saat berbuka merupakan salah satu doa mustajab.

Selepas salat Magrib yang selalu diiringi perasaan menyesal ketika ketinggalan berjemaah, kita hanya istirahat sebentar, sebab kita harus segera melakukan persiapan mengikuti salat Isya dan tarawih berjemaah. Seolah-olah tak ada kata lelah sebab mengingat akan betapa besarnya pahala ibadah selama bulan Ramadan. Puluhan rakaat salat tarawih dan sunat lainnya mampu dilaksanakan.

Selepas salat tarawih kita menyambungnya dengan melaksanakan tadarus Al Quran dengan target minimal khatam satu kali selama Ramadan, dan baru usai menjelang hampir tengah malam. Setelah itu baru istirahat malam, yang beberapa jam kemudian kita harus bangun kembali untuk melaksanakan makan sahur.

Seperti aktivitas lainnya, bangun sahur tak dianggap sebagai beban, malah merasa menyesal jika kita tak melaksanakannya, sebab dalam makan sahur bukan saja mempersiapkan tenaga untuk berpuasa, namun juga di dalamnya terdapat berkah.

Selepas sahur kita tidak langsung tidur, tapi mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan waktu salat subuh. Ketika datang waktunya salat subuh kita bergegas pergi ke masjid karena merasa khawatir ketinggalan salat subuh berjemaah. Selepas salat, lantunan beragam zikir menghiasi bibir seraya memohon diberi kekuatan agar dapat menjauhi segala perbuatan yang dapat membatalkan ibadah puasa beserta pahalanya.

Seperti itulah aktivitas ibadah keseharian kita selama bulan Ramadan. Kesalehan ritual dan sosial menghiasai aktivitas keseharian. Tanda-tanda kesalehan sebagai hamba Allah benar-benar melekat pada diri. Sungguh merupakan kebahagiaan jika tanda-tanda kesalehan ini melekat sepanjang hayat atau sepanjang masa kehidupan. Namun sayang sekali tanda-tanda kesalehan ini mulai lepas satu per satu ketika malam takbir menjelang idulfitri tiba.

Benar, takbir dilantunkan di setiap sudut nyaris sampai menjelang waktu Subuh tiba. Sayangnya banyak orang yang kesiangan salat Subuh berjemaah karena ketiduran selepas melantunkan takbir semalam suntuk. Selain itu, pada hari berikutnya, kemungkinan besar karena kelelahan merayakan idulfitri, jemaah masjid mulai berkurang, antusias salat berjemaah pun mulai berkurang, terlebih-lebih pada salat Isya dan salat Subuh, jumlah jemaahnya semakin berkurang. Demikian pula halnya dengan lantunan tadarus al Qur’an, kini mulai berkurang termasuk target untuk mengkhatamkannya.

Melihat kondisi seperti ini, selayaknya kita merenungkan firman Allah dalam surat An Nahl : 92. “Janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali.”

Analoginya, kita telah membangun dan merangkai beragam kebaikan dan ibadah selama bulan Ramadan, namun seusai Ramadan kita mengurai kembali kebaikan-kebaikan tersebut. Inilah yang harus kita rajut kembali agar pengabdian kita kepada-Nya kembali laksana ketika kita berada pada bulan Ramadan. Kita harus menjadi hamba Allah yang taat sepanjang masa, bukan menjadi hamba Ramadan, yakni hamba yang taat beribadah hanya selama bulan Ramadan.

Kita harus beribadah dan berbuat kebaikan sepanjang masa meskipun kita harus mengakui, ibadah kita sering digadaikan untuk menebus kenikmatan sorga dan menjadi tameng dari panasnya api neraka. Kondisi ini merupakan hal yang wajar, sebab kita belum bisa beribadah setulus para sahabat, para tabi’in, dan atbau al tabiin seperti Rabiah al Adawiyah, sang sufi.

Dalam hal derajat kehambaan kita, Ibnu ‘Athaillah, seorang ulama sufi, membaginya kepada dua tingkatan, yakni muqarrabin dan abrar. Derajat hamba muraqqabin adalah mereka yang beribadah sepanjang masa dan berupaya membebaskan dirinya dari kepentingan memenuhi keinginan hawa nafsu. Mereka menyibukkan diri dengan mengabdikan diri kepada Allah seraya mengharapkan rida dan ampunan-Nya. Kecintaannya terhadap hal-hal yang bersifat dunyawiyah sudah benar-benar berkurang dalam dirinya.

Derajat berikutnya adalah hamba abrar, yakni mereka yang masih merasa banyak kepentingan dengan dunia seraya masih mengikuti kehendak hawa nafsu atau keinginannya seraya tetatp melaksanakan pengabdian, beribadah kepada Allah. Dengan ibadahnya yang sedikit mereka mengharapkan masuk sorga dan selamat dari siksaan api neraka.

Selanjutnya Ibnu ‘Athaillah mengatakan, di tingkatan manapun derajat kehambaan kita, Allah akan tetap menolong kita untuk meningkatkan derajat kehambaan kita. Salah satu syaratnya adalah memperbaiki keistikamahan kita dalam beribadah dan berbuat kebaikan. Karenanya, selayaknya kita merenungi atas keistikamahan kita dalam melaksanakan ibadah dan berbuat kebaikan. Apakah diri kita ini hamba Ramadan, ataukah diri kita ini benar-benar hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya sepanjang masa sampai akhir hayat?

Ilustrasi : Zikir (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image