Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Hari Wardhana

Antara Ramadhan dan Rubicon

Agama | Thursday, 06 Apr 2023, 19:29 WIB

Kalau dulu generasi 90an pernah disuguhi film Ramadan dan Ramona yang dibintangi Jamal Mirdad dan Lydia Kandou, mungkin tak lama lagi akan ada yang mengangkat kisah berjudul "Antara Ramadhan dan Rubicon". Bedanya, Ramadhan dan Rubicon bukan nama karakter dalam film. Ramadhan adalah bulan suci dalam kalender Hijriah sedangkan Rubicon adalah brand mobil mewah. Hubungan apa yang telah terjadi antara Ramadhan dan Rubicon?

Antara Ramadhan dan Rubicon jelas memang tidak ada hubungan langsung. Ayat suci Al Qur'an Surah AL Baqarah ayat 183 secara tegas menyebutkan bahwa tujuan ibadah puasa Ramadhan adalah menjadi orang bertakwa, bukan memiliki lambang-lambang kemewahan seperti Rubicon..

Tetapi memang bisa saja terjalin hubungan antara Ramadhan dan Rubicon. Bisa saja karena takwa lalu Allah kasih rezeki tidak disangka-sangka berupa satu unit Rubicon. Atau bisa juga seorang anak mendapat hadiah lebaran dari orang tuanya berupa Rubicon setelah menjalani puasa satu bulan penuh tanpa bolong seharipun. Kalau hubungan kausalitas yang pasti antara Ramadhan dan Rubicon jelas tidak ada. Kalau setiap orang berpuasa Ramadhan pasti mendapat hadiah Rubicon, bisa-bisa orang minta satu tahun diisi Ramadhan dan lebaran semua.

Biarpun tidak ada hubungan kuat antara Ramadhan dan Rubicon, namun khusus di tahun ini, nama Rubicon menjadi bahan rasan-rasan sejak satu bulan sebelum bulan mulia itu datang. Nama Rubicon bukan hanya menjadi trending topic di lingkungan elit, tetapi juga di kalangan nggak gablek duit alias berkantong tipis yang sudah cukup senang kalau bisa cangkruk sambil ngopi di warkop tiap hari.

Kalangan cangkrukers alias pemilik hobi cangkrukan (nongkrong) yang ikut-ikutan itu awalnya tidak bermaksud julid terhadap anak kantor Dirjen Pajak yang pamer rubicon di TikTok. Tetapi setelah media mengulik dan menyebar informasi kalau harga jual rubicon itu kisaran 800 juta, barulah terjadi kehebohan.

Rubicon, salah satu lambang kemewahan Sumber foto: Republika

Tidak sedikit masyarakat yang bertanya-tanya ,”Darimana uangnya?” Mungkin ada juga wong cilik yang menghitug kalau punya uang 800 juta bisa buat beli tahu isi berapa banyak. Tetapi pertanyaan yang agak melip (tinggi) adalah “dimana kecerdasan para pejabat negara itu dan juga keluarganya?”

Bukan kecerdasan intelektual dan finansial yang dimaksud disini. Semua percaya lah kalau bapaknya si pemilik Rubicon itu punya IQ tinggi dan cerdas mengelola keuangan, baik itu mencari pemasukan maupun menata pengeluaran. Kalau enggak cerdas dalam hal itu, mana mungkin jadi pejabat kantor pajak?

Kecerdasan yang sesungguhnya perlu juga dipertanyakan adalah kecerdasan sosial. Kalau kata Howard Gardner dan Amstrong, kecerdasan sosial atau disebut juga dengan kecerdasan interpersonal ditandai dengan kemampuan mencerna dan merespon secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain. Sederhananya, kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami, bertoleransi dan berempati terhadap perasaan orang lain.

Jadi, teori kecerdasan sosial sebenarnya tidak menyuruh seseorang untuk ikut menjadi miskin saat hidup di tengah masyarakat strata ekonomi menengah ke bawah. Namun flexing di ruang publik saat masih banyak rakyat mengalami kram otak dengan persoalan harga kebutuhan pokok jelas sontoloyo dan memperlihatkan kejahiliahan sosial pelakunya.

Dalam sistem politik demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan, jabatan publik adalah alat untuk meningatkan kualitas hidup rakyat. Pejabat publik yang memiliki kecerdasan sosial pasti menyadari bahwa memegang kekuasaan bukan momentum untuk mengupgrade level kekayaan, Segala penghasilan yang diperolehnya dari negara harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral kepada rakyat dan Tuham.

Boro-boro pamer kekayaan. Pejabat negara yang memiliki kecerdasan sosial akan memilih meletakkan jabatan dengan segala gaji dan tunjangannya jika tidak bisa melaksanakan komitmen kepada masyarakat.

Ramadhan Melunturkan Kejahiliahan Sosial

Menurut pendapat sebagian ahli tafsir, secara etimologi, Ramadhan bisa diartikan sebagai hujan yang menggugurkan dan melunturkan panas. Dengan demikian, bulan Ramadhan bisa dimaknai sebagai bulan untuk menggugurkan dan melunturkan sisa-sisa pemikiran dan perilaku jahiliah.

Jauh sebelum para ahli merumuskan definisi kecerdasan sosial, Islam sudah mewajibkan umat beriman untuk menumbuhkannya melalui puasa di bulan Ramadhan. Secara reflektif, puasa yang dijalankan sejak masuk waktu Shubuh hingga datangnya Maghrib adalah training untuk merasakan lapar dan dahaga yang diderita fakir miskin.

Berbekal pelatihan selama satu bulan itulah orang-orang beriman seharusnya menjadi umat terdepan dalam kecerdasan sosial. Pasca merasakan lapar dan dahaga yang sama, kecerdasan sosial akan menuntun mereka untuk melunturkan karakter tamak, bermewah-mewah, dan juga memamerkan kekayaan (flexing).

Sebaliknya, dengan kecerdasan sosial yang tumbuh terawat selama Ramadhan, umat beriman akan mengalami penguatan solidaritas dalam bentuk sedekah serta zakat. Kepekaan terhadap penderitaan fakir miskin akan menggerakkan nuraninya untuk aktif mengulurkan bantuan tanpa perlu menunggu mereka datang menengadahkan tangan.

Bagaimana dengan para pejabat negara di Indonesia? Asumsinya, mayoritas dari mereka akan berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini. Tetapi apa yang mereka puasakan? Sekadar berpuasa dari lapar, dahaga dan nafsu seksual sedangkan semangat bermewah-mewah dan flexing di media sosial tetap menyala-nyala?

Datangnya Ramadhan 1444 H atau yang bertepatan dengan tahun politik 2023 bisa dijadikan momentum untuk menguatkan kecerdasan sosial, khususnya oleh mereka yang akan mengikuti kontestasi politik 2024. Perlu ada kesadaran bahwa siapapun yang kelak akan menerima amanah dari rakyat akan dibayang-bayangi beban tanggung jawab terhadap nasib 26,16 juta rakyat miskin (data BPS tahun 2022).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image