Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Hari Wardhana

Anies Baswedan, Siapkah Merekonstruksi Peradaban?

Politik | Thursday, 06 Apr 2023, 07:24 WIB

Sebagai eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan pastinya mengetahui data-data ilmiah yang mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia belum lagi menjadi bangsa literat. Ada banyak data pendukungnya.

Meski Anies Baswedan sudah tidak menjabat sebagai mendikbud lagi, namun bisa dipastikan beliau masih memonitor perkembangan. Di satu sisi memang terjadi penurunan jumlah penduduk buta aksara dari tahun 2019 ke tahun 2020. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 ada 2.961.060 orang buta aksara sedangkan tahun 2019 ada 3.081.136 orang.

Namun sebagai contoh figur berbudaya literasi, Anies Baswedan pastinya juga tidak bisa menafikan bahwa bangsa Indonesia mengalami kondisi darurat literasi. Kalau menggunakan istilah sastrawan, Taufik Ismail, Indonesia mengalami "rabun membaca dan pincang menulis".

Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dengan rasio 1:1.000. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang suka membaca.

Data menyedihkan juga dirilis oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016. Melalui riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked soal minat baca, Indonesia dinyatakan berada pada ranking 60 dari 61 negara, satu tingkat di bawah Thailand dan di atas Botswana.

Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga ditunjukkan oleh hasil riset Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Balitbang, Kemendikbud, tahun 2018. Menurut riset tersebut, Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca bangsa Indonesia tergolong rendah. Dalam skala 0 – 100, indeks Alibaca Nasional hanya memperoleh skor 37,32 yang tersusun dari empat dimensi.

Apabila dilihat per dimensi, dimensi kecakapan tergolong tinggi yaitu 75.92. Dimensi yang paling rendah ialah dimensi akses di poin 23,09 dan selanjutnya dimensi budaya 28,50. Dimensi alternatif cukup menjanjikan, yaitu 40,49 karena masifnya penetrasi internet dan gawai.

Dari indeks tersebut bisa dimunculkan persepsi bahwa tingginya kemampuan membaca masyarakat Indonesia tidak diikuti dengan minat untuk menjadikan aktivitas membaca sebagai habits ataupun budaya. Membaca masih dipandang sebagai aktivitas suka-suka, bukan kebutuhan apalagi kewajiban harian.

Akses masyarakat terhadap sumber-sumber bacaan maupun tempat-tempat seperti toko buku dan perpustakaan juga sangat minim. Masyarakat lebih memilih mengakses bacaan-bacaan secara digital.

Kondisi tersebut sangat jauh berbeda jika dikomparasikan dengan negara-negara yang tinggi budaya literasinya. Di Tiongkok, para pemulung dan tuna wisma pun aktif ke perpustakaan tiap harinya untuk membaca berita di surat kabar. Di Rusia dan juga Jepang, masyarakatnya lebih memilih untuk membaca buku daripada mengakses media sosial saat mereka berada di kereta maupun ruang-ruang publik.

Sebagai seorang intelektual berwawasan nasional dan global, Anies Baswedan semestinya paham bahwa bangkitnya budaya literasi selalu mengawali kemajuan sebuah bangsa sehingga bisa mempengaruhi peradaban dunia. Kebangkitan nasional yang mengubah arah dan strategi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah juga tidak terlepas dari bangkitnya budaya literasi pasca penerapan Politik Etis.

Memang tanggung jawab untuk merekonstruksi peradaban bangsa berbasis budaya literasi tidak bisa digantungkan kepada seorang pemimpin seperti Anies Baswedan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Namun di negeri yang masyarakatnya masih patronistik, kehadiran calon pemimpin seperti Anies Baswedan diharapkan bisa menjadi teladan bagi ratusan juta rakyatnya untuk membudayakan literasi. Bukan sekadar melahirkan generasi bisa membaca namun merasa wajib membaca, mempunyai kemampuan menganalisis masalah dan melahirkan gagasan dalam bentuk tulisan. Itulah esensi generasi literate.

Bila budaya tersebut bisa terus diwariskan kepada antar generasi, niscaya Indonesia akan bisa menjadi subyek dalam kompetisi peradaban global. Sanggupkah Anies Baswedan menjawab ekspektasi tersebut? Atau kelak seorang Anies Baswedan hanya akan menjadi pemimpin yang melahirkan pendengung-pendengung gagap literasi di era digitalisasi media?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image