Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Menakar Pemilih Muda di Pemilu 2024

Politik | Tuesday, 21 Mar 2023, 16:55 WIB
sumber : https://www.its.ac.id photo : Alinea.ID

Pesta demokrasi keenam pasca orde baru jangka waktunya kurang lebih satu tahun lagi, banyak harapan hasil Pemilu 2024 akan melahirkan para pemimpin serta wakil rakyat memiliki kapabilitas, integritas, dan moralitas baik.

Tentunya keinginan itu berbanding lurus dengan harapan tingginya partisipasi politik masyarakat nanti, karena legitimasi pemerintahan dibangun dari besar atau kecilnya angka keterlibatan masyarakat dalam memilih pemimpin serta wakil rakyatnya di bilik suara.

Pemilih Muda

Menurut salah seorang Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), August Mellaz, mengatakan diperkirakan pemilih pada Pemilu 2024, sebagian besar berasal dari para pemilih berusia muda, angkanya diprediksi mencapai 60% dari total pemilik suara sah, data itu diperoleh berdasarkan DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) dari pemerintah pusat (www.tempo.co.id).

Kelompok pemilih muda kalau kita menggunakan kategori dari teori generasi Indonesia adalah Generasi Phi dan Generasi Neo Alfa.

Teori Generasi Indonesia

Dr. Muhammad Faisal dalam buku berjudul Generasi Phi : Memahami Milenial Pengubah Dunia (2017), membuat pemilahan generasi Indonesia ke dalam lima kategori generasi, yaitu Generasi Alfa, Generasi Beta, Generasi Omega, Generasi Phi, dan Generasi Neo-Alfa.

Generasi Alfa, mereka yang lahir antara tahun 1900-1930, generasi ini dihadapkan tantangan zaman ketika Indonesia masih mengalami penjajahan Belanda, mereka memiliki watak ideologis, komunal, nasionalis, dan religius. Para tokoh yang mewakili Generasi Alfa diantaranya Soekarno, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, M. Natsir, dan Mohammad Hatta (Faisal, 2017).

Figur-figur tersebut dikenal memiliki pemikiran progresif revolusioner, mereka sangat memegang teguh prinsip ideologinya. Tetapi persatuan menjadi cita-cita besar harus bisa diwujudkan secara bersama-sama, meski perbedaan ideologi diantara mereka terlihat kentara dan nyata

Generasi Beta, kelompok generasi lahir dalam rentang tahun 1930-1966, mereka mengalami situasi ketidakstabilan politik dan ekonomi pasca kolonialisme, serta dihadapkan pada dunia yang mengalami kehancuran pasca Perang Dunia II, sebuah generasi memiliki semangat besar untuk membangun kembali tatanan dunia lebih baik, adil, dan merata. Para tokoh menjadi wakil dari Generasi Beta diantaranya Adam Malik, Soeharto, Habibie, dan Bung Tomo (Faisal, 2017).

Dalam konteks Indonesia sebagai negara baru merdeka, harus mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, sehingga menjadikan Generasi Beta memiliki cara pandang optimisme kuat ketika memandang masa depan bangsanya, mereka tumbuh dalam memberikan berbagai solusi atas hadirnya problem pembangunan.

Generasi Omega mereka yang lahir sekitar tahun 1970-1998, dihadapkan pada masa otoriter Orde Baru, sehingga mengalami keterbatasan ruang partisipasi politik (Faisal, 2017). Disaat bersamaan mereka menerima arus informasi mengenai keterbukaan sistem politik (demokratisasi) dari dunia internasional yang masuk melalui media cetak dan elektronik (Fatah, 2000).

Menghadapai ketidakpastian situasi politik itu Generasi Omega memiliki cara pandang adaptif, kompetitif, dan berorientasi pada pencapaian. Para tokoh mewakili generasi ini diantaranya Budiman Sudjatmiko, Hilman, dan Iwan Fals, mereka ini menjadi pendobrak kebekuan sistem politik pada zamannya, berusaha membuka ruang publik alternatif, ketika rezim kurang ramah pada demokrasi partisipatoris (Faisal, 2017).

Generasi Phi, generasi mengalami masa remaja awal abadi 21, mereka menghadapi perkembangan revolusi digital sangat pesat dan cepat, mereka memiliki cara pandang pruralis, terbuka, dan kreatif. Para tokoh dari Generasi Phi diantaranya adalah Maudi Ayunda, Dian Pelangi, dan Raissa (Faisal, 2017).

Generasi Phi melakukan kurasi-kurasi. Kurasi adalah memilih dan memilah informasi dikemas menjadi sebuah kurator, dengan blog reviewers, vlogger, dan fashion blogger. Mereka membuka ruang baru berupa kreasi tidak terpikirkan generasi sebelumnya, sehingga lebih independen dalam berpikir.

Generasi Neo-Alfa generasi hidup di zaman now yang memiliki karakter sama dengan Generasi Alfa (Founding Fathers Indonesia), mereka ingin membangun tatanan baru, dengan menunjukan karakter seperti generasi lama (nasionalisme, ideologis, dan religius). Generasi ini tumbuh di era ponsel dan media sosial, mereka mempelajari sesuatu secara cepat, sebagian besar profesi yang mereka pilih adalah sebagai vlogger dan reviewer (Faisal, 2017).

Pemilu 2024

Dominasi pemilih muda (Generasi Phi dan Generasi Neo-Alfa) pada Pemilu 2024 menjadi tantangan bagi para kontestan pemilu, sebab karakteristik kedua kelompok pemilih ini berbeda dengan kelompok pemilih lain, mereka memiliki pola pikir rasional, kritis, idealis, religius, toleran, serta mandiri.

Serta mempunyai antusiasme sangat tinggi mengikuti perkembangan politik lokal, nasional, dan internasional, bahkan terkadang mengkorelasikan ketika melihat suatu peristiwa politik. Misalnya isu global tentang perubahan iklim dan krisis lingkungan, dikaitkan dengan kebijakan pemerintah Indonesia (pusat dan daerah) dalam merespon isu iklim dan lingkungan tersebut.

Generasi Phi kurang menyukai isu berkarakter ideologis, mereka memiliki kecenderungan ke narasi politik bersifat subtansi dan solutif, seperti bagaimana memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bagaimana pemerintah menyediakan lapangan kerja, penyediaan fasilitas pendidikan serta kesehatan, wacana demokratisasi dan pemihakan negara pada hak asasi manusia (HAM).

Partai politik bila ingin meraih suara dari Generasi Phi, harus hadir ditengah-tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai problem dirasakan serta dihadapi, agar mendapatkan simpati publik, khususnya dari para pemilih muda. Program partai harus bersifat subtansi menyasar isu-isu kerakyatan, karena basis pemilih ini umumnya lebih menyukai program berdimensi subtansi-solutif.

Selain itu partai-partai harus memiliki pemikiran politik genuine mengenai arah Indonesia kedepan, sebab politik merupakan industri pemikiran serta gagasan, saatnya wajah politik Indonesia dihiasi berbagai narasi politik berisi pemikiran membangun, dialektis, dan kritis. Sehingga masyarakat diajak berpikir secara rasional menentukan pilihan politiknya, hal ini sesuai dengan karakteristik pemilih muda yang memiliki pandangan kritis.

Meskipun Generasi Neo-Alfa memiliki karakter ideologis, pemahaman ideologis dimaksud bukan bersifat kaku atau tertutup, maksud ideologis disini memegang teguh prinsip kebenaran yang diyakini, sangat berjiwa patriotik, religius, dan nasionalis, mereka sangat responsif mengenai isu-isu sensitif mengenai kedaulatan Indonesia baik dalam bidang ekonomi, politik, atau pangan.

Partai politik memiliki ideologi kuat, mendapat keuntungan mendapat simpati dari Generasi Neo-Alfa, dengan banjirnya informasi dari media, mereka lebih mudah mengidentifikasi satu partai diantara partai lain. Bisa membedakan antara partai idealis dan partai pragmatis, disinilah pentingnya bagi partai politik memiliki positioning narasi politik berbeda.

Konsekuensi dari adanya partai politik memiliki beragam ideologi, harusnya pemilih bisa menemukan diferensiasi satu partai dengan partai lain, tetapi sampai saat ini sukar menemukan perbedaan program politik sangat mencolok diantara mereka. Bahkan berdasarkan riset Ambardi (2009) partai politik di era reformasi umumnya memiliki karakteristik kartel, ketika masa kampanye mereka berkontestasi sangat ketat dan sengit, tetapi ketika sudah terdapat pemenang pemilu, justru kompetisi ideologi itu berakhir menjadi kompromi politik bersifat transaksional.

Pemilu 2024 diharapkan bisa menjadi salah satu sarana pendidikan politik bagi generasi muda Indonesia, untuk belajar mengkritisi setiap program partai, serta berkomitmen menyukseskan pemilu dengan praksis demokrasi subtansial, sudah saatnya pemilu bukan semata-mata pesta lima tahunan semata, tetapi mekanisme efektif melahirkan pemimpin dan wakil rakyat terpercaya.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image