Mengkritik Media Massa dalam Kasus Mario Dandy: Liputan yang Tak Patuh Kode Etik Pemberitaan Anak
Politik | 2023-03-15 17:19:48Berita harus berpedoman pada kode etik.
Sepatutnya, pegangan itu dapat diimplementasikan dalam kerja-kerja jurnalisme. Ia bukan sembarang pedoman. Bukan pula rambu-rambu jurnalisme. Lebihnya, ia adalah landasan hukum bagi jurnalis. Karenanya, jurnalis harus mampu membaca pun memahami landasan itu.
Celakanya, sebagian besar jurnalis tidak pernah membaca landasan itu. Apalagi menerapkannya. Ini realitas. Setidaknya, berdasarkan data Dewan Pers, ada 80% wartawan Indonesia yang sama sekali belum pernah membaca Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ini artinya, hanya sebagian kecil dari mereka yang pernah membaca landasan hukum pers ini. Pertanyaannya, kalau sudah begini, apakah pada penerapannya jurnalis yang tidak pernah membaca itu dapat benar-benar menerapkan etika jurnalisme di pemberitaannya? Pertanyaan ini sungguh menggelitik. Namun untuk mengukurnya juga bukan perkara mudah.
Tetapi, kasus Mario Dandy baru-baru ini bisa menjadi jawaban.
Dalam kasus yang melibatkan anak pejabat tanah air ini, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pernah menerbitkan tajuk rencana mengenai pelanggaran dari media-media online Indonesia yang mengabaikan Kode Etik Jurnalistik dalam memberitakan kasus kekasih tersangka kasus penganiayaan, Mario Dandy yang berstatus anak. Dalam sikap itu, AJI menyebut bahwa kekasih Mario Dandy itu masih berusia 15 tahun dan berstatus sebagai anak yang berkonfik dengan hukum dengan tuduhan memprovokasi.
Yang menjadi menarik, bukan hanya karena kasus ini melibatkan anak pejabat tanah air, namun pemberitaan media online di Indonesia yang abai pada kode etik. Sejumlah pemberitaan memuat profil dan foto-foto anak tersebut. Sebagian juga menyebutkan alamat sekolah dan mengulik latar belakang keluarganya. Foto-foto pacar Mario sebelumnya beredar luas di media sosial. Sikap ini tentu berasalan. Mengingat pada pasal 5 Kode Etik Jurnalistik, disebut bahwa wartawan Indonesia tidak boleh menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan anak yang menjadi pelaku kejahatan. Ini artinya, meskipun suatu kasus kejahatan namun melibatkan anak, media tidak boleh semena-mena. Mereka mesti kembali tunduk pada aturan etika. Tegasnya, UU tentang Pers pasal 7 (2) berkata hal yang sama, "Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik." Dengan kata lain, anak-anak juga memiliki hak untuk dijaga privasinya. Bahkan jika ia terduga pelaku dalam suatu kasus.
Identitas dan hak ini meliputi nama, foto, nama saudara, orang tua, kakek/nenek. Informasi mengenai rumah, alamat, perkumpulan dan apapun yang menunjukkan ciri anak juga harus dihindari.
Jurnalis sepatutnya dapat menghindari penyebutan informasi yang memudahkan orang untuk melacak anak tersebut.
Mereka perlu mengedepankan kode etik jurnalisme sebagai landasan hukum dan profesionalismenya.
Fenomena ini tentu tidak boleh diwajarkan.
Celakanya, landasan hukum ini seakan menjadi alasan untuk tidak diterapkan karena upaya media-media dalam mengejar untung dan click bait.
Celakanya pula, editor dan gate-keeper seakan berdiam diri.
Kalau sudah begini, perusahaan media dapat dengan mudah mengabaikan landasan hukum yang ada.
SEBAGAI TAWARAN, pelatihan dan sosialisasi pada jurnalis yang tak patuh pada kode etik jurnalisme mesti diketengahkan. Jika tidak, kode etik jurnalistik hanya akan menjadi landasan hukum yang tiada artinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.