Perkembangan Kajian Jurnalisme dari Pemikiran Sosial ke Jurnalisme Digital
Kolom | 2025-09-27 15:58:05Jurnalisme semakin berkembang di era digital. Tapi, ia tidak lahir di ruang hampa yang ahistoris. Ia memiliki sejarah panjang yang berakar pada pemikiran para teoritikus sosial Jerman abad ke-19 seperti Karl Marx, Max Weber, dan Ferdinand Tönnies. Mereka merumuskan kerangka normatif yang kemudian membentuk dasar kajian jurnalisme.
Namun, pada masa itu, gagasan untuk menjadikan jurnalisme sebagai bidang formal yang layak dipelajari masih jauh dari zamannya. Pada pergantian abad ke-20, universitas mulai mengajarkan jurnalisme secara sistematis (Weinberg, 2008), dan mendapat pengakuan sebagai bidang studi akademik (Josephi, 2020).
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan akademik kajian jurnalisme adalah lahirnya Journalism Bulletin, yang kemudian berganti nama menjadi Journalism Quarterly pada tahun 1920-an dan akhirnya menjadi Journalism & Mass Communication Quarterly (JMCQ) pada 1990-an.
Jurnal ini menjadi wadah utama yang memelopori penelitian serius tentang jurnalisme, baik sebagai praktik maupun sebagai objek kajian ilmiah. Perubahan nama dan arah jurnal ini mencerminkan dinamika perkembangan kajian jurnalisme sepanjang satu abad terakhir (Singer, dkk., 2023).
Para peneliti membagi perkembangan Journalism Quarterly ke dalam tiga periode besar yaitu fase awal (1924–1964), fase pertengahan (1965–1994), dan fase kematangan (1995–2022). Masing-masing fase ini memperlihatkan transformasi dalam pendekatan akademik, metodologi, dan orientasi global studi jurnalisme.
Pada fase pertama, Journalism Quarterly berkembang dari sekadar buletin yang berisi komentar singkat tentang pengajaran jurnalisme menjadi jurnal akademik yang mulai memuat analisis historis dan riset empiris. Diskusi banyak berfokus pada bagaimana jurnalisme sebaiknya diajarkan di universitas.
Beberapa penulis mengusulkan pendekatan berbasis kelas, sementara yang lain menekankan pentingnya praktik lapangan di ruang redaksi nyata. Pergulatan ini memperlihatkan ketegangan antara jurnalisme sebagai keterampilan teknis dan jurnalisme sebagai disiplin akademik.
Seiring berkembangnya ilmu komunikasi sebagai bidang baru, Quarterly turut memperluas fokusnya. Pada 1930-an, jurnal ini mulai memuat penelitian berbasis survei dan analisis konten. Ia juga membuka cakrawala internasional dengan menyoroti jurnalisme di Eropa, Asia, hingga Amerika Latin.
Situasi geopolitik, seperti propaganda Nazi Jerman atau Perang Dunia II, ikut membentuk arah kajian jurnalisme kala itu. Fase awal ini bukan hanya membangun dasar metodologi, tetapi juga meletakkan pijakan epistemologis bagi lahirnya kajian komunikasi modern.
Fase kedua (1965–1994) ditandai dengan upaya memperkuat landasan teoretis dan metodologis. Riset dalam periode ini mulai dipandu oleh teori-teori komunikasi seperti agenda-setting, gatekeeping, dan spiral of silence. Walau sebagian besar tetap berfokus pada konteks Amerika, jurnal ini juga mulai membahas isu-isu internasional, meski masih terbatas.
Namun, yang menarik, isu-isu besar seperti Perang Vietnam atau gerakan feminisme hanya mendapat sedikit perhatian dibandingkan fokus pada praktik ruang redaksi, survei audiens, atau desain media cetak.
Kelemahan lain dari fase pertengahan adalah dominasi perspektif laki-laki dan minimnya perhatian pada isu keragaman. Lebih dari 80 persen artikel ditulis oleh penulis pria, dan bahasa seksis masih ditemukan dalam sejumlah publikasi. Periode ini berhasil menegaskan jurnalisme sebagai bidang akademik yang serius, dengan pendekatan empiris yang semakin matang dan metodologi kuantitatif yang mapan.
Memasuki fase ketiga (1995–2022), jurnal ini berganti nama menjadi Journalism & Mass Communication Quarterly. Perubahan tersebut menandai meluasnya fokus ke bidang komunikasi massa seiring berkembangnya internet, media digital, dan kemudian media sosial.
Ironisnya, pada saat journalism studies berkembang pesat dan semakin internasional, peran Quarterly dalam bidang ini justru menurun. Jurnal-jurnal baru seperti Journalism Studies, Journalism Practice, dan Digital Journalism menjadi rujukan utama bagi akademisi global, sementara Quarterly dipandang terlalu Amerika-sentris.
Fase ini menunjukkan kematangan kajian jurnalisme. Kajiannya semakin mengacu pada teori, dari agenda-setting hingga framing, serta menggunakan metodologi canggih dengan orientasi lintas disiplin. Kajian audiens, psikologi komunikasi, dan dampak media digital mendapat perhatian besar (Singer, dkk., 2023).
Alhasil, perjalanan panjang Quarterly memperlihatkan suatu kasus bahwa studi jurnalisme selalu bergerak mengikuti perubahan sosial, politik, dan teknologi. Ia sekaligus menjadi cermin bagaimana jurnalisme berusaha mempertahankan relevansinya di tengah dunia komunikasi yang terus berubah ke arah digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
