Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Ironi Korupsi di Perguruan Tinggi

Politik | Wednesday, 15 Mar 2023, 16:13 WIB
Ketika otonomi kampus diberlakukan, sejatinya dia melekat pada idealisme.

Masyarakat kembali dibuat terhenyak dengan ditangkapnya salah satu rektor perguruan tinggi karena tuduhan korupsi. Betapa beratnya membangun perguruan tinggi di Indonesia, ketika dianggap bukan bagin dari kepentingan dalam membangun bangsa. Karut marut pendidikan Indonesia kian terbelit dengan perilaku tidak terpuji tersebut.

Ketika otonomi kampus diberlakukan, sejatinya dia melekat pada idealisme. Otonomi adalah kepercayaan masyarakat dan negara bahwa perguruan tinggi mampu memberdayakan diri sendiri dalam menjalankan fungsi serta tugasnya.

JR Cole dalam bukunya The Great American University (New York, 2009), ada delapan faktor penopang kesuksesan perguruan tinggi. (1) kombinasi pengajaran dan penelitian, (2) otonomi dan kebebasan mimbar, (3) meritokrasi dan sistem kepegawaian (tenure system), (4) sistem peer-review, (5) kompetisi, (6) influks bakat dari seluruh dunia, (7) filantropi, (8) pendanaan Pemerintah.

Gratifikasi yang sudah dimasukan sebagai korupsi ternyata merajalela di perguruan tinggi. Jalur mandiri menjadi biang keladi maraknya suap hanya karena peserta didik bisa kuliah di kampus tertentu. Fenomena ini melahirkan problem serius. Kampus yang seharusnya dipenuhi idealitas dan moral, justru terpuruk pada hal yang tidak baik. Transparency International Indonesia menempatkan kampus sebagai lembaga yang harus dibersihkan dari tindak korupsi dengan peringkat ke-8. (Adnan Topan Husodo, 2008).

Korupsi tidak pernah bisa dilepaskan dari interaksi kekuasaan. Rektor pun harus tunduk tak berdaya ketika dengan kekuasaannya itu diberi sejumlah "hadiah". Ibarat candu, sekali korupsi mereka akan ketagihan untuk mengulanginya kembali. Tentunya, rektor tidak sendirian ketika tindak kejahatan ini terjadi. Ada rantai yang saling berkait, sehingga korupsi mewujud menjadi kenyataan.

Pada 2016, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo pernah mengungkapkan potensi korupsi dalam pengangkatan rektor. Tentunya, hal ini harus menjadi perhatian kita karena yang disampaikan Rahardjo ternyata menjadi kebenaran pada saat sekarang ini. Oleh sebab itu, dibutuhkan tata kelola universitas yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini tentunya untuk kebaikan dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi.

Rulyanti Susi Wardhani mengungkapkan Good University Governance (GUG) memiliki prinsip dasar yang terdiri pada wawasan ke depan, keterbukaan dan transparansi, partisipasi masyarakat, tanggungjawab, supremasi hukum, demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap, efisiensi dan efektivitas, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat, komitmen pada pengurangan kesenjangan, komitmen pada perlindungan lingkungan hidup dan komitmen pada pasar yang fair.

Begitu banyaknya prinsip GUG, tentunya menjalankan perguruan tinggi tidak mudah dan membutuhkan kerja keras. Sejalan dengan semangat keterbukaan tata kelola kampus, tentunya itu untuk mengurangi terjadi penyalahgunaan wewenang. Hal ini untuk meningkatkan pengawasan terhadap adanya praktik korupsi.

Pengawasan internal harus ditingkatkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan. Satuan Pengawasan Internal (SPI) di perguruan tinggi dihadapkan pada sejumlah problematika di antaranya tidak memadai dari segi SDM, kualifikasi yang rendah, dan pendanaan yang tidak ada. Dari aspek problem itu saja kita bisa melihat seperti apa pengawasan terhadap pelanggaran di internal kampus.

Keberadaan satuan ini untuk membantu pimpinan dalam mewujudkan GUG. Sejumlah penelitian sebenarnya menunjukkan keberadaan SPI sangat membantu kampus untuk lebih transparan, khususnya berkaitan dengan keuangan dan demokratisasi kampus. Semakin baik peran satuan pengawasan internal dalam perguruan tinggi maka akan semakin cepat GUG dapat tercapai.

Tentunya menjadi pertanyaan besar, mengapa penangkapan rektor kampus masih terjadi. Padahal, sistem yang dibangun sudah begitu baik. Tentu hal ini kembali kepada individu apakah mampu menahan godaan yang datang kepadanya atau tidak. Tentunya, semua ada konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image