Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ACHMAD HARIRI

Menilik Pembatasan Masa Jabatan Legislatif di Indonesia

Politik | Thursday, 09 Mar 2023, 10:35 WIB
Sumber: pict google

Adagium Lord Acton menyatakan "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" yang bermakna kekuasaaan yang tidak dibatasi akan menjadi korup. Juga teori Trias Politica dengan sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) menjadi eksekutif legislatif yudikatif, untuk menjaga keseimbangan diantara lembaga tinggi negara.

Dari cabang lembaga pemerintah di atas baru jabatan eksekutif yang dibatasi, presiden dua periode, kepala daerah dua periode, kepala desa tiga periode. Sedangkan lembaga dua yang lainnya belum dibatasi.

Mungkin wajar bagi lembaga yudikatif, karna bukan jabatan politik (secara langsung), meskipun ada irisan dengan politik. Bagaimana dengan jabatan legislative? Dari uraian di atas sebenarnya dalam lembaga legislatif berpeluang untuk terjadinya abuse of power. Bahkan praktik oligarki dan dinasti juga bisa terjadi di lembaga legislatif.

Data dari KPK bahwa koruptor di lembaga legislatif sangat banyak, jumlahnya bersaing dengan lembaga eksekutif, meskipun di lembaga yudikatif juga banyak, namun relatif lebih rendah dari kedua lembaga yang lain. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga Mei 2020, yang mana 257 melibatkan anggota DPR/DPRD. Dari permasalahan di atas perlu kiranya diketengahkan akan pembatasan masa jabatan legislatif sebagai manifestasi dari semangat konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) agar penyelewengan kekuasaan dapat diminimalisir dan regenerasi dapat berjalan dengan baik.

Prinsip Perwakilan dan Jabatan Politik

Dalam setiap negara, perwakilan parlemen atau dengan kata lain perwakilan rakyat secara tidak langsung, dikenal tiga prinsip perwakilan. Perwakilan yang dimaksud adalah representasi politik (political representation), representasi territorial (teritorial representation) dan representasi fungsional (functional representation).

Representasi politik merupakan perwakilan pertama dalam parlemen, dipilih melalui perwakilan partai politik. Sementara perwakilan teritorial dipilih berdasarkan perwakilan teritorial.

Di negara seperti Amerika Serikat, perwakilan teritorial terwakilkan melalui pemilihan senat. kKdudukan senat sebagai kamar kedua memiliki kedudukan yang lebih tinggi (upper chamber/second chamber) dalam pengambilan kebijakan dan penciptaan regulasi di parlemen.

Perwakilan fungsional diartikan sebagai pengangkatan wakil rakyat karena keahlian (expert) atau fungsionalisasi yang dimiliki oleh wakil tersebut. Perwakilan fungsional sebagai salah satu bentuk perwakilannya dapat diamati pada the house of lord yang diangkat dari perwakilan tuan tanah dan kelas bangsawan.

Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggungjawab kepada rakyat. Berbeda pada masa sebelum amandemen, pembagian kekuasaan (distribution of power) merupakan prinsip yang dianut oleh Indonesia (Yusdar, 2016).

Keanggotaan MPR hanya terdiri dari DPR yang merepresentasikan kepentingan rakyat secara umum dan di kenal dengan sebutan prinsip political representation. Anggota DPD sebagai penampung aspirasi daerah yang merupakan cerminan dari prinsip regional representation. Perubahan atas Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah menghapuskan keberadaan utusan golongan dan utusan daerah di MPR.

Dari deskripsi tersebut jelas bahwa di satu sisi DPD dapat menjadi ”pengimbang” bagi DPR dalam forum sidang MPR, namun nampak tersubordinasi karena jumlah anggota DPD dibatasi paling banyak sepertiga anggota DPR dan segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. Artinya kemampuan voting DPD dirancang agar tidak mampu menggganggu atau mengalahkan DPR.

Esensi Demokrasi dan Masa Jabatan DPR

Esensi demokrasi adalah prinsip pemisahan kekuasaan dengan sistem checks and balances. Banyak ulama menjelaskan bahwa dominasi satu cabang atas cabang kekuasaan lainnya terjadi karena checks and balances yang dikenakan pada mereka tidak beroperasi dengan baik. Lebih sering terjadi ketika pemeriksaan yudisial dan legislatif terhadap Presiden dihapuskan oleh Konstitusi dan hukum konstitusional dengan atau tanpa persetujuan penduduk.

Jelas bahwa untuk menyelidiki sistem checks and balances kita harus membahas kerangka konstitusional negara tertentu dan untuk melihat bagaimana sistem tersebut diatur oleh konstitusi. Di banyak negara demokrasi yang mapan, pemisahan kekuasaan dan sistem checks and balances tidak ditulis secara eksplisit. Namun demikian, fitur-fitur ini adalah bagian tak terpisahkan dari sistem politik mereka.

Konstitusi negara-negara pasca-otoriter dan pasca-totaliter prinsip pemisahan kekuasaan biasanya menerima bentuk verbal (Alebastrova, 2014). Ini tidak berarti bahwa dalam praktiknya sistem checks and balances telah ditegakkan dengan penuh semangat oleh aktor-aktor politik negara-negara itu. Oleh karena itu, bagian berikut akan menyelidiki kapan dan bagaimana prinsip pemisahan.

Berdasarkan Pasal 76 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tertulis “Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji”. Tidak adanya pembatasan pembatasan periode masa jabatan anggota DPR karena kekuasaan eksekutif lebih besar daripada legislatif dan ada perbedaan sifat jabatan antara DPR dan Presiden kurang tepat, sebab jabatan legislatif sangat power full dan berpotens di selewengkan. Sehingga Pembatasan periode masa jabatan anggota DPR RI diperlukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, dinasti politik dan demi regenerasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image