Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hanif Sofyan

NU Menembus Abad Kedua Peradaban Dengan Autentisitas

Lomba | Thursday, 09 Feb 2023, 23:05 WIB

Dalam realitas yang akrab kita rasakan, cerita-cerita para Gus dengan santri seperti sebuah chemistry yang unik, sakral, magis tapi profan.

Hal ini mengingatkan saya dengan kisah abi ketika nyantri di Tebuireng hingga Krapyak. Apa yang menarik dari perjalanan panjangnya adalah, perubahan pemikiran yang tak lagi terkungkung meskipun banyak orang menilai bahwa santri NU berasal dari lingkungan tradisi salafi.

Sebuah tradisi yantri yang mewariskan banyak budaya sederhana, namun sesungguhnya punya value yang berbeda. Kakek, adalah seorang kyai kampung yang berakar dari NU.

Menariknya adalah, di kampung yang bahkan mobil tak pernah lewat, sehingga setiap kali sebuah mobil lewat, anak-anak akan berebut menciumi aroma bensin yang katanya, "bau asing".

Namun pikiran dan pemikiran kakek tak terkurung. Kata beliau suatu ketika,"Kita tinggal di kampung, tapi terbanglah tinggi, ada dunia luar disana yang harus kalian lihat, alami dan tetaplah jadi dirimu sendiri."

Pesan itu kemudian membawa abi, hingga ke Tebuireng dan krapyak, menjadi guru muda di sekolah-sekolah agama di sekitar pesantren, hingga kemudian kuliah dan akhirnya menjadi seorang ahli tafsir (mufasir).

Tapi bukan itu inti hikmah yang ingin saya sampaikan. Bahwa perjalanan panjang dari kampung kecil Gandrungmangu, ke pesantren Tebuireng, hingga Krapyak, dan pada akhirnya menjejakan kakinya ke Aceh, Negeri Serambi Mekkah, negeri dimana Islam menjadi akar utama budaya masyarakatnya.

Perjalanan itu menjadi sebuah berkah tersendiri, ketika bergelut pemikiran dengan para tengku-tengku Aceh yang hebat, seperti Tgk. H. Aly Hasmy, Tgk. H. Safwan Idris, dan lainnya. Mempertemukannya dengan banyak tokoh besar sebagai mentornya, seperti Prof. Dr. Anthony Reid, yang menjadi teman diskusinya sejak di Pulau Selayar Sulawesi Selatan, Singapura, Australia, hingga di Aceh, di ujung barat Indonesia.

Nilai-nilai asimilasi peradaban itu menjadi inti dari pemikiran abi yang terus mengalami pengayaan namun tetap berakar pada jati diri ke-NU-an sejati. Dengan kekuatan ilmu tafsirnya justru membuatnya, haus dengan studi-studi modern tentang Lingkungan dan Manusia, bertukar gagasan bersama Prof. Dr. Emil Salim di UI yang jauh dari ranah bidangnya.

Anak-anaknya bahkan kemudian menjejak negeri-negeri Asia, Eropa, Timur Tengah, tanpa meninggalkan akar budaya dan kebanggan ke-NU-an yang menjadi pondasinya. Ini membuktikan kata-kata wasiat kakek, puluhan tahun silam. Melambungkan impian pewaris NU tak terkungkung keadaan.

Balai pengajian itu kini masih tetap utuh, terus membuka wawasan, meski dulu hanya diterangi bohlam temaram 15 watt. Namun terus bisa menerangi, dan membuka pikiran di tengah gempuran dunia global disekeliling kita. Akar budaya daras dan nyantri itu tetap tak goyah. Disanalah kekuatan relasi, kekuatan budaya dan akar yang tak bisa tercerabut zaman.

Arah simpang jalan peradaban yang pernah mengilhami pemikir pembaharu Islam Ziauddin Sardar, tetap menemukan arah jalan pulang.

Kita ingat kembali, catatan-catatan panjang, setelah seabad lalu. Ketika di tahun 1924 KH Abdul Wahab Chasbullah menggagas pendirian Jam'iyyah yang disampaikan langsung kepada Hadratussyaikh Syaikhul Masyayikh KH Hasyim Asy'ari.

Atas persetujuan beliau sebagai guru K.H Abdul Wahab, dibentuklah organisasi Jam'iyah Nahdlatul Ulama atau yang saat ini dikenal dengan Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 Hijriah, bertepatan dengan 31 Januari 1926 Masehi.

Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia satu abad pada 16 Rajab 1444 H atau 7 Februari 2023 lalu. Sebagai organisasi muslim terbesar di Indonesia, NU aktif berkontribusi membangun bangsa, mulai sejak zaman kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga orde reformasi.

Memasuki Abad Kedua

Memasuki alaf baru ini, umat Islam harus kembali menjemput harapan-harapannya yang tertinggal. Kini kita tengah menghadapi berbagai tantangan besar yang juga harus dihadapi oleh umat manusia pada umumnya.

Krisis global yang mengepung di segala penjuru, dengan sebab akibat yang tak terbayangkan; terorisme, destabilitas demokrasi, krisis moneter, pencemaran lingkungan, kekerasan horizontal, perang, dan krisis lain yang menguras energi.

NU memiliki andil sangat besar mengubah wajah dunia kedepan. Tentu saja ini membutuhkan kepekaan dan upaya yang dirancang secara sistematis melalui transformasi di segala lini kehidupan. Termasuk transformasi sosial-politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan terutama yang sangat krusial--tranformasi pemikiran.

Pada zaman modern inilah, kebutuhan mendesak untuk melakukan ijtihad dan merethinking Islam dapat dirasakan dari tidak memadainya rumusan-rumusan konseptual ulama klasik dengan kompleksitas problem kekinian.

Disinilah konsep autentisitas menemukan momentumnya. Karena dengan hanya terus memahami sumber-sumber Islam yang utama (Al Qur’an dan Hadist) secara kreatif, dan mendialogkan dengan perubahan, umat Islam bisa bangkit dan meretas jalan dengan kepastian. Sebagaimana lahirnya gagasan Islam Nusantara, dengan segala kekhasan Ke-Islaman, Ke-Indonesiaan.

Autentisitas, bukanlah upaya menciptakan benturan dengan konsep-konsep asing, sebagaimana dijelaskan Arkoun tentang negativisation. Tapi justru mensyaratkan keterbukaan umat Islam untuk berdialog dengan entitas-entitas lain yang berbeda. Tapi tetap berangkat dengan nilai Islam yang substantif.

Sehingga tidak heran jika kita melihat kiprah NU dalam seabad perjalanannya, sejak KH Ahmad Sjaichu didaulat sebagai Sekjen Organisasi Islam Asia Afrika, pada Maret 1965. Langkah menguatkan autentisitas juga diteruskan dengan membangun sayap internasional melalui World Conference on Religion and Peace (WCRP) di tahun 1994 di Italia, dengan Gus Dur sebagai presidennya.

Dengan kekuatan membangun peradaban itu pula KH Hasyim Muzadi mempelopori International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada tahun 2002, dan dibawah kepemimpinan beliau, terbentuk PCI di 24 negara, seperti di Inggris, Amerika, Jepang, dan di Timur Tengah

Kini di era KH Said Aqil Siroj terdapat wadah International Summit Of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL). Pada tahun 2016, acara ini mempertemukan 35 Ulama Internasional dari 30 negara Islam diseluruh dunia terutama Timur Tengah.

Dan mendorong peran NU dengan gagasan Islam Nusantara menjadi contoh, serta kemudian diduplikasi sebagai solusi perdamaian di negara-negara Islam.

Di hari kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) 1 Abad dengan mengusung tema “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”, NU berharap akan menemukan jalan terbaik menapaki menuju abad keduanya. Menjadi organisasi Islam terbesar didunia dan berkontribusi terbaik untuk perdamaian dan kemaslahatan umat.

Kami yang berada di barisan akar rumput berusaha menggerakkan dengan segala daya dan ikhtiar yang kami bisa. Karena dari sanalah akar NU terus menguat. Ketika sinergi dari seluruh kekuatan, bergerak dalam satu narasi, komitmen dan khittah yang sama. Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariiq “Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya”.

#lombanulisretizen, #lombavideorepublika, #satuabadnu, #akudannu

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image